MENANTI PERAN TRANSFORMATIF PTKIN


PADA momentum Hari Amal Bakti (HAB) Kementrian Agama (Kemenag) ke-75 tahun ini (yang jatuh pada 3 Januari 2021) ada baiknya kita merefleksi salah satu tanggung jawab Kemenag yaitu pengelolaan perguruan tinggi berbasis agama Islam, terutama Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Beberapa tahun lalu Kemenag memperkenalkan istilah baru untuk menunjuk perguruan tinggi Islam yang berada di bawah naungannya, yaitu Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Sejak lama kita mengenal sebutan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) untuk perguruan tinggi Islam yang berada di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) seperti STAIN, IAIN dan UIN. 

Pertanyaan lama pun kembali muncul: perguruan tinggi Islam mau ke mana dan dibawa ke mana?, apa urgensi mengganti nama atau label bagi perguruan tinggi Islam?, dan bagaimana perannya ke depan? Dalam konteks pergantian nama PTAIN ke PTKIN (termasuk transformasi STAIN ke IAIN dan IAIN ke UIN), pertanyaan semacam di atas menjadi sangat penting dan perlu didiskusikan di kalangan perguruan tinggi Islam dan stakeholder keagamaan Islam di berbagai sektor. Sehingga proses transformasi benar-benar diawali oleh kesiapan yang matang, baik aspek sistem, manajemen maupun infrastruktur kampus serta kultur akademik yang dibangun seperti budaya riset, tradisi pengkaryaan (misalnya baca-tulis) dan pendalaman keilmuan berdaya saing tinggi.  

Sekadar mengingatkan, pada tahun 1960, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 11 tahun 1960 tentang pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Dalam perpres tersebut dicantumkan pertimbangan pertama: “Bahwa sesuai dengan Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, yang menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut, untuk memperbaiki dan memadjukan pendidikan tenaga ahli Agama Islam guna keperluan Pemerintah dan masjarakat dipandang perlu untuk mengadakan Institut Agama Islam Negeri.” 

Dari sini dapat dipahami bahwa niat awal tujuan pembentukan perguruan tinggi Islam, terutama yang berlabel negeri (seperti STAIN, IAIN dan UIN) sangatlah mulia, futuristik dan memiliki konsekwensi moral. Dengan begitu, perguruan tinggi Islam (STAIN, IAIN dan UIN) mesti memiliki desain konsepsional dan praktis dalam rangka melahirkan para ilmuwan yang benar-benar berilmu dan tangguh dalam mengajarkan serta mengamalkan ilmunya; ilmuan muslim yang bukan saja memahami ilmu agama dalam konteks teoritis-konsepsional, tapi juga dalam konteks praktis-operasionalnya.  

Sederhananya, perubahan nomenklatur mesti memiliki efek transformatif yang subtantif, terutama dalam membangun kampus sebagai laboratorium ilmuan dan keilmuan, baik ilmu-ilmu pokok agama maupun ilmu terapan serta ilmu pengetahuan hasil penemuan era modern. Gagal dalam memaknai perubahan label atau nama secara subtantif sama saja dengan menggali kubur perguruan tinggi Islam itu sendiri. Jika begitu, menurut Akh Minhaji (2016), hal ini memperkuat pandangan yang berkembang luas selama ini bahwa tradisi akademik di perguruan tinggi Islam dalam mengkaji agama (Islam) hanya sebatas fenomena sosial-budaya layaknya di Barat, bukan mendalami ilmu-ilmu pokok agama secara transformatif.  

Selama ini kajian Islam di perguruan tinggi Islam lebih menekankan unsur kedua (praktik, profan, tradisi, dan sejarah) dan kurang memberi perhatian memadai pada unsur pertama (konsep, sakral, keyakinan dan doktrin-ajaran). Sehingga begitu banyak yang pakar dalam mendebat bahkan “menggugat” teks agama  hingga “mencaci-maki” praktik keagamaan, namun hanya sedikit yang ahli dalam ilmu agama dan memiliki kapasitas dalam melakukan teoritisasi ilmu-ilmu keagamaan sehingga bisa dielaborasi dalam dunia yang lebih ril dan bermanfaat bagi kemanusiaan.   

Dalam lembar sejarah terutama sejak awal kemerdekaan (pada tahun 1950-an) peran kampus berlabel Islam sudah memberi efek konstruktif dalam pembangunan pendidikan dan bangsa. Lakon historis semacam itulah yang mesti dijadikan inspirasi bagi perguruan tinggi Islam dalam kehidupan yang semakin kompleks dan dinamika global yang semakin kompetitif ini.  

Dalam konteks itu, ada beberapa peran penting yang perlu diperkuat, pertama, perguruan tinggi Islam mesti menjadi institusi transmisi ilmu pengetahuan dengan memadukan ilmu-ilmu pokok keislaman dengan ilmu-ilmu yang berkembang di era kontemporer seperti sains dan teknologi. Atau agenda yang cukup berani dan radikal adalah melakukan apa yang disebut oleh Wan Mohd Nor Wan Daud (2013) sebagai proses islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Rilnya, menurut Pakar Pendidikan ISTAC dan penulis buku “Rihlah Ilmiah Wan Mohm Nor Wan Daud; Dari Neomodernisme Ke Islamisasi Ilmu Kontemporer” (2012) tersebut, perguruan tinggi Islam mesti mampu  “mengkawinkan” ilmu-ilmu pokok agama dan ilmu pengetahuan kontemporer dengan mendiagnosa konsep dan teori-teori “subhat” sehingga terlahir generasi atau ilmuan yang ahli berbagai ilmu atau multi disiplin ilmu, memiliki basis keilmuan yang kuat serta bertangungjawab atas ilmunya.     

Kedua, mengutip pandangan Amich Alhumami (2016), perguruan tinggi Islam mesti menjadi ujung tombak gerakan pembaharuan pemikiran Islam sebagai respon atas dinamika modernisasi, dengan tetap berpijak pada tradisi dan khazanah keilmuan Islam era sebelumnya yang masih relevan dengan kebutuhan zaman. Dalam konteks ini, gagasan Kuntowijoyo (2008) seputar “objektivikasi Islam” menjadi urgen dan semakin menemukan relevansinya. Pada bukunya Paradigma Islam (2008), Kuntowijoyo menegaskan perlunya elite atau kalangan intelektual muslim merumuskan konsep-konsep pengetahuan agama yang memberi dampak praktis bagi kemanusiaan. Sederhananya, “penjaga agama” mesti memiliki kemampuan menjadi juru bicara agama yang berasal dari teks-teks agama lalu dielaborasi dalam kemasan yang lebih kontekstual dengan kebutuhan dan kehidupan ril kemanusiaan. 

Ketiga, perguruan tinggi Islam mesti menjadi rumah moderasi dan laboratorium terbuka bagi berlangsungnya dialektika pemikiran keagamaan dalam Islam, lintas aliran, bervarian mazhab dan beragam kelompok. Kampus mesti “bersih” dari bentuk mistifikasi agama semisal memutlakkan sekaligus mengabsolutkan kebenaran kelompok berdasarkan pandangan mazhab, label sosial, latar organisasi bahkan simbol-simbol. Pada saat yang sama, tak sedikit kelompok yang begitu antusias dalam menepikan adanya kebenaran pada kelompok lain, sehingga nilai juga prinsip liberasi, humanis dan transendensi agama terisolasi bahkan terpenjara rapih dalam dogma kelompok.  

Keempat, sebagai penggawa dan penentu kebijakan strategis sudah saatnya Kemenag kembali ke “khitah” bahwa inti visi dan tradisi akademik perguruan tinggi Islam adalah mengajarkan doktrin agama juga mentransformasikannya dalam konteks teoritisasi hingga menjadi aksi-aksi praktis yang berdampak bagi penambahan pengetahuan dan wawasan, peneguhan moral dan nalar, penguatan ekonomi dan kesejahteraan hingga peningkatan kualitas kontribusi bagi hadirnya peradaban bangsa yang semakin maju dan bermartabat.   

Kecanggihan para pendekar intelektual perguruan tinggi Islam dalam melakoni peran semacam itu mesti ditumbuh-kembangkan secara sadar, terencana dan berkelanjutan dalam sistem terpadu Kemenag. Bila ini menjadi agenda revolusioner yang tergalang secara masif dalam wacana dan dialektika keilmuan para pejuang profetis (baca: akademisi) di perguruan tinggi Islam, baik para pimpinan dan tenaga pengajar maupun para mahasiswa juga stakeholder lain, maka hal ini akan membuat perguruan tinggi Islam semakin maju dan memiliki peran sosial yang semakin luas dalam panggung sejarah keumatan, kebangsaan dan kemanusiaan-global. Hal ini tentu akan berjalan dengan baik dan semakin efektif manakala mendapat dukungan moral dan aksi praktis para ulama, penceramah, da’i, mubaligh, pemuka agama, ustadz-ustzadzah (termasuk yang tergabung dalam Forum Ustadz-Ustadzah Nusantara atau Forsatu Nusantara), generasi muda Islam dan sebagainya. Semoga semuanya terlibat dalam melakukan peran transformatif! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku “Pendidikan Untuk Bangsa” dan Wakil Ketua Bidang Riset dan Kajian Forsatu Nusantara.

* Tulisan ini dielaborasi dari tulisan pada halaman 110-115 buku saya yang berjudul "Pendidikan Untuk Bangsa". Pusat info 085797644300.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok