MENUJU UMAT DAN BANGSA YANG BERADAB


BEBERAPA ayat al-Quran berikut ini memberikan penjelasan tentang kehancuran suatu bangsa dan peradaban. “Maka apabila mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan tiba-tiba (sekonyong-konyong), maka ketika itu mereka terdiam dan berputus asa". (QS. al-Anam: 44) 

Kemudian, “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepatutnya berlaku keputusan Kami terhadap mereka, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya (QS. al-Isra: 16).  

Lalu, "Andaikan penduduk suatu wilayah mau beriman dan bertaqwa, maka pasti akan Kami buka pintu-pintu barokah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ajaran-ajaran Allah), maka Kami azab mereka, karena perbuatan mereka sendiri". (QS. al-Araf: 96). 

Penjelasan al-Quran ini sangatlah penting untuk menjadi pelajaran, khususnya bagi kita kaum Muslimin dan umumnya seluruh elemen bangsa (Indonesia) ini, agar kita tidak mengulang kembali tindakan-tindakan yang dilakukan oleh umat terdahulu, yang dapat menghancurkan bangsa dan peradaban kita. 

Al-Quran mengisahkan bahwa kehancuran suatu kaum berhubungan dengan dua hal yaitu: (1) sikap kaum yang melupakan peringatan Allah, sehingga mereka lupa diri dan hidupnya dihabiskan untuk sekadar mencari kesenangan demi kesenangan (hedonisme). Hal ini juga disebutkan dalam al-Quran surat at-Taubah ayat 24. (2) tindakan elite-elite atau pembesar masyarakat yang melupakan Allah dan membuat kerusakan di muka bumi. Apabila di dalam suatu peradaban sudah tampak dominan adanya para pembesar, tokoh masyarakat, orang-orang kaya yang bergaya hidup mewah, atau siapa saja yang bermewah-mewah dalam hidupnya, maka itu pertanda kehancuran peradaban itu sudah dekat. (Jatuh Bangunnya Peradaban, Adian Husaini, 2015).   

Akan tetapi, dari kedua hal tersebut, inti dari kehancuran peradaban atau bangsa, adalah kehancuran iman dan kehancuran akhlak. Apabila iman kepada Allah sudah rusak, maka secara otomatis pula akan terjadi pembangkangan terhadap aturan-aturan Allah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Apabila perzinahan dan riba sudah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri." (HR. Thabrani dan al-Hakim).

Dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Apabila umatku sudah mengagungkan dunia maka akan dicabutlah kehebatan Islam; dan apabila mereka meninggalkan aktivitas amar maruf nahi munkar, maka akan diharamkan keberkahan wahyu; dan apabila umatku saling mencaci, maka jatuhlah mereka dalam pandangan Allah". (Al-Hadits).

Dalam sejarah manusia, berbagai kehancuran peradaban di muka bumi sudah begitu banyak terjadi. Dan Allah menganjurkan kaum Muslimin agar mengambil pelajaran (hikmah) dari peristiwa-peristiwa sejarah tersebut. Allah berfirman, "Maka berjalanlah di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana hasilnya orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul Allah)". (QS. an-Nahl: 36). 

Sebagai misal, Kaum Ad, telah dihancurkan Allah karena berlaku takabur (sombong) dan merasa paling berkuasa serta paling kuat. Mereka merasa tidak ada lagi yang dapat mengalahkan mereka, sehingga mereka berkata: "Siapa yang lebih hebat kekuatannya dari kami?" (QS. Fusshhilat: 15). Begitu juga kehancuran yang menimpa Firaun, Namrudz, dan sebagainya. Di masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, kaum Muslim yang jumlahnya sangat besar dan berlipat-lipat daripada umat lain, hampir saja dikalahkan dalam Perang Hunain. Allah berfirman, "Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai Para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, Yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), Maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang Luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai." (QS. at- Taubah: 25). 

Sejarah juga mencatat, bagaimana Peradaban Islam di Spanyol yang sangat agung dan sudah bertahan selama 800 tahun (711-1492) dapat dihancurkan dan akhirnya kaum Muslimin dimusnahkan dari bumi Spanyol. S. M. Imamuddin menyebutkan beberapa faktor penyebab kehancuran peradaban Islam di Spanyol. Yang terpenting adalah adanya perpecahan dan kecemburuan antar suku. Bahkan ada beberapa penguasa Muslim di Spanyol, seperti Mamun dari Toledo dan Dinasti Nasrid, mendapatkan kekuasaan dengan bantuan kekuatan Kristen untuk menghancurkan kekuatan Muslim lainnya. (S.M. Imamuddin, A Political History of Muslim Spain, Pakistan: S.M. Shahabuddin,1969, hal. 321-323).                  

Tentu saja kita tidak sedang mengobarkan peperangan dengan kelompok dan umat yang berbeda, tapi berupaya secara serius mengambil hikmah sekaligus pelajaran, bahwa betapa pentingnya memahami agama dalam skala yang luas: ruang dan zaman, termasuk membaca sejarah dan tanda sejarah secara cerdas. Intinya, kehancuran dan kejatuhan berbagai kaum, negeri, bangsa, dan peradaban, inilah yang sepatutnya direnungkan secara mendalam dan sungguh-sungguh oleh kaum Muslimin, khususnya para ulama, cendekiawan dan generasi muda Muslim, khususnya di bumi Nusantara ini. Apakah gejala-gejala kehancuran suatu negeri atau peradaban seperti yang disebutkan dalam al-Quran dan pernah terjadi dalam sejarah manusia tersebut sudah ditemukan dalam wilayah peradaban-Nusantara ini?  

Sungguh, jatuh bangunnya suatu bangsa dan peradaban, pada dasarnya tergantung pada kondisi manusia-manusia dalam bangsa dan peradaban itu sendiri. Kekalahan dan kehancuran suatu bangsa dan peradaban adalah disebabkan oleh tindakan mereka sendiri, yang menciptakan kondisi layak kalah (al-qabiliyyah lil-hazimah). Allah berfirman, "Yang demikian itu karena Allah sekali-kali tidak akan mengubah nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri". (QS. al-Anfal: 53). 

Sekadar menyebut sebagian fenomena yang masih menyelimuti bangsa dan peradaban Nusantara belakangan ini, misalnya: keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan, perpecahan, penyalahgunaan narkoba, minuman keras, korupsi, pemerkosaan, pembegalan, hingga pembunuhan dalam berbagai pola dan jenisnya, terus menggeliat. (Menghitung Ulang Cara Kita Ber-Indonesia, Syamsudin Kadir, 2019).          

Di samping itu, menurut Asep Salahudin (Kompas, 7/8/2015), harus diakui bahwa dalam perjalanan bernegara ada banyak anomali yang mencuat ke permukaan. Sebut saja korupsi yang kian menggurita, kemungkaran yang menyala-nyala, birokrasi yang pongah, kerumunan penguasa yang bertingkah tengik tak ubahnya kaum kolonial, dan gerombolan politisi yang kerjanya hanya memburu anggaran. 

Ironisnya, fenomena tersebut terjadi bersamaan dengan jumlah umat Islam yang begitu banyak dan tingkat keberagamaan yang dinilai meningkat. Hal ini, misalnya, sebagaimana dirilis oleh Lingkaran Survei Indonesia tahun 2011, yang menunjukan, 62,4% masyarakat Indonesia taat beragama, 23,4% tidak taat beragama, dan 0,7% tidak beragama, selebihnya tak memberi jawaban.   

Dalam pandangan Abd Ala (2015), fenomena buram yang berkembang akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa ketaatan beragama belum memiliki korelasi dengan membuminya kehidupan yang lebih bermoral. Padahal salah satu peran utama agama ialah menyemai-suburkan dan melabuhkan etik-moralitas luhur dalam kehidupan. Melalui ajaran dan nilai-nilai transendental yang abadi, agama dilahirkan untuk menjaga hubungan antarsesama dan alam semesta, sebagaimana juga merawat hubungan dengan Sang Pencipta, Allah.  

Intelektual Muslim sufi, Charles le Gai Eaton atau Hassan Abdul Hakeem (Manusia dalam Ensiklopedia Tematis Spiritual Islam, Mizan, 2002), menegaskan, individu Muslim sebagai wakil Tuhan di bumi senyata hidup dan bekerja di tengah sesamanya, yang tak ubahnya seperti diri sendiri dan harus diperlakukan seperti itu. Ia niscaya memperlakukan orang lain dengan rasa hormat bukan secara apa adanya, melainkan bagaimana seharusnya. 

Dengan demikian, kian taat seseorang dalam beragama, seharusnya kehidupannya kian bermoral dan beradab. Pada gilirannya, manakala individu di tengah masyarakat semakin banyak yang semacam itu, kehidupan masyarakat akan mempresentasikan keluhuran dalam beragam aspeknya. Namun lagi-lagi, sebagaimana yang disinggung di awal, realitas yang ada di bangsa ini jauh panggang dari api. Ketaatan beragama belum mampu mentransformasi individu dan masyarakat ke sikap dan perilaku yang lebih mencerminkan keluhuran dan keadaban. Alih-alih pecah-belah, permusuhan, keangkaramurkaan, keculasan, keberingasan, bahkan kekerasan mewarnai kehidupan kita dalam segala skala dan levelnya. 

Objektivikasi Umat Terbaik

Satu anugerah terbesar-bersyarat yang diperoleh umat Islam adalah menjadi umat terbaik, sebagaimana yang diungkap secara jelas dalam Quran Surat Ali Imran ayat 110, "Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan kepada manusia, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah kemungkaran, dan beriman pada Allah." 

Dalam pandangan Kuntowijoyo (Paradigma Islam, 2008), ayat ini mengungkapkan bahwa jika umat Islam hendak memperkokoh anugerah menjadi umat terbaik, maka mesti menempuh langkah riil yang bersifat pemberian (given) dari Allah, yaitu, pertama, progresif melaksanakan dan mendukung agenda-agenda perbaikan atau kebaikan; kedua, berani dan turut mengambil peran dalam mencegah dan memberantas fenomena keterbelakangan dan keburukan; ketiga, berupaya secara aktif meningkatkan kualitas keimanan kepada Allah.  

Dalam konteks objektivitasi umat terbaik, ketiga persyarat tersebut dapat bahkan mesti ditempuh untuk menghalau fenomena ironis di atas. Sebab pengabaian terhadap realitas buruk yang terus menerus menghantui bumi pertiwi sama saja dengan menumbuh dan mengembangbiakkan disiintegrasi sistem negara kesatuan bahkan meluluhlantahkah negeri para Wali yang dibangun sejak ratusan tahun lalu ini. 

Prasyarat menyuruh kepada yang maruf, mencegah kemungkaran, dan beriman pada Allah mesti diobjektivikasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, misalnya, dalam aspek-aspek publik: pendidikan, sosial, politik, ekonomi, budaya, pertahanan, keamanan dan sebagainya, baik secara struktural maupun kultural; agar proses emansipasi (humanisasi) dan liberasi yang terikat nilai-nilai transendensi berjalan terencana, menyeluruh dan terejahwantah.  

Dengan pemaknaan semacam itu, terlalu naif rasanya manakala masih ada sebagian elemen, untuk tidak disebut segelintir orang, yang menempatkan bangsa dan negara sebagai lawan, bahkan menempatkannya sebagai musuh yang mesti dihabisi dengan penyebaran term antipati yang terkesan sangat bebal dan norak seperti kafir, munafik dan serupanya. Padahal dari segi filosofis dan sosio-kulturalnya, agama tak merintangi keberadaan maupun hakikat suka, bangsa, sebagaimana tak merintangi negara. Justru agama menempatkan suku, bangsa dan label sosial-kultural lainnya dalam tempat yang agung, dengan syarat memiliki takwa dan bersungguh-sungguh dalam bertakwa.

Allah berfirman, "Hai manusia, sesungguhnya Kami mencipatkan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Mahateliti". (QS. al-Hujurat: 13)   

Adalah Imam al-Ghazali telah melakukan tugas sekaligus peran sejarah yang sangat gemilang. Melalui kitab-kitab yang ditulisnya setelah merenungkan kondisi umat secara mendalam, al-Ghazali sampai pada kesimpulan bahwa yang harus dibenahi pertama dari umat adalah masalah keilmuan dan keulamaan. Oleh sebab itu, kitabnya yang terkenal diberi nama Ihya Ulumuddin. Adalah menarik, bagaimana dalam situasi perang (baca: Perang Salib), al-Ghazali mampu melihat masalah umat secara mendasar dan komprehensif. Dan melalui Ihya Ulumuddin, al-Ghazali juga menekankan pentingnya masalah ilmu dan akhlak. Ia membuka Kitabnya itu dengan Kitabul Ilmi dan sangat menekankan pentingnya aktivitas amar maruf nahi munkar. 

Aktivitas amal maruf dan nahi munkar, kata al- Ghazali, adalah kutub terbesar dalam urusan agama. Ia adalah sesuatu yang penting, dan karena misi itulah, maka Allah mengutus para nabi. Jika aktivitas amar maruf nahi munkar hilang, maka syiar kenabian hilang, agama menjadi rusak, kesesatan tersebar, kebodohan akan merajelela, satu negeri akan binasa. Begitu juga umat secara keseluruhan.

Mengenai hal ini banyak sekali firman Allah dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yang secara tegas memberi pencerahan dan pengarahan. Misalnya, Allah berfirman, "Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa Putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu". (QS al-Maidah: 78-79). 

Jadi, karena tidak melarang tindakan munkar diantara mereka, maka kaum Bani Israel itu dikutuk oleh Allah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda, "Tidaklah dari satu kaum berbuat maksiat, dan diantara mereka ada orang yang mampu untuk melawannya, tetapi dia tidak berbuat itu, melainkan hampir-hampir Allah meratakan mereka dengan azab dari sisi-Nya." (HR Abu Dawud, at-Turmudzi, dan Ibnu Majah). 

Kemudian dalam hadits lain, "Hendaklah kamu menjalankan amar maruf dan nahi munkar, atau Allah akan memberikan kekuasaan atasmu kepada orang-orang jahat diantara kamu, dan kemudian orang-orang yang baik diantara kamu berdoa, lalu tidak dikabulkan doa mereka itu." (HR al-Bazzar dan at-Thabrani).

Ke depan, khususnya sebagai umat Islam, kita perlu melakukan rekonstruksi keberagamaan. Kita perlu mengingatkan mereka yang terjebak dalam gerakan teror, agar kembali ke jalan yang benar: memahami agama secara utuh dan holistik serta menyikapi sebagai ajaran dan nilai-nilai universal yang dari zaman ke zaman perlu didialogkan dengan ruang dan zaman itu sendiri secara sadar, damai dan menggunakan akal sehat. 

Kita perlu mendialektikakan agama dalam konteks perubahan dan tranformasi sosial, bukan malah menghadirkan bencana dan malapetaka sosial: kekerasan dalam bentuk aksi teror yang hanya mendatangkan disintegrasi, bencana dan malapetaka. Kita tentu bersepakat bahwa alfabeta ajaran agama adalah seutuhnya etika-moral yang harus dilabuhkan ke dalam kenyataan dan menjadi dasar sikap, pandangan dan perilaku dalam segala kehidupan yang dijalani. Baik dalam level individu, masyarakat maupun bangsa yang beragam latar. Keberhasilan kita dalam mendialogkan dan mendialektikakan agama akan mempercepat proses transformasi sosial secara positif dan konstruktif. Hal itu juga pertanda bahwa anugerah menjadi umat terbaik sudah mulai mewujud atau memiliki konteksnya dalam kehidupan riil. 

Harapannya, peran kita sebagai umat Islam maupun sebagai warga negara bukan lagi masuk kategori penonton, tapi masuk kategori penuntun; bukan lagi penggembira tapi sebagai pencipta; tidak lagi penagih kuasa tapi sebagai pelaku utama. Peran positif dan kontribusi ril berbagai kalangan, termasuk elemen dalam Forum Silaturahim Ustadz-Ustadzah Nusantara atau Forsatu Nusantara sangat dinanti, terutama dalam menghadirkan wacana keislaman yang menyejukkan dan mendamaikan sebagaimana yang sudah menjadi karakter unggul Islam itu sendiri sebagai agama yang rahmat, tengahan dan berperadaban di tengah berbagai tantangan dan ujian yang sedang melanda umat dan bangsa kita akhir-akhir ini.  

Sungguh, kalau saja cara pandang dan tingkah semacam itu yang menjadi laku kita, maka tak lama lagi kita akan menyaksikan bangsa dan negara Indonesia yang semakin adil juga beradab, sebagaimana yang digariskan dalam Pancasila yang dirumuskan oleh para pendahulu. Itulah cara terbaik menikmati indahnya Islam di Indonesia yang sama-sama kita cintai ini. Sudah saatnya menepikan praktik yang merusak, menzolimi dan menghadirkan bencana. Mari menjadi umat dan bangsa yang kudus, yang bukan saja mengetahui hak tapi juga yang utama adalah memahami sekaligus menunaikan kewajiban. Semoga pada awal 2021 ini bisa menjadi momentum yang bersejarah bagi kita untuk memulai dan melanjutkan hal-hal positif dan baik yang pernah kita jejakkan sebelumnya, sehingga keberadaan kita menjadi "berkah" tersendiri bagi umat manusia! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Menjadi Pendidik Hebat" dan Wakil Ketua Bidang Riset dan Kajian Forsatu Nusantara.  Judul tulisan "MENUJU UMAT DAN BANGSA YANG BERADAB; Upaya Menikmati Indahnya Islam di Indonesia". 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok