Bung Hatta dan Buku Sampah Ribuan Eksemplar


SUATU bangsa akan mengalami perubahan besar manakala tradisi keilmuannya menggeliat dari waktu ke waktu. Tradisi yang paling sederhana adalah baca-tulis, di samping tradisi lain yang jauh lebih penting. Namun tradisi baca-tulis adalah dasarnya. Sebab di situ terjadi pematangan gagasan dan pergulatan ide-ide. Buku merupakan salah satu mediumnya, baik sebagai media bacaan maupun sebagai dokumen unik bagi ide atau gagasan yang bermunculan. Sehingga memproduksi gagasan dan buku adalah agenda penting dan tak boleh dianggap remeh.  

Salah satu tokoh yang menjadi inspirator saya adalah salah satu proklamator kemerdekaan Indonesia yaitu Bapak Mohammad Hatta yang akrab dikenang Bung Hatta. Bung Hatta dan buku bak kata-kata dan rima, burung pelican dan musim dingin, atau mesiu dan peluru yang saling memiliki satu sama lain. Ketika diasingkan ke Banda Naira selama 6 tahun, ratusan buku miliknya pun turut diboyong. Sebanyak 16 peti besar yang berlabuh di ujung pelabuhan Naira menyimpan sejuta ilmu dan imajinasi yang seakan mengikuti dengan setia kemanapun tuannya bertandang. Tidak jarang, Bung Hatta menghubungi koleganya di Eropa semasa kuliah dulu untuk mengirimkan buku-buku tambahan untuknya. 

Pengasingan atau apapun itu namanya bukanlah barang baru untuk Bung Hatta, karena Banda Naira merupakan tempat kesekian yang disinggahi oleh Bung Hatta sebagai ‘tawanan’ Belanda. Betapapun Belanda berpikir bahwa pengasingan akan meredupkan pelita Bung Hatta, namun untuk beliau perjuangan tidaklah sekaku itu. Seperti air yang akan selalu menemukan dan memaknai wadahnya, pengasingan hanyalah mengubah bentuk perjuangan Bung Hatta. Melalui buku yang beliau terbitkan selama pengasingan, hingga membuka Sekolah Rakyat (SR) merupakan bentuk konkret perjuangan Bung Hatta untuk tetap hidup dan berjuang.

Anak-anak kecil di Banda Naira yang kelak merupakan penerus perjuangannya, dirangkul dan diajari banyak hal di sekolahnya. Hampir setiap siang kaki-kaki kecil itu berlari, beradu dengan waktu menuju ruang kelas agar dapat duduk di barisan terdepan. Melalui buku dan dari tempat pengasingan, Bung Hatta mengenalkan dunia, mimpi, dan pentingnya integritas sebagai manusia dan bangsa. Des Alwi merupakan salah satu putra lokal Banda yang merupakan murid dari Bung Hatta. Putra Banda Naira ini kemudian tumbuh menjadi seorang sejarahwan, pembuat film, dan pengusaha. Sepasang kaki kecilnya yang dulu dipakai untuk berlari ke ruang kelas, telah berhasil membawanya menjemput mimpi-mimpi besarnya sebagai manusia.

Saya dan Bung Hatta sejatinya sama, bukan pada ketokohannya, tapi asalnya, sama-sama orang kampung. Bila Bung Hatta orang Sumatra Barat, maka saya orang Flores. Saya lahir di Cereng, 8 Agustus 1983. Cereng merupakan sebuah kampung di Desa Golo Sengang, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat atau Mabar di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang hingga kini belum tersentuh listrik PLN, air PDAM, dan jalan raya beraspal. Walau pun pada 12 Oktober 2022 lalu kampung saya Cereng di Manggarai Barat, NTT, sudah tersentuh listrik. Sebuah kenyataan yang cukup "tragis" dan "ironis" ketika pada saat yang sama Labuan Bajo ibukota Mabar disulap menjadi surga dunia. Para pejabat negara dan mereka yang berdasi pun rajin berkunjung. Entah apa yang mereka lakukan, tapi bila menonton di layar TV seakan mereka membangun. 

Saya sendiri sedang berupaya untuk mengambil bagian dalam proses membangun itu dari hal-hal sederhana. Mungkin bisa dibilang terinspirasi oleh Bung Hatta. Bukan untuk gagah-gagahan, tapi belajar mencicil cara sederhana mencintai kampung halaman juga Indonesia. Mencintai memang tak selalu diukur dengan tiras besar yang berwujud uang, harta dan serupanya. Sebab sejarah memberi gambaran apik berapa banyak para pejuang kemerdekaan yang tak punya rumah, uang dan harta berlimpah, tapi pemikiran mereka menjadi ruh dan sekaligus nyawa bangsa. Buku adalah salah satu bukti sejarah betapa mereka gandrung bercumbu dengan gagasan dan pemikiran lintas peradaban. 

Saya sudah menulis 50-an judul buku. Tidak terkenal ya, saya akui itu. Saya menulis bukan untuk dikenal, sama sekali tidak. Saya menulis dari dalam, ada suara hati yang terus membisik agar jari-jari ini tak lelah menenun abad jadi karya yang terbaca dan bermanfaat. Sungguh, bila optimisme untuk mencicil kontribusi sudah terlihat, maka suatu saat karya-karya tersebut akan bertemu dengan momentumnya. Mereka akan menjadi juru bicara yang jujur berbicara tentang dirinya juga tuannya. Ya, buku-buku ini akan menjadi saksi sekaligus juru bicara bagi proses panjang untuk menggapai cita-cita tertinggi. Bagi peradaban diri, keluarga dan bangsa yang semakin maju. 

Perjuangan seperti ini pasti dilingkupi kerja keras, kesungguhan dan ketelatenan. Sebab tak ada perjuangan yang hanya ditempuh dengan cara santai, terpapar mental kalah dan cenderung berlepas tangan. Perjuangan membutuhkan kerja keras, mental menang dan turun tangan. Di samping kedisiplinan yang tak boleh menepi dari jejak hari-hari. Tentu dengan satu kata kunci: mencicil. Walau perjuangan semacam itu melelahkan, namun justru bakal menambah optimisme dan percaya diri bahwa proses ini kelak pasti menghasilkan sesuatu. Keberhasilan tak selalu dipetik hari ini, walau dampaknya sudah terasa minimal oleh diri sendiri dan keluarga kecil, namun masa depan bakal menjadi saksi sekaligus momentumnya.   

Karya kreatif semacam buku tak bisa diukur nilainya dengan pemasukan uang atau timbangan sejumlah uang, sebab gagasan adalah instrumen perubahan yang tak bisa dibandingkan dengan uang bahkan emas. Gagasan adalah ruh sekaligus nyawa perubahan, yang membuat peradaban keluarga hingga bangsa semakin hidup dan maju.  Memang tidak seketika jadi, tapi proses "menjadi" sedang berjalan ke arah itu. Saya percaya bahwa keberhasilan tidak akan mengkhianati proses panjang yang melelahkan. Jadi, menjaga kesabaran cukup menjadi penghibur diri sekaligus kuncinya. Termasuk pada saat sebagian orang di luar sana begitu jago "meremehkan, merendahkan dan menganggapnya sebagai karya sampah". Ya betul, saya menjadi saksi bahwa kini belasan ribu eksemplar buku sampah karya saya sudah tersebar dan dimiliki atau dibeli oleh ribuan pembaca! (*)


Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Merawat Indonesia"


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah