Menjadi Pendidik Di Era Digital
Namun, bagaimana jadinya jika anak (didik) tidak melek huruf atau sudah melek huruf namun kerap menggunakannya untuk hal-hal yang bertentangan dengan moralitas? Apa jadinya anak (didik) jika pintar membaca namun kepintarannya digunakan untuk mengakses situs-situs atau media sosial yang penuh dengan gambar-gambar senonoh tanpa rasa malu?
Sudah menjadi maklum bahwa era ini adalah era dimana teknologi (internet) berkembang begitu masif dan bisa diakses dengan begitu mudah oleh hampir semua kalangan. Media sosial seperti google, misalnya, ia bisa diakses oleh siapapun. Orang tua, orang dewasa juga anak-anak. Tak mengenal usia dan kepentingan, ia bisa dijangkau oleh semua orang. Bukan saja di pusat-pusat pelayanan umum seperti warung internet (warnet), bahkan kini sudah bisa diakses dari dalam rumah seperti dari kasur tidur. Orang bisa mengakses internet sambil makan, minum, tidur-tiduran bahkan sambil membuang air kecil di WC.
Kondisi gratis dan bebas seperti ini bukan saja menghadirkan efek positif seperti mendapatkan informasi atau pengetahuan baru mengenai kemajuan di berbagai bidang, perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi terkini, tapi juga punya efek negatif yang tak sedikit.
Beberapa tahun lalu, Yayasan Kita dan Buah Hati bersama Rafa Health & Beauty Lifestyle (RHBL) memaparkan hasil penelitian yang dilakukan sejak Januari 2008 hingga Februari 2010 di hadapan Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA) terhadap perilaku anak terhadap pornografi. Penelitian ini berdasarkan 2.818 sampel yang diambil pada anak-anak kelas 4-6 SD. Hasilnya sungguh mengejutkan, sebanyak 67% (sekitar 1.889) anak ternyata pernah melihat dan mengakses pornografi. Bahkan 37% di antaranya (1.043 anak) mengakes dari rumah sendiri (m.tabloidnova.com, diakses 21/05/2013).
Itu adalah data lama dari dua lembaga dan baru merupakan hasil penelitian untuk sebagian kecil siswa dari beberapa sekolah di sebuah kota. Lalu, bagaimana dengan data terakhir, 2022? Bagaimana dengan siswa di kota lain? Bagaimana pula dengan orang dewasa dan orang tua yang nyaris jarang dibahas karena dianggap telah dewasa dalam banyak hal (termasuk dalam mengakses internet) padahal layak mendapatkan penelitian serupa?
Menurut Mark B. Kastleman, mengakses situs-situs senonoh adalah satu bentuk penyakit mental sekaligus gangguan jiwa dan pikiran yang bisa mengidap semua orang; anak, dewasa juga orang yang sudah tua.
Mengafirmasi Mark, dengan demikian dapat dipahami bahwa dokumen senonoh adalah ancaman bagi masa depan bangsa kita yang kalau tidak dihadapi secara serius, maka ke depan bangsa ini akan menjadi bangsa senonoh. Jika tidak dilawan sejak dini, maka kelak penghuni negeri ini dengan alasan kebebasan akan dengan mudah memperlihatkan video dan gambar senonoh di depan umum.
Dengan alasan serupa akan dengan mudah bagi siapapun, termasuk anak-anak kita, untuk mengakses berbagai video dan gambar senonoh di mana-mana seperti di warnet, angkutan umum, kereta api, rumah, rumah makan, toko buku, perpustakaan sekolah, ruang kelas bahkan di rumah ibadah.
Dalam sebuah wawancara, Elly Risman, Psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati memperingatkan dengan tegas bahwa Indonesia sudah berada di jurang kehancuran menghadapi dahsyatnya ancaman bencana adiktif pornografi yang menyerang pelajar sebagai generasi penerus muda Indonesia.
Victor Cline dari University of Utah menyebutkan ada lima efek dan tahap penyakit senonoh. Pertama, shock (terkejut atau jijik). Merupakan perkenalan pertama dengan pornografi saat anak-anak mula terkejut, jijik dan merasa bersalah. Gabungan rasa ini menimbulkan rasa ingin tahu kembali.
Kedua, adiksi (kecanduan). Adiksi adalah efek selanjutnya yang timbul. Sekali seseorang menyukai materi cabul, dia akan merasa ketagihan. Hal ini bahkan dapat terjadi pada pria berpendidikan atau pemeluk agama yang taat.
Ketiga, eskalasi (peningkatan). Eskalasi adalah efek yang timbul setelah adiksi. Akibatnya, seseorang akan lebih membutuhkan materi seksual yang lebih eksplisit dan menyimpang. Efek kecanduan dan eskalasi menyebabkan tumbuhnya peningkatan permintaan terhadap materi senonoh tersebut. Akibatnya, kadar kesesnonohan dan keeksplisitan produk juga semakin meningkat.
Keempat, desensitifikasi (penumpulan kepekaan). Selanjutnya, timbul efek desensitifikasi. Pada tahap ini, materi yang tabu, amoral, mengejutkan, pelan-pelan akan menjadi sesuatu yang biasa. Pengguna senonohan bahkan menjadi cenderung tidak sensitif terhadap korban kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
Kelima, act-out (berbuat). Efek berbuat merupakan efek puncak, yakni melakukan hubungan seks setelah terekspos materi-materi senonoh. Bayangkan, apa jadinya bangsa ini jika sejak dini anak-anak sebagai penerusnya sudah begitu mudah mengakses hal-hal yang berbau senonoh. Tak ada jalan lain selain mencari solusi terbaik, bukan sekadar menonton alias mencaci maki keadaan.
Mengatasi masalah senonoh, terutama dalam dunia anak (siswa) adalah satu agenda besar. Ia membutuhkan keterlibatan semua elemen bangsa dari berbagai sektor. Lebih jauh, menurut Syamsudin Kadir dalam bukunya "Generasi Alpha" (2022), kalau dirangkai, paling tidak ada beberapa solusi yang bisa ditempuh.
Pertama, pendidikan rumah, terutama pendidikan agama dari orangtua si anak secara langsung. Bagaimanapun, rumah adalah sekolah pertama dan utama anak. Di sini, orangtuanya-lah yang berkewajiban untuk mendidik, membimbing, dan mengawasi anaknya. Bukan saatnya orang tua si anak tidak memiliki pengetahuan agama dengan alasan bukan lulusan pesantren, bukan alumni kampus berlabel Islam dan segala macam alasan serupanya yang sangat tidak relevan bahkan tak pantas.
Memahami agama adalah kebutuhan mutlak (dan wajib dituntut), bukan kebutuhan sampingan atau sekadar mengisi waktu sisa. Apa gunanya memahami banyak hal tapi kering kerontang dengan ilmu agama. Bagaimanapun pendidikan agama si anak sangat tergantung dari kedua orangtuanya. Dari pengetahuan juga praktik keagamaan kedua orangtuanya-lah anak mencontoh.
Ingat, di akhirat kelak, orangtuanya-lah yang akan dimintai pertanggung jawaban atas si anak. Jangan sampai si anak hanya menjadi anak darah tapi bukan anak soleh yang mendoakan dan mengamankan kedua orangtuanya di akhirat kelak. Jangan sampai anak sendiri menjadi penghalang bagi orangtuanya untuk masuk ke dalam surga-Nya.
Singkatnya, dengan pengetahuan agama dan praktik keagamaan orangtua, diharapkan si anak dapat mencontoh dengan baik kepada orangtuanya. Itulah yang menjadi benteng bagi si anak dalam menghadapi kemudahan teknologi (internet) yang semakin menggeliat dengan berbagai data dan informasinya yang serba gratis.
Kedua, melek media (internet). Dalam konteks kemajuan di era ini, pendidikan sejatinya tidak sekadar melek huruf, tapi juga melek media, terutama internet. Dalam konteks ini, orangtua di rumah sekaligus para pendidik di sekolah tidak sekadar memperhatikan anak (didiknya) dari sisi melek huruf, tapi juga mengenai pengetahuan media (teknologi) anak. Orangtua atau guru wajib paham media (elektronik dan cetak), terutama internet.
Melek media (internet) bukan sekadar tahu, tapi juga jeli dalam memahami manfaat dan efek media (internet). Bukan eranya lagi bagi orangtua atau guru untuk membuat alasan gagap teknologi alias gaptek.
Apa masih bilang saya gaptek kalau sewaktu-waktu si anak (murid) mengakses situs-situs porno dari kamar tidurnya saat dimana kedua orangtuanya menonton TV, atau di saat gurunya mengajar di depan kelasnya atau juga di saat jadwal berkunjung ke perpustakaan sekolah?
Bukan saatnya bagi orangtua untuk membiarkan begitu saja anaknya mengakses internet dari berbagai sarana yang tersedia seperti warnet, HP dan serupanya dengan alasan ruang kebebasan padahal justru memberi ruang kebablasan bagi anaknya. Sederhananya, orangtua juga guru perlu melek anak dengan cara melek dengan media internet dan serupanya yang digandrungi anak (didik).
Karena media bisa diakses kapan, dimana dan oleh siapapun, maka dalam konteks ini melek media bukan berarti mengharamkan si anak untuk mengakses media, terutama internet, tapi justru membimbing-nya dengan baik dan tepat.
Menurut penulis buku "Orangtuanya Manusia" (2012) Munif Chatib, yang dilakukan oleh orangtua atau guru adalah mendamping si anak (didik) dengan pola aktif dan pasif. Pola aktif bisa dilakukan dengan langsung mendekat kepada anak, mengakses internet bersama si anak dan sebagainya. Sedangkan pola pasif bisa dilakukan dengan sesekali menguji kejujuran si anak (didik) dalam menggunakan internet; ia mengakes apa saja, untuk apa dan seterusnya. Selain itu, orangtua atau guru juga bisa menyepakati aturan sederhana dengan si anak (didik)-nya dalam menggunakan internet secara efektif dan tepat guna.
Ketiga, lembaga atau institusi berwenang mesti meningkatkan kinerja dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya. Kementrian Komunikasi dan Informasi (serta jajarannya sampai tingkat bawah), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA), Dewan Pers, Kepolisian dan lain-lain, diharapkan untuk menjadi pengendali terdepan.
Sungguh, ke-melek-an kita terhadap media internet (dan serupanya) akan menjadi berkah, bukan saja bagi diri dan anak (didik) kita, tapi juga bagi masa depan bangsa dan negara kita. Kita mesti menjadi pendidik yang melek internet, agar anak atau adik-adik kita terdidik dan tidak keliru dalam menggunakan internet. Pada era internet ini, pendidik bukan saja guru, tapi juga orangtua, penggiat, peneliti dan orang biasa yang mencintai anak dan adik-adik mereka. (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Generasi Alpha"
Komentar
Posting Komentar