57 Tahun Adian Husaini dan Tradisi Menulis Kita


SAYA mengenal Dr. H. Adian Husaini, M.Si. pertama kali pada tahun 2000-an, tepatnya tahun 2004 silam. Kala itu, saya dan kawan-kawan mahasiswa dari IAIN Sunan Gunung Djati (kini UIN, selanjutnya UIN Bandung) menjadi delegasi untuk mengikuti acara Workshop Pemikiran dan Peradaban Islam di Yogyakarta. INSIST dan beberapa organisasi intelektual mahasiswa menjadi penyelenggara sekaligus pendukung acara yang dilaksanakan selama sepekan ini kala itu. 

Sebetulnya, saya sudah mengenal nama sosok ini sudah lama, sejak saya nyantri di Pondok Pesantren Nurul Hakim di Kediri Lombok Barat-NTB tahun 1996-2002. Kala itu, saya membaca tulisannya di beberapa majalah dan surat kabar (Republika) dalam beragam tema. Selain itu, setelah awal perkuliahan di UIN Bandung saya juga membaca beberapa bukunya seputar pemikiran Islam dan sebagainya. Bahkan setiap kali buku barunya terbit, saya selalu berupaya untuk membeli dan memilikinya, dari dulu hingga saat ini. 

Cendekiawan kelahiran Kuncen, Padangan, Bojonegoro-Jawa Timur 17 Desember 1965 ini adalah seorang ulama, akademisi, dan dosen di berbagai perguruan tinggi. Bahkan kini menjadi pembina sebuah pesantren di Kota Depok, tepatnya at-Taqwa. Selain berpengalaman sebagai Sekretaris Jenderal Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina - Majelis Ulama Indonesia (KISP-MUI), Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan anggota Majelis Tabligh Muhammadiyah, kini ia menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII, Dewan Dakwah). 

Di samping menjalankan peran sebagai akademisi atau pendidik di lembaga pendidikan formal, ia juga aktif menjadi narasumber kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan di berbagai kota di seluruh Indonesia. Selain itu, suami dari Megawati dan ayah dari Bana Fatahillah, Dina Farhana, Fatiha Aqsha Kamila, Fatih Madini, Alima Pia Rasyida, dan Asad Hadhari ini mendalami pemikiran dan pendidikan Islam. (Maaf saya lupa satu nama anaknya). Bahkan anak dari H. Dachli Hasyim ini menulis tema-tema tersebut di berbagai surat kabar dan media online juga buku beragam judul. 

Ya, diantara tradisi yang sangat melekat pada alumni Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Jayabaya (M.Si.) dan Institute of Islamic Thought and Civilization-Universitas Islam Internasional Malaysia (Ph.D.) ini adalah menulis. Sudah ratusan makalah, ribuan artikel dan puluhan buku yang ia katakan selama puluhan tahun terakhir. Saya termasuk yang aktif membaca dan menikmati berbagai karyanya. Ulasannya mendalam, kritis dan solutif. Sehingga sangat wajar bila pemikirannya dikutip dan diperbincangkan oleh berbagai kalangan. 

Catatan Akhir Pekan di Website Hidayatullah, website pribadinya, dan berbagai media online yang mengutip artikelnya telah berjasa untuk mempublikasi pemikirannya. Termasuk, tentu saja website Dewan Dakwah pusat cukup mengambil peran dalam mempublikasi tulisan dan kegiatannya sebagai Ketua Umum Dewan Dakwah periode ini. Satu hal yang menarik, ia selalu merespon setiap isu keumatan atau yang berdampak pada kepentingan umat Islam. Baik kritik maupun pembelaannya selalu merupakan bentuk konsen dan cintanya pada dakwah Islam dan Indonesia. 

Dalam berbagai kesempatan ia selalu mengingatkan agar umat Islam menyadari bahwa Indonesia adalah negeri muslim. Dengan demikian, umat Islam tidak boleh merasa minder dan sekadar menjadi penonton di negeri sendiri. Ia menegaskan perlunya mengambil bagian atau berkontribusi pada pembangunan umat dan bangsa melalui berbagai profesi yang ditekuni. Bahkan ia sering mengingatkan agar umat Islam banyak belajar kepada para tokoh yang telah berjasa pada perjalanan sejarah dan pendirian negeri ini. 

Ya, hari ini (Sabtu, 17 Desember 2022), Doktor Adian genap berusia 57 tahun. Usia yang menurutnya dalam beberapa momentum bahwa ini bukan usia muda, tapi sudah usia tua. "Saya sudah berusia lebih dari 50-an tahun saya sudah tua, bukan muda lagi", ungkapnya suatu ketika. Ia mengingatkan, kita tidak tahu kapan batas akhir kita diberi waktu untuk menikmati kehidupan dunia yang memang fana dan sementara ini. Karena itu, kita perlu berupaya agar seluruh nikmat waktu yang kita peroleh dari Allah benar-benar bermanfaat dan diisi dengan amal terbaik. 

Baginya, profesi apapun mesti dilekatkan sekaligus diikat sebagai perjuangan dakwah. Sehingga apa yang kita lakukan benar-benar diridhoi Allah dan memberi dampak atau faedah bagi kehidupan dunia sekaligus akhirat kita. Bahkan suatu ketika ia mengingatkan agar menulis mesti ditunaikan dengan ikhlas dan serius. Sungguh, era ini para da'i mesti melek media termasuk aktif menulis, agar masyarakat mendapatkan bacaan yang membangun dan mencerahkan. Berbagai media mesti diisi oleh konten bermutu dan bernilai dakwah, sehingga umat dan bangsa mendapatkan suguhan atau tulisan yang konstruktif dan bermanfaat. 

Siapapun, terutama mereka yang pernah berinteraksi dengan sosok ini tentu punya kesan tersendiri. Saya sendiri merasakan dan menyaksikan bahwa sosok ini adalah da'i yang produktif, bukan saja dalam berdakwah di mimbar masjid dan ruangan kampus tapi juga halaman berbagai media massa dan media online. Bahkan mesti ia sukses menulis puluhan buku dalam beragam tema, dari pemikiran dan pendidikan Islam hingga isu-isu aktual keumatan dan kebangsaan lainnya. Semoga tradisi menulisnya mewarnai dan terwariskan pada tradisi menulis kita. Barakallahu fiikum Doktor Adian, semoga nikmat umur yang tersisa mendapat keberkahan dari Allah dan selalu terisi oleh berbagai amal terbaik! (*) 



* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Merawat Indonesia". Masih dalam Perjalanan Bus Cirebon - Bandung, Menuju Lokasi Pelatihan Jurnalistik dan Koordinasi Wilayah Dewan Dakwah Jawa Barat, Sabtu 17 Desember 2022.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah