Menjadi Orangtua Cerdas Di Era Digital


SETIAP orangtua mengakui bahwa setiap anaknya adalah penting. Keragaman sikap dan tingkah pada anak kita mesti dipahami sebagai anugerah dari Allah. Tugas kita adalah membimbing dan mengarahkannya sehingga bermanfaat bagi perkembangan anak. Baik dalam aspek fisik, kognitif dan bahasa maupun dalam hal emosi, sosial dan cita-cita anak. Tugas membimbing anak merupakan amanah penting dan besar pengaruhnya bagi perkembangan anak dalam berbagai aspeknya. 

Ya, menjadi menjadi orang tua cerdas di era digital seperti sekarang ini memang bukanlah perka­ra mudah. Apalagi dengan semakin maraknya penyebaran Handphone (HP) dan penggunaan media sosial (Medsos) di tengah-tengah masyarakat. Sebabnya tentu saja bera­gam, tidak tunggal. Dari konten yang terlalu bebas sehingga mem­buat anak-anak bisa menda­patkan sesuatu yang tidak sesuai dengan usianya, atau ada orang yang tidak bertanggung jawab dan bisa membahaya­kan anak, baik secara langs­ung atau tidak langsung.

Bambang Soegiharto (dalam artikelnya Menjadi Orang Tua Bijak di Era Digital) menjelaskan bahwa diantara yang perlu diperhatikan dan bisa dilakukan agar orang tua bisa lebih bijak dan mam­pu mengawasi kegiatan anak-anak saat menggunakan perangkat digital mereka, yaitu menyem­patkan waktu mengobrol dengan anak, misalnya, setelah jam makan malam atau sambil sarapan. Di waktu ini, usahakan tidak ada satupun anggota keluarga yang memegang gadget agar kualitas obrolan jadi lebih maksimal.

Menurut Bambang, dengan mengajak anak berbicara bisa membangun kedekatan antara orang tua dan anak. Masing-masing juga bisa saling mengenal karakter secara perlahan, meski sejak anak masih kecil, orang tua akan mengetahui bagaimana pola pikir anak, dan apa saja yang dia kerjakan selama berada di dunia maya. Dengan begitu, anak selalu terbimbing dan tidak kehilangan bimbingan orangtua yang memang seharusnya perlu mereka peroleh dalam kehidupannya. 

Mengafirmasi Bambang, saya mencatat paling tidak ada tiga macam pola asuh yang mesti dipahami oleh orangtua di era digital ini, pertama, interaksi. Dalam hal ini orangtua mesti menjadi sahabat yang baik bagi anak. Bergaullah dengan anak dengan pendekatan persahabatan sehingga anak merasakan orangtua adalah sahabat terbaik baginya. Dengan begitu, orangtua menjadi teman berbagi terbaik bagi anak dalam segala hal yang dilalui dan dihadapinya. Anak mesti merasakan bahwa orangtua adalah tempat berbagi yang paling baik baginya.   

Kedua, stimulasi. Anak tentu memiliki keinginan bermacam-macam sesuai dengan masa pertumbuhannya. Termasuk di zaman sekarang yang serba digital ini, anak memiliki keinginan. Di sini orangtua memberi stimulus pada anak agar menggunakan media era digital seperti komputer, laptop dan handphon (HP) secara wajar, positif dan tak melampaui batas. Di sini anak akan merasakan bimbingan dan arahan orangtuanya. Anak tidak merasa serba tak boleh, tapi menemukan cara pemanfaatan media yang tersedia secara baik dan positif. Sehingga keinginan anak tetap terarah ke hal-hal yang benar dan diperoleh dengan cara yang tepat sekaligus produktif. 

Ketiga, konsistensi. Dalam mendidik atau dalam memberikan hukuman pada anak, orangtua mesti konsisten. Kalau misalnya di awal disepakati bahwa setiap melanggar akan mendapatkan hukuman, maka orangtua mesti konsisten dengan hukuman yang disepakati. Sehingga anak merasa segan pada orangtuanya, bukan sekadar rasa takut yang kadang manipulatif. Orangtua tidak boleh plin-plan, yang membuat anak tak percaya. Orangtua mesti mampu memberikan kepastian pada anaknya. 

Bila ditelisik lebih mendalam, ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan oleh orangtua dalam mendidik anak di era digital ini. Pertama, kelembutan (rifq). Yaitu sikap ramah, bersahabat, lembut, santun ketika melakukan muamalah dengan orang lain, termasuk ketika orangtua berhubungan dengan anak dalam kehidupan sehari-hari. Sikap lembut diperlukan dalam segala suasana, baik di saat gembira atau menyampaikan nasehat maupun di saat memberikan hukuman atau konsekwensi kepada anak. Dengan begitu, anak merasakan bahwa orangtua menyayangi dia, bahkan di saat anak dihukum.

Hilangnya kelembutan, meskipun dalam keadaan sedang melakukan keinginan anak, hanya akan menjadikan anak sulit merasakan cinta orangtua kepadanya. Anak tidak yakin orangtua peduli kepadanya, bahkan merasa bahwa orangtuanya malah menjadi musuh yang selalu menghambat perkembangannya. Padahal merasa dicintai merupakan awal tumbuhnya rasa hormat dalam diri anak kepada orangtuanya. Bahkan apa yang dilakukan orangtuanya akan menjadi teladan baginya kelak, baik pada saat usia dewasa maupun saat kelak mereka menjadi orangtua bagi anak-anaknya. 

Kedua, tenang (al-hilm) dan berhati-hati (anah). Al-hilm adalah sikap tenang dan lembut berupa kemampuan yang bagus dalam mengendalikan diri. Orangtua mesti menguasai dirinya di saat sedang marah, sehingga tidak tergesa-gesa bereaksi. Ketenangan menjadikannya mampu memilih tindakan yang terbaik dan paling membawa kemaslahatan. Sikap semacam ini susah dimiliki oleh orangtua yang bersikap reaktif, bahkan implusif, di saat menghadapi kesalahan anak, sehingga tindakannya cenderung tidak terukur bahkan terlihat "ngasal".

Dalam kondisi apapun, orangtua mesti menjaga sikap hati-hati. Orangtua tidak boleh tergesa-gesa menentukan sikap kecuali setelah sangat jelas duduk permasalahannya. Orangtua boleh mengambil keputusan setelah memperoleh pengetahuan yang cukup memadai. Orangtua mesti mengklarifikasi dan memastikan maksud dan tujuan dari apa yang dilakukannya. Sehingga anak mendapatkan kepastian apa yang harus dicontohnya, bukan sekadar aturan yang tak dapat ditaati dan diikuti. 

Ketiga, fokus dan menjaga nada suara. Kalau anak melanggar kesepakatan di rumah, maka orangtua mesti fokus dengan pelanggarannya. Orangtua tidak boleh menyelesaikan masalah atau memberikan hukuman dengan melampaui kadar masalahnya. Suaranya juga mesti terjaga dan terkelola, tidak lebih besar dari suara anak. Pastikan anak mendapatkan keteladanan dalam hal suara. Hal ini mungkin terlihat sederhana, namun dampaknya sangat besar bagi perkembangan anak pada kehidupan selanjutnya. 

Tak ada kata terlambat untuk meningkatkan kualitas diri kita sebagai orangtua bagi anak-anak kita, terutama di era digital ini. Dengan berbenah dan terus belajar, harapannya kita sebagai orangtua mampu menjadi pendidik sekaligus pengasuh yang baik cerdas bagi anak-anak kita; sebab mereka adalah generasi penerus kita dan penentu masa depan bangsa dan negara tercinta Indonesia. Ya, menjadi orangtua cerdas di era digital ini sejatinya mungkin kita gapai! (*) 


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Menjadi Pendidik Hebat Di Era Digital". Tulisan ini dimuat pada halaman 4 Kolom Wacana Radar Cirebon edisi Kamis 14 Juli 2022. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok