Idhul Fitri Sebagai Momentum Meneguhkan Persatuan Ummat Islam


Alhamdulillah, dengan penuh semangat kita panjatkan rasa syukur kepada Allah dengan banyak memuji-Nya. Karena cinta dan sayang-Nya kita bisa melalui shaum Ramadan tahun 1442 yang bertepatan dengan pertengahan April hingga pertengahan Mei 2021 ini dengan riang. Bukan saja ibadah shaum, ibadah khas Ramadan seperti shalat tarawih, berbuka, sahur dan sebagainya pun dapat kita tunaikan. 

Walau dalam kondisi terhantui oleh bencana non alam: Covid-19 yang masih saja menimpa berbagai negara di dunia, termasuk negara kita Indonesia, pelaksanaan ibadah shaum tahun ini tergolong aman dan lancar. Karena itu, sekali lagi, kita layak bersyukur kepada Allah karena mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan Ramadan dan bisa menunaikan berbagai ibadah di dalamnya. 

Hari Rabu 12 Mei 2021 adalah hari terakhir kita pada Ramadan 1442. Terhitung sejak Selasa 13 April 2021 lalu hingga hari Rabu (12 Mei) telah genap 30 hari kita menjalani ibadah shaum Ramadan dan ibadah lainnya. Betul bahwa secara sepintas ini terlihat rutinitas, sebab setiap tahunnya kita melalui hal serupa. Namun  kali ini menjadi berbeda, sebab kita masih dirundung bencana global: Covid-19. Ini adalah momentum untuk banyak merenung atas berbagai tingkah kita selama ini yang bisa jadi membuat Allah murka. 

Coba cek shalat 5 waktu kita, apakah kita masih lalai bahkan malas melakukannya? Coba cek shaum kita, apakah kita kerap meremehkannya bila Ramadan tiba? Coba cek lidah kita, apakah kita malas untuk membaca ayat-ayat al-Quran? Coba cek mulut kita, apakah kita sering berkata kotor, memfitnah, menghasut dan mencaci maki? Kali ini adalah momentum untuk bertaubat kepada Allah dan bermaaf-maafan pada sesama. 

Bencana non alam, bencan alam dan berbagai problematika yang menimpa berbagai negara, termasuk berbagai problematika yang dialami berbagai negeri muslim di seantero bumi, meniscayakan kita untuk meneguhkan kembali semangat kita dalam segala sisinya. Tentu saja yang paling penting dan mendesak untuk kita teguhkan kembali adalah semangat persatuan ummat Islam. Sebuah semangat yang berpijak pada ikatan suci yaitu iman, dan ikatan kultural yaitu bangsa. 

Pada Quran Surat Ali 'Imran ayat 103 Allah berfirman, 

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا ۖوَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَاۤءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًاۚ وَكُنْتُمْ عَلٰى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنْقَذَكُمْ مِّنْهَا ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ

"Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk." 

Meneguhkan persatuan ummat Islam pada kondisi berbagai negeri muslim dilanda konflik, teror dan terjajah, misalnya, adalah niscaya dan tidak bisa dianggap remeh lagi. Persatuan ummat Islam adalah kunci penting yang dapat membuka jalan keluar dari berbagai problematika yang melanda. Persatuan menghendaki meleburnya selera individu pada kepentingan kolektif. Para pemimpin dan warga biasa mesti akur dan bersatu untuk meneguhkan persatuan ummat Islam. 

Untuk meneguhkan persatuan ummat Islam ada beberapa hal yang mesti diperhatikan, pertama, mnyadari pentingnya bersatu dan menyatu dalam bingkai di atas tali Allah. Tali atau ikatan Allah adalah Wahyu Allah berupa al-Quran dan al-Sunnah. Segala ikatan kelompok bahkan negara sangat mungkin disatukan dalam ikatan tali Allah tanpa menepikan ikatan kebangsaan yang sama-sama jaga. 

Ikatan Allah mengandung nilai dan prinsip khas dan universal. Ia mencakup seluruh kehidupan umat manusia, lintas sektor dan latar belakang.  Ia menjadi titik temu keragaman ummat dan bangsa yang memang beragam. Kemampuan untuk menjaga nilai dan prinsip yang khas dan universal akan memudahkan kita untuk berkontribusi bagi kemajuan ummat dan bangsa pada level yang lebih praktis.  

Kedua, menepikan atau menghindarkan perpecahan. Berbeda atau keragaman adalah niscaya dan merupakan bagian dari sunnatullah. Namun perpecahan sangat berbeda dengan keragaman. Bila keragaman adalah pertanda bahwa kita memiliki kekayaan potensi, maka perpecahan adalah pertanda hancur leburnya barisan keumatan dan kebangsaan kita. Bila keragaman sejatinya membuat kita semakin toleran, maka perpecahan bakal membuat kita saling menepikan bahkan meniadakan.

Ketiga, aktif mengingat dan bersyukur atas semua nikmat Allah. Di tengah berbagai problematika yang melanda, baik pada skala pribadi maupun skala negara, kita tetap punya alasan untuk bersyukur. Sebab Allah masih menitipkan nikmat iman dan islam kepada kita.  Rasa syukur atas kedua nikmat ini mesti terwujud dalam kehidupan yang selalu merasa diawasi Allah yang kerap disebut ihsan. Yaitu beribadah dan berbuat baik seakan-akan kita melihat Allah, bilapun kita tidak mampu melihat Allah maka sungguh Allah menyaksikan atau maha melihat kita. 

Keempat, bersyukur atas nikmat persaudaraan. Dengan iman kita dipersaudarakan oleh Allah dalam bingkai persaudaraan seiman, dengan rumpun bangsa kita dipersaudarakan oleh Allah dalam bingkai persaudaraan sebangsa. Seiman dan sebangsa adalah dua nikmat penting yang mesti kita syukuri dalam segala momentumnya. Pancasila adalah titik temu antar keragaman iman dan bangsa. Hal ini bukan berati mencapuradukkan iman, tapi melakukan proses transmisi nilai iman secara rasional dan kultural. Begitulah strategi dakwah nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam dan para sahabat beliau belasan abad silam. 

Semangat menjadikan tali Allah sebagai pengikat kolektivisme mesti dipahami secara subtantif, sehingga keragaman tidak menjadi biang keterpecahan diantara kita, malah menjadi modal penting dalam mengokohkan persatuan ummat Islam. Perbedaan yang ada di tengah ummat mesti diramu dan ditawat dalam bingkai iman dan semangat kebangsaan yang dimaknai secara positif. Sehingga sebagai ummat dan bangsa kita semakin produktif berkontribusi bagi kemajuan bersama. 

Ramadan adalah laboratorium tempat kita belajar tentang betapa perlunya membangun kesadaran bahwa persatuan ummat Islam di seluruh tempat adalah sebuah keharusan. Baik di level kampung, desa atau kelurahan, kecamatan, kabupaten atau kota, propinsi, negara bahkan dunia. Hal ini misalnya kita dapatkan dari pesan subtantif dari shalat terawih yang kita tunaikan. Kita begitu giat melakukannya. Perbedaan pun menjadi elegan, sebab kita bisa melaluinya dalam bingkai kebersamaan yang diberkahi.  

Kalau kita telisik lebih jauh, berbagai problematika yang dihadapi oleh ummat Islam atau bangsa-bangsa di dunia hanya bisa dilalui dengan kebersamaan dan rasa sepenanggungan. Bersama dan bersama mesti diteguhkan, sehingga berbagai problematika dapat dilalui secara bijak dan solutif. Mesti ada rasa simpati, empati dan peduli yang digiatkan, sehingga semuanya saling merasakan dan menghilangkan beban secara bersama-sama. 

Idhul Fitri atau 1 Syawal 1442 yang jatuh pada Kamis 13 Mei 2021 menjadi momentum akumulatif untuk melanjutkan semangat meneguhkan persatuan ummat Islam di semua level. Id artinya kembali, fitri artinya suci. Jadi Idhul Fitri adalah momentum untuk kembali pada kesucian diri. Menjaga dan meneguhkan persatuan ummat Islam adalah perbuatan suci dan jalan yang suci. Maka pada hari yang kerap kita sebut dengan lebaran ini mesti kita jadikan momentum untuk meneguhkan diri dari keragaman latar untuk bersatu padu, sehingga  berkontribusi besar bagi kemajuan umat dan bangsa serta perdamaian dunia. (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Islam Damai dan Menggembirakan"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok