Spirit Literasi Ketua Umum Dewan Dakwah


PADA Ahad 23 Januari 2022 lalu saya sempat menghadiri acara launching dan diskusi buku baru Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Dr. Adian Husaini (Dr. Adian) yang berjudul "Berbeda Berdialog Berjuang Bersama". Walau hanya bisa menyaksikan dari YouTube, saya merasa bergembira, sebab acara semacam ini sangat saya butuhkan dalam menguatkan dan menopang aktivitas saya di dunia literasi selama ini. Hal lain, saya gembira sebab apa-apa yang disampaikan oleh Dr. Adian pada acara yang dimulai sejak pukul 16.30 hingga 18.00 WIB ini sangat menginspirasi saya untuk terus belajar dalam banyak hal. 

Walau saya baru bisa mengikuti acara ini sejak pukul 17.00 WIB hingga akhir, paling tidak saya mencatat beberapa poin penting yang disampaikan oleh alumni Doktoral (Ph.D) ISTAC-IIUM ini pada kesempatan kali ini. Pertama, menjaga ukhuwah islamiyah. Kita mesti berlapang dada dengan saudara kita yang berbeda latar belakang. Bila pun ada hal-hal yang perlu diluruskan, mesti disampikan dengan cara-cara yang santun atau dalam bingkai adab islami. Ini adalah modal penting yang mesti kita jaga sampai kapan pun. 

"Perbedaan kita dalam banyak hal tidak boleh menepikan ukhuwah islamiyah. Perbedaan mesti disyukuri, bukan diingkari. Keragaman organsiasi Islam di Indonesia mesti disyukuri, itulah kekuatan utama yang mesti kita jaga dengan serius dan sungguh-sungguh", ungkapnya. 

Kedua, meningkatkan saldo sabar. Dalam menjalani kehidupan yang semakin kompleks ini, termasuk dalam menghadapi berbagai tantangan berbangsa dan bernegara, kita tetap menjaga kesabaran. Menyampaikan kritik pada realitas yang keliru mesti dilakukan dengan tepat dan dalam bingkai dakwah, bukan untuk unjuk kekuatan kelompok yang sedikit banyak malah menimbulkan kemafsadatan.  

Pendekatan yang digunakan mesti diwarnai oleh semangat dan ruh menasehati sesama pada jalan yang benar, bukan untuk menyalahkan-nyalahkan dan menepikan keberadaan elemen yang berbeda. Sehingga dampaknya besar dan berjangka panjang, bukan asal bicara dan bersikap beda. Bahkan bukan untuk saling mencaci maki dan hina menghina. "Kita mesti menjaga dan menguatkan kesabaran. Jauhi sikap emosional yang berlebihan", lanjutnya.  

Ketiga, menjaga tradisi ilmiah. Ini adalah modal yang tidak bisa dianggap remeh. Sebab kebenaran perlu disampaikan dengan cara yang benar dan tepat. Kuncinya adalah ilmu. Ilmu akan dipahami dengan baik manakala tradisi ilmiah terjaga dengan baik. Itulah warisan para ulama dan tokoh-tokoh umat Islam sejak lama hingga awal abad 20 lalu. 

Pak Natsir, KH. Ahmad Surkati, KH. Agus Salim, Buya Hamka, KH. Zam-zam, Ustadz Ahmad Hasan, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy'ari, KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi, Ustaz Abdullah Said, KH. Muhammad Arsyad Thalib Lubis, dan beberapa tokoh lainnya telah mewariskan kepada kita tradisi menulis yang baik. Perlu kita rawat dan wariskan kembali kini dan nanti. 

"Tradisi ilmiah merupakan salah satu warisan para ulama dan tokoh-tokoh kita. Sehingga pemikiran mereka menjadi penjaga kokohnya negeri ini, bahkan majunya Islam di Indonesia", ungkap Dr. Adian.  

Keempat, menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Negeri ini adalah anugerah terbaik dari Allah untuk kita. Ini adalah medan amal yang Allah sediakan untuk kita, agar kita mengisinya dengan berbagai aktivitas kebaikan dan bermanfaat bagi diri dan siapapun penghuni negeri ini. 

Para tokoh kita dulu berdakwah dan berjuang dengan segala hal yang mereka miliki. Mereka sangat percaya bahwa menjaga keutuhannya adalah kewajiban yang tidak boleh dianggap sepele. Makanya mereka begitu semangat dan berkorban untuk melawan dan mengusir penjajah, serta mengisi kemerdekaan dengan peran terbaik. 

Kalau kita ingin dakwah Islam berkembang pesat dan menjadi energi bagi kemajuan bangsa maka kita perlu mewarisi peran dan kontribusi mereka di era ini dan ke depan. Kalau ada perbedaan pendapat mesti berani berdialog. Kita perlu mencari titik temu untuk terus melanjutkan perjuangan. 

"Indonesia adalah salah satu warisan para ulama dan tokoh bangsa beragam latar, termasuk Pak Mohammad Natsir. Beliau dan tokoh lainnya berjuang dengan berbagai cara, sehingga negara ini tetap kokoh sebagai sebuah negara besar", tegasnya.

Sebetulnya ada begitu banyak poin yang disampaikan oleh Dr. Adian, yang bisa didengar kembali di YouTube beliau seperti yang saya sebutkan di awal tulisan ini. Namun karena keterbatasan di sana-sini, termasuk dalam menangkap poin-poin yang beliau sampaikan, sehingga saya hanya bisa mencatat beberapa poin di atas. 

Kehadiran peserta yang berasal dari berbagai organisasi dan kota di seluruh Indonesia pada acara yang diselenggarakan melalui Zoom Meeting ini membuat saya semakin tersemangati untuk hadir hingga akhir, termasuk meresume beberapa hal yang saya tangkap. 

Ya, siapa yang tak mengenal Dr. Adian, sosok yang akrab dengan berbagai tokoh lintas ormas Islam ini. Tulisannya seputar pemikiran Islam pada era 1990-an dan 2000-an, bahkan hingga kini, menghiasi berbagai media massa seperti koran, termasuk beberapa majalah seperti ISLAMIA, Hidayatullah; di samping berbagai media online. 

Beberapa buku karyanya, misalnya, "Wajah Peradaban Barat", "Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam", Virus Liberalisme Di Perguruan Tinggi", "Tantangan Sekularisasi dan Liberalisasi Di Dunia Islam", "Penyesatan Opini", "Islam dan Pancasila", dan sebagainya. 

Tema lain yang belakangan menjadi fokus tulisan sosok yang kini menggawangi Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor, At-Taqwa College Depok dan Peneliti INSISTS Jakarta ini adalah tema pendidikan terutama pendidikan Islam. Beberapa buku karya beliau menjadi buktinya, seperti, "Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab", "10 Kuliah Agama Islam", Pendidikan Islam", "Kiat Menjadi Guru Keluarga", "Jangan Kalah Sama Monyet!", "Hegemoni Kristen Barat Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi", "Kerukunan Beragama", "Perguruan Tinggi Ideal Di Era Disrupsi", dan sebagainya. 

DDII atau Dewan Dakwah, sebuah ormas Islam yang beliau pimpin kini, berdiri pada 27 Februari tahun 1967. Tahun 2022 ini Dewan Dakwah genap berusia 55 tahun atau setengah abad lebih. Para tokoh pendiri Dewan Dakwah seperti Pak Mohamad Natsir dan tokoh lainnya merupakan pejuang dakwah yang berkarakter unggul. Mereka adalah para da'i, politisi dan negarawan sejati. Mereka bukan saja memiliki ilmu dan moral yang terjaga, tapi juga memiliki sikap pembelaan yang kuat atas kepentingan umat Islam dan negara tercinta Indonesia. 

Dari situ kita dapat menyimpulkan bahwa pembelaan dan komitmen mereka bagi kemajuan umat Islam dan Indonesia sudah tidak diragukan lagi. Hal ini tentu perlu dijaga, sebab itulah modal penting yang menjadi magnet hadirnya rahmat dan pertolongan Allah dalam berdakwah dan melanjutkan perjuangan para pendahulu. Bukan saja bagi Dewan Dakwah tapi juga bagi ormas Islam lainnya, bahkan bagi seluruh masyarakat Indonesia. 

'Ala kulli hal, satu hal penting yang mengalir deras dari seluruh penyampaian Dr. Adian pada  kesempatan ini adalah energi dakwah dan literasi. Beliau menulis bukan sekadar menulis, tapi menulis untuk dakwah sekaligus merawat Indonesia. Buku "Berbeda Berdialog Berjuang Bersama" yang dibedah kali ini adalah saksi nyata dan jujur betapa energi tersebut menjadi kekhasan yang melekat pada sosok yang menekuni dunia pendidikan dan pemikiran Islam ini. Bisa dikatakan bahwa salah satu tokoh muslim Indonesia yang aktif menulis di berbagai media massa dan media online adalah Dr. Adian. 

Buku-buku karya beliau dalam beragam tema seperti yang saya sebutkan di atas juga menjadi bukti betapa dakwah dan tradisi literasi sudah menjadi sesuatu yang melekat dalam dirinya. Begitu adik beliau Ustadz Nuim Hidayat, M.Si yang menulis buku "Sayyid Quthb; Biografi dan Kejernihan Pemikirannya", "Imperialisme Baru", "Agar Batu Bata Menjadi Rumah yang Indah" dan sebagainya.  

Termasuk dilanjutkan juga oleh anak-anak beliau seperti Ustadz Bana Fatahillah (lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir) yang menulis buku "Capita Selecta; Pendidikan dan Pemikiran Islam Dari Teras Al-Azhar", dan Mas Fatih Madini (mahasiswa STID Mohammad Natsir, Jakarta), yang menulis buku "Reformasi Pemikiran Pendidikan Kita"; di samping buku lain yang belakangan ini sedang mereka garap. 

Mudah-mudahan spirit dakwah melalui tradisi literasi semacam ini menjadi energi yang selalu menggelora dan terjaga pada diri kita, apapun ormas kita, dalam menjalankan peran dakwah "amar maruf nahyi mungkar" di negara yang kita cintai ini: Indonesia. Sungguh, ada begitu banyak cara yang bisa kita tempuh untuk berdakwah dan merawat Indonesia, salah satunya adalah dengan menulis: menghadirkan bacaan bermutu bagi generasi baru Indonesia, sehingga mereka selalu melangkah dan menuju pada tujuan mulia. (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Merawat Indonesia"


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok