Cinta yang Tak Pernah Selesai


AKU bukan sosok lelaki yang pintar menyusun dan mengucap kata-kata indah, yang membuat si dia merasa diajak bercumbu dan bermain di taman lembah. Aku juga bukan jagoan dalam berpuisi cinta, yang membuat si dia tersipu malu dan merasa terus dirayu. Tulisanku dalam beragam tema pun sejatinya itu-itu saja. Sederhana dan benar-benar sederhana. Tak ada yang istimewa. 

Ungkapan puitis pun mungkin akhirnya aku perlu berkali-kali mengemis pada mereka yang pandai. Sehingga sejatinya aku bukanlah suami yang pandai merangkai sanjungan kepada siapapun, terutama pada sosok istri yang sungguh istimewa yang aku punya. Selain tak terbiasa, aku memang bukan tipe suami yang mudah memuji si dia yang kini selalu mendampingiku dalam suka dan duka. Aku lelaki sekaligus suami biasa, apa adanya.   

Walau begitu, untuk sosok dia, aku selalu tergoda untuk menyampaikan apa adanya. Ada banyak hal yang ia miliki dan korbankan untuk merawat cintanya padaku dan anak-anak: Azka Syakira, Bukhari Muhtadin dan Aisyah Humaira.  Namun ada satu puzzle yang membuatku semakin terngiang untuk menyebutnya. Sederhana memang, namun di sinilah tempat paling apik bertumbuh dan bersemayamnya cinta. 

Ketika berbagai aktivitas membuatku lelah, maka ia adalah orang yang paling mengerti tentang kelelahanku. Ia pun membantuku dengan sigap. Sesekali diminta, tapi berkali-kali tak diminta. Bukan saja membacakan naskah tapi juga memastikan punggungku tak sakitan dan tenggorokanku tetap nyaman. Pijitan lembutnya kerap membuat kepala, punggung dan tanganku termanja-manja.   

Apalah lagi bila belasan hingga puluhan naskah buku mesti dibaca dan diedit di setiap harinya, lelah benar-benar nyata. Menikmati naskah bergizi memang dambaan sekaligus sebuah kebanggaan. Sebab dengan begitu banyak hal gratis yang diperoleh. Namun lelah tetaplah lelah. Nah, di sinilah ia hadir membawa senang dan riang. Walau di tengah-tengah menuntaskan banyak hal, terutama tugas mulianya sebagai seorang guru atau pendidik di sebuah sekolah. 

Kadang bila membaca puluhan halaman naskah, lelahku tiba menggoda. Bayangkan saja, dalam sehari ada ratusan halaman yang mesti aku baca. Kepala pening dan ya mesti berkompromi dengan idealisme dan kenyataan diri. Ia pun kerap menghibur dan memberiku semangat dengan suara lembutnya melalui daun telingaku: "Sayang, bila lelahmu Lillah insyaa Allah berkah!" Ia lakukan itu dengan tetap berwajah manis dan tersenyum. 

Ah bahagia sekali rasanya memiliki seseorang yang pengertian dengan apa yang aku rasa. Ini bukan tentang keharusan seorang istri pada suaminya, tapi tentang nurani yang selalu memandang dengan jujur pada apa yang ia pandang. Ia memastikan diri bahwa menjadi istri itu bukan sekadar menerima (qobul) atas apa yang diucap sang lelaki (ijab) saat berakad nikah dulu. Tapi juga menerima seluruh konsekuensi dari rumah tangga atau medan baru yang ia lalui kini dan nanti.  

Mungkin ucapannya tak begitu apik dan banyak disampaikan perihal kualitas cintanya padaku sejak awal menikah pada 25 April 2019 silam hingga kini, tapi tatapan mata dan gerak-geriknya menunjukan betapa ia sosok istri sekaligus pecinta yang hebat. Ia pun benar-benar membuat aku semakin percaya bahwa ia memang sosok yang peduli, empati, taat dan setia tanpa tapi. Sangat beruntung diri ini mendapat sosok yang terlihat biasa-biasa tapi sejatinya istimewa karena menjalankan peran luar biasa. 

Terima kasih banyak kepada seseorang yang beberapa tahun terakhir, berhari-hari menjadi sosok yang setia menemani untuk menuntaskan banyak hal. Ia bukan saja mengorbankan waktu dan tenaga tapi juga pikiran dan asa. Letih dan lelahnya kadang ia sembunyikan demi memastikan dirinya selalu terlihat semangat dan anggun di hadapanku. Ia mungkin tidak mau menutupi, namun ia mampu mengelolanya dengan baik dan apik. 

Pada tatapan matanya selalu menyiratkan optimisme tentang ilmu, amal dan karya. Membuat diri ini kadang malu namun tergoda untuk tak kalah oleh egois diri dan rasa lelah. Cintanya pun terus menderas bagai air lautan yang menghempas batu karang di mulut pantai indah di ujung sana, sekitaran Labuan Bajo: pantai pink. Karena cintanya yang tulus, membuat aku tak hancur, padahal egoisku kerap enggan lebur. Cintanya benar-benar autentik dan insyaa Allah tak bakal luntur. 

Terima kasih cintaku, Eni Suhaeni .... Sosok istimewa yang selalu hadir dalam sepi dan lelahku, yang tak lelah berbagi tawa dan senyum untukku. Betul tidak selalu 24 jam, tapi aku percaya pada setiap detik yang ia lalui selalu ada cinta untukku. Betul tak semua hal ia amin-kan, termasuk pada egoisku yang kadang bikin ia resah dan gelisah. Namun ia selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik. Ya, istri sekaligus teman terbaik tanpa basa-basi atau kepalsuan.  

Dari waktu ke waktu ia berbenah, menuju maqom ideal: istri yang pembelajar. Aku menyaksikan ia sosok yang mau belajar dan berupaya menjadi pendamping yang pantas dan mawas. Walau cemburunya berbilang-bilang bahkan sering aku tentang. Tapi pada akhirnya aku pun mengalah, dan memang mesti benar-benar mengalah, sebab aku sadar itu pertanda cintanya bagai batu karang: kokoh dan tak mampu dihitung bilang. 

Dan, jujur saja, sampai kapanpun aku takkan mampu membalas cintanya dengan sempurna. Karena itu, aku mesti terus berbenah diri, kini dan nanti. Kini aku semakin percaya bahwa ia adalah kiriman Langit yang membuat bumiku semakin indah untuk ditapaki. Apalah lagi menampakinya dalam irama yang sama dan mulia: dalam bingkai ridho dan cinta-Nya. Semuanya pasti indah, bahkan lebih indah dari yang aku duga.   

"Sungguh, bila cinta bersenyawa Lillah maka semuanya terasa indah", begitu ungkapan yang kerap ia ucap untuk menyemangati, menghibur dan memastikan bahwa cintanya padaku benar-benar dalam altar yang mulia, tulus dan suci. Dan bila cintanya belum mampu kubalas dengan sempurna, aku hanya berdoa kepada Allah, semoga cintaku padanya terus bertumbuh dan takkan pernah selesai, selamanya, hingga bersua kembali kelak di surga-Nya! (*)


Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Aku, Dia dan Cinta" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah