Mari Merawat Literasi Kita!


MENULIS merupakan salah satu aktivitas yang akrab dengan siapapun. Sebab pada umumnya siapapun sejak kecil sudah terbiasa menulis. Sejak menempuh pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) atau pendidikan sebelumnya lagi Taman Kanak-Kanak (TK), sudah mengenal huruf atau abjad A sampai Z, bahkan sudah mulai belajar menulis dan merangkainya menjadi kata, kalimat, paragraf dan begitu seterusnya. Lalu mengapa hanya sebagian dari kita yang bisa menghasilkan karya tulis seperti buku, artikel dan serupanya? 

Pada era perkembangan teknologi informasi dan komunikasi semakin canggih ini pun menulis sudah menjadi aktivitas yang semakin akrab dengan siapapun. Menulis pun sudah tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan siapapun, walaupun tidak berprofesi sebagai penulis. Sebab siapapun pasti membalas dan mengirim pesan dalam bentuk tulisan. Memberi komentar di media online dan sosial pun pada umumnya menggunakan tulisan. Walau pendek atau sederhana, namun bisa dikatakan menulis sudah menjadi rutinitas sehari-hari. 

Menulis tentu bukan sekadar membubuhkan status di media sosial atau sekadar berkomentar di berbagai group dan laman media online. Menulis adalah upaya untuk menyampaikan ide, pendapat, komentar, perspektif dan koreksi atas berbagai peristiwa dan dinamika yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat. Bagi seorang muslim, menulis dapat menjadi media berdakwah yaitu untuk menjalankan fungsi atau peran beramar maruf nahi mungkar. Sehingga pembaca mendapatkan perspektif dan tercerahkan. 

Atau dalam ungkapan lain, bagi seorang muslim, menulis adalah upaya untuk mengajak sebanyak mungkin manusia pada jalan yang maruf atau maslahat dan menghindarkan mereka dari keburukan atau kerusakan. Dengan demikian, terjun dalam dunia kepenulisan merupakan pilihan jenial yang memudahkan dalam menjalankan peran sekaligus kontribusi dakwah keumatan sekaligus kebangsaan. Kita terutama kaum muda atau generasi muda muslim mesti mengambil peran di aspek literasi. Mengutip ungkapan sahabat saya Mas Imam Nawawi, Ketua Umum Pemuda Hidayatullah, kita perlu merawat literasi umat! 

Pertanyaannya, mengapa kita mesti merawat literasi umat, terutama dengan menulis? Pertama, menulis, terutama di era menjamurnya media sosial dan media online ini adalah anugerah sekaligus peluang terbaik. Bila dulu kita kesulitan mendapatkan media sebagai medium publikasi dan dokumentasi, maka saat ini kita malah dimudahkan untuk itu. Tulisan apapun, dari artikel, essay hingga catatan harian dapat kita publikasi kapan pun melalui media sosial dan media online. Kini kita mendapatkan anugerah dari Allah dengan berbagai fasilitas dan kemudahan semacam itu. 

Kedua, peradaban besar dan maju selalu dibangun di atas tradisi intelektual dengan basis keilmuan yang kuat. Peradaban Islam sebagai salah satu peradaban yang cukup lama menguasai dan mempengaruhi peradaban umat manusia adalah peradaban yang akrab dengan tradisi intelektual. Para sahabat dan generasi setelah mereka, hingga kelak para ulama fiqih dan hadits yang mashur pun merupakan generasi yang akrab dengan tradisi intelektual: baca, tulis, dan diskusi, di samping penelitian dan penelaahan berbagai mata ilmu pengetahuan. Secara khusus, menulis pun menjadi salah satu warisan paling jenial dan mulia para pendahulu umat ini kepada kita hingga kini dan nanti. 

Ketiga, umat Islam butuh narasi dan narator. Pemahaman terhadap teks agama yang bersumber dari Wahyu berupa al-Quran dan al-Hadits hanya akan tersebar manakala dilakukan dengan baik dan kreatif, termasuk dalam bentuk tulisan. Dulu jazirah Arab adalah kawasan jahili, jauh dari peradaban maju. Namun ketika sang nabi tercinta: Muhammad shallallahu 'alaihi wassalam diutus dan menjalankan peran kenabian secara utuh, lalu dilanjutkan oleh generasi setelah beliau, maka kawasan ini pun menjadi sebuah kawasan yang berperadaban maju dan benar-benar beradab. Era ini kita mesti menjadi narator pelanjut. Bila narator perlu narasi, maka narasi butuh dokumentasi dan publikasi. 

Keempat, secara khusus, menulis buku adalah pilihan jenial era ini. Selain sebagai dokumentasi dan publikasi ide, buku juga dapat menjadi juru bicara dalam menjembatani pembaca dengan narasi kebaikan yang ingin ditebar ke banyak pembaca. Buku adalah akumulasi pemikiran yang tersusun dalam bentuk kata-kata. Kuncinya adalah menulis. Bagi sebagian orang, menulis buku adalah beban berat. Alasannya banyak, terutama belum berpengalaman, tak ada waktu dan berbagai alasan lainnya yang pada intinya alasan semacam itu hanya menghindar dari satu alasan sebagai biang utama: malas! Padahal menulis buku bisa dipelajari, dicoba dan dimulai. Bahkan menulis itu bisa dicicil: dari kata, kalimat, paragraf hingga artikel bahkan buku. 

Meluruskan niat, menguatkan tekad, berani memulai, mau belajar, membuat rencana dan target, sediakan waktu, dan langsung praktik menulis adalah langkah sederhananya. Bila kita kesulitan untuk memulai, beberapa hal tersebut perlu kita tanam dan camkan dalam diri. Selain itu, tentu saja kita mesti aktif bahkan paksa diri kita untuk rutin membaca. Mereka yang aktif menulis adalah mereka yang pada umumnya aktif membaca. Saya termasuk yang sejak lama terbiasa membaca buku dan berbagai sumber bacaan lainnya. Berat memang, namun saya memaksa diri, hingga akhirnya terbiasa bahkan pada momentum tertentu saya ketagihan untuk membaca, dan belakangan sekaligus kecanduan menulis. 

Saya pada dasarnya tidak berprofesi sebagai penulis. Tulisan saya dalam bentuk buku, artikel dan catatan harian seluruhnya saya tulis di sela-sela melaksanakan aktivitas rutin saya selain menulis. Kadang saya menulis di sela-sela ngobrol dengan teman-teman atau kolega saat bersua di berbagai momentum. Saya juga menulis di sela-sela mengikuti berbagai seminar atau forum serupa. Saya menulis sebagai media belajar mengungkap ide atau gagasan saya sebagai respon atas berbagai fenomena, atau sekadar lintasan pikiran yang perlu disuarakan dalam bentuk tulisan. Lebih jauh dari itu, saya menulis buku, artikel, dan serupanya sebagai kontribusi sederhana dalam upaya merawat literasi kita: umat Islam dan bangsa Indonesia. (*)


Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Muhammadiyah: Ide, Narasi dan Karya" 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah