Basmi Racun Malas Menulis, Sekarang!


DALAM banyak kesempatan saya kerap mendapat keluhan banyak orang bahkan teman dan orang dekat perihal banyak hal yang membuat mereka jadi mati langkah, tidak bertenaga mengisi waktu luang termasuk enggan menulis. Bahkan mereka seperti mayit berjalan, bernafas tapi engga ada karya apa-apa selain aktivitas profesi. Naifnya, mereka ingin punya karya tulis, bahkan ingin bukunya terpampang di toko buku besar dan dibaca banyak orang.  

Dari seluruh pengalaman bersua orang-orang semacam itu, ada banyak hal yang kerap mereka jadikan alasan, yang pada intinya alasan pembenaran semata, bukan alasan yang sesungguhnya. Misalnya, maka, tak ada waktu, tak ada ide, belum tahu apa yang mesti ditulis, tidak paham, tidak bisa menulis, cape, belum punya bakat, bukan penulis dan alasan lainnya. Alasannya terlihat hebat, tapi sejatinya rapuh. 

Sepertinya alasan semacam itu juga menjadi alasan sebagian kita yang punya keinginan yang sama. Ingin punya buku karya sendiri tapi masih enggan memulai. Ingin hidup berubah tapi waktu terbuang begitu saja. Ingin rezeki numpuk tapi cuma duduk santai dan tak ada semangat untuk berkarya. Padahal kita butuh karya, bahkan butuh uang untuk keperluan ini itu. Tapi tetap saja berdiam diri. Ingin hidup lebih baik, tapi cuma berpangku tangan. Ingin rezeki numpuk tapi tak mau mencoba dan belajar. 

Kalau dalam pikiran kita masih terlintas kata: tidak bisa, tak ada waktu, malas dan belum tahu apa yang ditulis, itu pertanda dalam pikiran kita ada racun berbahaya dan mematikan yang sedang berpetualangan dan berpesta. Semua itu adalah racun yang bisa jadi menumpuk dalam pikiran kita karena ibadah kita selama ini yang ngasal, kita makan tapi tidak berdoa, dan dosa kita begitu numpuk.  Atau jangan-jangan kita tidak dicintai Allah lagi? 

Ingat, kata-kata seperti yang saya kutip di atas adalah racun yang layak kita bunuh atau jauhkan. Bila kita biarkan bakal jadi biang penyakit, bukan satu penyakit tapi ribuan penyakit. Penyakit yang paling berbahaya adalah malas dan enggan. Kita lebih sibuk mencari jawaban untuk mengatakan "tidak bisa" daripada mengatakan "Insyaa Allah saya bakal bisa". Padahal kedua jawaban itu sama-sama butuh waktu. Mengapa waktunya tidak diisi untuk mengatakan "Insyaa Allah saya bakal bisa!"?  

Kita sepertinya perlu banyak belajar kepada mereka yang kini sukses di berbagai aktivitas dan karir. Bila kita belajar mereka, kita bakal dapat memahami bahwa orang optimis selalu punya alasan untuk melakukan kebaikan, untuk berkarya terutama untuk menghasilkan karya tulis. Mereka yang sukses di dunia literasi adalah mereka berani berkorban: waktu, pikiran dan tenaga, bahkan perasaan. Mereka siap melawan rasa kantuk untuk menghasilkan tulisan yang layak dibaca. Mereka siap dihina karena tulisannya dianggap tak bermutu. Itu adalah momentum belajar dan berbenah. 

Jadi, sekarang katakan, "Insyaa Allah saya bisa... Saya bakal coba..." Ingat, kesuksesan berawal dari pikiran. Pikiran optimis dapat menjadi energi untuk meraih kesuksesan. Bila waktu audisi kepenulisan sebulan, masa iya kita tidak ada waktu 3 menit untuk menulis setiap hari? Sesibuk itukah kita sehingga 24 jam semuanya terpakai untuk ratusan aktivitas? Duduk santai, main hp, komentar di media sosial begitu hebat dan semangat. Mengapa untuk menulis enggan? 

Sekali lagi, katakan: yes i can! Saya bisa, insyaa Allah saya bisa, dan ungkapan optimistis lainnya perlu dijadikan energi kita dalam menjalani kehidupan, termasuk hak sepele seperti audisi menulis dan serupanya. Percayakah, bila kita optimis maka apa yang kita inginkan bakal Allah mudahkan jalan untuk mewujudkan atau mencapainya. Kita mesti gerget atau antusias dan terlihat optimis atau semangat untuk berkarya hingga berprestasi. Menulis memang bukan segalanya, tapi dengan menulis hingga punya karya tulis sendiri kita bisa meraih banyak hal. Baca ulang dan renungi ungkapan ini: If you will it, its not dream! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Plan Your Success" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok