Bang Haji Mastur dan Rasa Rindu yang Terobati
Namanya H. Mastur, akrab saya sapa Bang Mastur. Selain pernah menjadi tenaga pengajar di Ponpes Nurul Hakim di Kediri, Lombok Barat, NTB untuk beberapa waktu, beliau juga pernah memimpin sebuah bank di NTT. Sehingga beliau mengenal begitu banyak tempat di NTT, dari ujung timur Larantuka hingga ujung barat Labuan Bajo. Beliau sendiri lahir dan asli Lombok, NTB, namun telah berkunjung ke berbagai kota bahkan beberapa kali ke tanah suci; Mekah dan Madinah. Sehingga pengalamannya tentu sangat banyak dan layak menjadi inspirasi bagi saya.
Ada beberapa hal yang selalu terngiang dan berkesan dengan sosok yang murah senyum ini, yaitu jago silat, disiplin, teratur, rajin baca, mampu berbahasa arab dan inggris, akrab dengan siapapun, ngemong pada yang lebih muda dan selalu berbagi motivasi atau semangat. Dan tentu saja sangat santun dan menghormat pada yang lebih tua, terutama para ulama atau tuan guru dan sebagainya. Satu kesatuan karakter dan nilai yang layak diteladani oleh siapapun, terutama saya yang sudah puluhan tahun di tanah rantauan, tepatnya di Jawa Barat dan Jakarta.
Pertemuan saya dengan beliau hari ini memang sangat mendadak. Benar-benar mendadak. Walau mendadak tapi tetap punya kenangan berharga. Beliau memiliki agenda yang cukup padat di Jakarta, lalu ada kunjungan ke Jawa Barat tepatnya Bandung dan Kuningan juga ke Jogjakarta. Menjelang ke Jogjakarta, beliau pun mengabarkan ke saya bahwa hari ini beliau melewati Kota Cirebon. Saya pun meng-iya-kan dan berjanji mesti bertemu dengan beliau. Saya pun menggeser jadwal aktivitas untuk hari ini agar bisa bersua dengan beliau.
Allah pun mengabulkan harapan saya untuk bertemu dengan beliau. Saya bersua dengan beliau sekitar pukul 09.30 WIB di ruang tunggu stasiun kereta Kejaksan, Kota Cirebon, 26 menit sebelum kereta yang beliau tumpangi berangkat menuju Jogjakarta. Seperti biasa, beliau mengawali dengan menyapa dengan gaya khasnya yang penuh keakraban seperti saat kami masih nyantri di pondok yang sama puluhan tahun silam. Ya, Bang H. Mastur terlihat awet muda dan masih giat berbagi senyum seperti sedia kala.
Setelah itu, kami pun berbincang perihal aktivitas masing-masing. Tentu dengan penuh antusias dan tetap tebar senyum juga tawa tanda riang. Di sela-sela itu, beliau menghubungi salah satu senior kami alumni dari pondok yang sama yaitu Dr. Agus Pujiarta, yang kini menjadi pimpinan beberapa lembaga pendidikan dan sosial, termasuk Pondok Pesantren As-Syifa di Subang, Jawa Barat. Keakraban kami sangat terasa. Sesama alumni Nurul Hakim seperti keluarga sendiri. Tak ada sekat, bicara apa adanya dan benar-benar terasa ukhuwah islamiyahnya.
Dua puluhan menit lebih tak terasa berlalu begitu saja. Peringatan kereta yang akan ditumpangi oleh Bang H. Mastur sudah berlangsung. Itu pertanda pertemuan kami segera diakhiri. Temu kangen yang sesaat mampu mengobati rasa rindu karena berpisah selama puluhan tahun. Jujur saja, saya banyak belajar dari sosok yang murah senyum ini. Walau usia cukup jauh di atas saya, namun tetap awet muda. Saya menduga dengan kuat hal ini karena beliau sangat menjaga kesehatan dan spiritual serta kebaikan pada sesama. Beliau pun tetap terlihat riang dan penuh semangat.
Jazakumullah Bang H. Mastur yang telah berkenan silaturahim dan bersua dengan saya. Walau hanya puluhan menit, namun pertemuan kali ini benar-benar berkesan dan menambah semangat saya untuk terus belajar tentang banyak hal. Selain mendalami ilmu yang berkaitan dengan karir akademik dan umum, juga tentang ketekunan dalam membangun dan memajukan usaha. Mudah-mudahan setiap ikhtiar kita selalu dalam bimbingan dan keberkahan dari Allah. Selebihnya, semoga di lain kesempatan kita bisa bersua lagi. Selamat jalan Bang H. Mastur, semoga Allah selalu menyertai! (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Merindui Nurul Hakim"
Komentar
Posting Komentar