Jangan Terperdaya Jabatan dan Dunia!


"Mendengar nasehat itu berat, tapi manfaatnya besar dan berjangka panjang." Begitu nasehat singkat seorang pedagang kaki lima di pojokan sebuah kota. Terkadang pembantu, staf dan satpam sering mengingatkan atasan, bos atau tuannya, agar tidak terjebak dan tergelincir karena melanggar nurani. Karena untuk tujuan mulia, mereka aktif menasehati atasan, bos atau tuannya agar tidak korupsi. Bukan untuk merendahkan dan menghina tapi bukti cinta dan hormat. 

Namun, tak sedikit orang yang meremehkan dan menganggap hal semacam itu bukan apa-apa. Menilai mereka manusia kelas rendahan atau bawahan yang tak pantas didengar. Menilai bahwa ucapannya tidak bermutu dan tak pantas diindahkan. Akhirnya, tak sedikit yang berurusan dengan hukum bahkan mendekam di penjara karena meremehkan peringatan dini atau nasehat dari orang biasa semacam itu. Ada yang menyesal namun kebanyakan berhati bebal dan tak tahu diri. 

Dampaknya, bukan saja hidup menderita di penjara, tapi juga menyengsarakan keluarga di luar penjara. Selain itu, keluarga jadi malu, terutama anak yang masih menempuh pendidikan. Mereka dikucilkan oleh teman sebayanya. Kalau bertahan untuk terus melanjutkan pendidikan itu sudah luar biasa, bila tidak, ya tentu memilukan. Pendidikannya hancur lebur. Istri atau suami yang dulunya riang dengan harta mewah, kini jadi obyek cemoohan tetangga dan warga. Bahkan bila masuk berita TV dan surat kabar, bakal jadi cemoohan warga senegara! 

Begitulah kehidupan dan ujian dunia. Jabatan mentereng kadang membuat hati sumpek dan gila harta. Gaji tak seberapa tapi terlihat mewah dengan harta banyak. Istri dan anak mendapat mobil mewah bermerek ini itu padahal uangnya dari hasil korupsi alias mencuri uang negara. Dunia memang panggung sandiwara, membuat tak sedikit manusia terjebak. Gengsi dan mental serakah menjadi senyawa yang melenakan. Kehidupan diukur dengan kemewahan, padahal sejatinya rendahan dan terhina. 

Jabatan tinggi belum cukup, hingga masih mencari aktivitas lain yang bertentangan dengan hukum. Jangan tanya aturan agama, sebab agama dianggap ajaran tak bermutu. Jangan tanya akhirat, sebab petinggi dan ajaran kelompok mereka pun menganggapnya ilusi dan mengada-ada. Kitab suci pun mereka anggap kumpulan dongeng palsu. Bila pun mereka menyebutnya, itu sekadar untuk mengelabui masyarakat biasa sekaligus kepentingan politik tertentu. 

Kursi jabatan yang empuk dengan gaji besar tak membuat hatinya cukup dan syukur. Sebab jabatan digunakan untuk menambah pundi dunia dengan cara curang dan melanggar hukum. Pembuat Undang-Undang menyebutnya korupsi, yang intinya mencuri uang negara, APBN atau APBD. Sehingga setiap ada program dan proyek pembangunan selalu mencari peluang untuk mencuri anggaran. Intinya menambah saldo rekening dengan cara haram. Membahagiakan keluarga katanya, padahal benar-benar tujuan fatamorgana. 

Tidak puas dengan mencuri anggaran di program dan proyek pembangunan, tak sedikit yang bermain wanita bahkan ada juga yang bermain laki-laki. Istri atau suami juga anak-anak di rumah tidak dihargai lagi. Begitu pandai bermain dosa tapi lupa diri dan keluarga. Jangan tanya hati nurani di mana, sebab uang hasil mencuri hanya mengunci hati dan akan menimbulkan sikap serakah dan cinta dunia yang menjadi-jadi. Di samping sikap meremehkan dan merendahkan orang lain yang semakin tak terbendung. 

Ya, dunia memang panggung sandiwara. Tak sedikit manusia yang membuat matanya silau. Mungkin menganggap tak ada yang tahu, namun akhirnya ketahuan juga. Harta yang kerap dipamerkan nyatanya bukan hasil kerja halal tapi kerja haram. Bila sudah ketahuan, begitu pandai membela diri. Mengundang ratusan saksi untuk tujuan meringankan, padahal mereka juga mendapatkan cipratan harta haram itu. Mereka hadir merangkai benang basah dan kusut. Itulah dampak sederhana dari keserakahan hidup. Wahai manusia, hati-hatilah dan jangan terperdaya jabatan dan dunia! (*)


Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Merawat Indonesia" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok