Penulis Mau Ke Mana?
Sehari setelah dilantik, Prabowo pun melantik 100-an lebih pejabat menteri, wakil menteri dan kepala badan atau sebutan lainnya. Dari kabinet kementrian dan badan yang dibentuk ada begitu banyak postur baru, walau dengan warna yang sama dengan kabinet rezim Joko Widodo. Sebagai warga biasa dan aktif di dunia kepenulisan, saya penasaran kementrian atau badan apa yang berkaitan dengan dunia kepenulisan, lebih khusus lagi penulis. Saya benar-benar penasaran dan terus bertanya: apakah ada kementrian atau badan negara yang diberi tugas untuk memperhatikan dunia kepenulisan dan penulis? Apakah kementerian pendidikan dasar dan menengah, kementerian kebudayaan, atau kementrian alias badan apa?
Mengapa saya penasaran? Sebab selama ini penulis nyaris tidak pernah diperhitungkan dan tidak pernah diperbincangkan dalam berbagai kebijakan negara. Penulis dengan aktivitas literasinya terutama dalam menghadirkan karya tulis nyaris tak dianggap selayaknya profesi lainnya. Hampir semua profesi memiliki "gantungan" di kementrian atau badan tertentu. Apapun profesinya, umumnya diperhatikan oleh negara, dari fasilitas, sarana dan prasaran hingga anggaran untuk gaji, tunjangan, pensiunan dan sebagainya. Mereka berhenti berkarir pun tetap mendapat perhatian negara.
Ya, kita harus akui bahwa sampai detik ini tidak ada penghargaan negara kepada penulis. Penulis adalah satu-satunya profesi yang tidak mendapatkan tempat di postur anggaran negara. Jangan pernah mencari kementrian atau lembaga yang berkaitan dengan penulis. Mencarinya sama saja dengan mencari jarum di jerami sekian hektar. Sudah dan tak bakal ditemukan. Padahal, menulis itu pekerjaan yang sangat menentukan isi kepala masyarakat terutama mereka sebagai pembaca. Lebih jauh, buku yang mereka baca sangat menentukan kualitas masyarakat secara keseluruhan.
Bayangkan saja, salah satu tujuan bernegara dalam konstitusi kita yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Pertanyaannya, apakah menulis buku bukan bagian dari upaya mencerdaskan bangsa? Masyarakat memang membaca apa bila tak ada buku yang dibaca? Masyarakat membaca apa bila tak ada penulis yang mengisi konten media online dan menulis di media massa? Bila profesi yang lain mendapatkan tempat dan diafirmasi di berbagai postur anggaran, mengapa profesi penulis tidak mendapatkan perhatian di postur anggaran negara?
Jumlah penulis buku dari tahun ke tahun semakin sedikit. Penulis tua tinggal nama, karena karya mereka masih stok lama. Mereka enggan menulis buku-buku baru. Selain karena faktor usia, mungkin juga karena karya mereka tidak dianggap apa-apa. Bahkan, belakangan ini jumlah buku yang diterbitkan per bulannya pun semakin menurun. Bila pun ada yang mencetak buku, itu hanya untuk kebutuhan akademik dan karir, sehingga hanya dikonsumsi oleh kalangan terbatas. Bahkan bila dosen menulis buku, mahasiswa tidak tahu kalau dosennya punya atau menulis buku. Karena dosen juga malas mempublikasi karyanya.
Toko buku semakin tak mendapatkan apresiasi masyarakat. Pengunjung diskotik malam lebih banyak dari pengunjung toko buku. Bila pun ada pengunjung toko buku, itu sekadar selingan akhir pekan setelah mumet dengan berbagai pekerjaan atau aktivitas harian. Berkunjung ya, tapi tak membeli buku. Sekadar membaca judul atau sekadar foto sebentar sembari memegang buku. Seakan-akan baca buku, padahal cuma memegang buku. Tidak beli buku dan tidak membaca buku juga. Terlihat seperti hal yang wajar, tapi sejatinya kurang ajar!
Kondisinya semakin miris karena toko buku masih diisi oleh buku stok lama. Atau mungkin ada buku baru tapi hanya revisi edisi lama. Edisi cetak baru, ganti cover baru. Atau ada juga buku yang merupakan terjemahan buku asing. Penulisnya juga sudah meninggal dan diterbitkan tahun sekian, sebelum sedasawarsa lalu. Selain isinya yang sudah kadaluwarsa atau stok tua, diksinya juga masih menggunakan diksi lama. Pembaca pun hanya membaca judul, tak ada upaya untuk membeli buku. Lagi-lagi pembaca hanya sibuk memegang dan foto sambil memegang buku.
Ya, toko buku, di hampir semua kota, diisi oleh karya atau buku penulis asing. Nama mereka tak asing, sudah dikenal sejak puluhan tahun lalu. Penulis lokal atau dalam negeri tinggal beberapa saja. Bila mereka menulis, itu tidak ditemukan di toko buku. Karena cetaknya sedikit, dan kadang tidak percaya diri dengan karyanya sendiri. Penulis lokal baru pandai menulis secara keroyokan, belum tergoda untuk menulis secara mandiri. Bahkan kualitas tulisannya masih perlu ditingkatkan kualitasnya. Jam terbang dan pengalaman memang akhirnya menjadi aspek penting.
Bila negara belum memperhatikan dunia kepenulisan dan penulis, lalu apakah penulis hanya berdiam diri dan menganggap semuanya sebagai hal yang biasa saja? Mengapa tak ada gerakan nasional yang mencerminkan upaya kolektif dalam mengadvokasi dunia kepenulisan dan penulis dalam ranah yang lebih terhormat? Mengapa tak ada kegelisahan revolusioner dalam rangka memastikan penulis mendapatkan perhatian dari negara? Bukan kah karya tulis adalah medium mencerdaskan sekaligus memuliakan bangsa juga layaknya profesi serupa atau selainnya?
Mungkin ada penulis yang merasa tak perlu perhatian dari negara, itu wajar saja. Mungkin sudah tak perlu mendapatkan hak semacam itu. Atau mungkin penulis semacam itu sudah bisa menerbitkan buku tanpa kertas, tinta dan serupanya. Mungkin mereka bisa menerbitkan buku pakai daun pisang yang bisa diperoleh secara gratis di tetangga rumah. Mungkin sudah nyama dengan profesi lainnya. Menulis sekadar selingan. Bagi saya, penulis ikhlas boleh saja, tapi jangan naif. Sebab faktanya, naif juga. Misalnya, saat menerbitkan buku ada penulis yang sibuk garuk kepala karena tak ada biaya untuk cetak, beli qouta dan beli kopi hangat. Katanya ikhlas, tapi cengeng juga. Hohoho, penulis mau ke mana? (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Bangkit Kaum Muda, Majukan Indonesia"
Komentar
Posting Komentar