Inspirasi Pendidikan Persis dan DDII


PADA Sabtu 23 April 2022 lalu menghadiri acara Tabligh Akbar di SDIT Al-Hikmah, Kota Cirebon-Jawa Barat. Acara yang dihadiri oleh keluarga besar SDIT Al-Hikmah ini merupakan bagian dari Semarak Ramadan 1443 H yang diadakan oleh lembaga pendidikan yang berada di Jl. Ahamd Yani, Kota Cirebon-Jawa Barat ini. Pada acara ini Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, DDII) didaulat menjadi narasumber tunggal dengan tema utama "Pendidikan Islam". 

Menurut Doktor lulusan ISTAC Malaysia ini, mendirikan lembaga pendidikan mesti dengan niat berdakwah dan ditunaikan dengan ikhlas kepada Allah. Sebab ini kunci penting yang menjadi dasar dan menentukan arah pendidikan sekaligus perjuangan selanjutnya. Bila niatnya ikhlas maka Allah akan memberi kemudahan dan memberkahi. Namun bila tujuannya untuk kepentingan jabatan, materi dan hal duniawi lainnya maka proses pendidikan bakal berantakan atau bermasalah. 

Menurut Dr. Adian, ormas Islam Persatuan Islam (Persis) memiliki aset penting berupa tokoh besar yaitu Pak Mohamad Natsir. Beliau kader sekaligus tokoh Persis, beliau pendiri sekaligus Ketua Umum Masyumi, serta pendiri sekaligus Ketua Umum pertama Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), sebuah organisasi yang kini dipimpinnya. "Beliau tokoh Persis sekaligus Dewan Dakwah yang berpengaruh dan memiliki banyak murid. Bahkan tak sedikit profesor yang merasa menjadi murid beliau seperti Prof. Amin Rais, Prof. Yusril Ihza Mahendra dan sebagainya", ungkapnya.  

Saat ini, Ketua Umum PP. Persatuan Islam (Persis) adalah KH. Aceng Zakaria, sosok ulama yang ikhlas, 'alim dan faqih asal Garut, Jawa Barat. Beliau termasuk sosok pejuang yang cerdas dan aktif menulis khususnya buku. Bayangkan saja, saat ini beliau sudah menulis sekitar 103 judul buku. Uniknya, sebagian buku tersebut ditulis dalam bahasa Arab, padahal beliau belum pernah kuliah di perguruan tinggi luar negeri: Saudi Arabia, Mesir, Qatar, Yaman, Yordania dan serupanya. 

Beliau hanya lulusan Madrasah Aliyah, tepatnya Madrasah Aliyah di Pesantren Persis Pejagalan, Kota Bandung-Jawa Barat. Namun pengetahuan dan wawasannya sangat luas. "Konon beliau tidak melanjutkan pendidikan tinggi karena disuruh oleh gurunya KH. Abdurahman. Sebabnya sederhana, karena khawatir beliau nantinya tidak mau fokus atau tidak mau menjadi pendidik lagi", lanjutnya.  

Penulis aktif di kolom Akhir Pekan media Hidayatullah (online) ini menjelaskan bahwa kunci sukses berilmu itu ada dua yaitu, pertama, ilmu bermanfaat. Mengapa? Sebab ada orang yang berilmu namun menjauhkan dirinya kepada Allah. Sehingga ilmunya benar-benar tak bermanfaat, termasuk tidak bermanfaat untuk dirinya sendiri. Bahkan ilmunya mudharat atau menyesatkan orang lain. 

Sekadar contoh, ada karya ilmiah doktor yang mengeluarkan pendapat bahwa setiap manusia bakal diterima amalnya walaupun tidak beriman. Ini contoh orang berilmu namun menyesatkan, sebab berlawanan dengan konsep Islam, dimana syarat diterimanya amal adalah imannya yang benar. 

Dalam pandangan Dr. Adian, niat berilmu itu sendiri mesti ikhlas karena Allah. Kalau ikhlas, maka ilmunya bermanfaat. Ilmu itu dikatakan bermanfaat manakala memenuhi dua syarat yaitu diamalkan dan diajarkan. Artinya, ilmunya bermanfaat untuk dirinya dan bermanfaat bagi banyak orang selain dirinya. 

Untuk mendapat ilmu bermanfaat harus menempuh caranya yaitu niat ikhlas karena Allah. Bila tidak maka ia bakal tidak mendapatkan bau surga. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu (belajar agama) yang seharusnya diharap adalah wajah Allah, tetapi ia mempelajarinya hanyalah untuk mencari harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat". (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad) 

Menuntut ilmu mesti benar-benar terbangun dari niat yang ikhlas dan tidak ada embel-embel duniawi lainnya. Sehingga kelak menggapai derajat terbaik di sisi Allah yaitu menjadi orang soleh dan pejuang di jalan Allah. Salah satu jalan terbaik atau contoh terbaik menjadi pejuang di jalan Allah adalah menjadi pendidik atau guru. Sebab kunci pendidikan itu berkualitas adalah pendidiknya. 

"Tiga pihak atau elemen yang sangat menentukan sukses atau tidaknya proses pendidikan adalah peserta didik, orangtua dan gurunya. Tiga elemen ini mesti memiliki hubungan yang baik dan kesamaan tujuan", tegas penulis buku "10 Kuliah Agama Islam" (2016) ini. 

Kedua, menjaga adab. Menurut Ketua Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun, Bogor, ini, selain ilmunya bermanfaat, menuntut ilmu itu juga memiliki tata cara sekaligus adab-adabnya. Adab terpenting dalam menuntut ilmu adalah adab kepada guru. Hal lain, yaitu adab kepada orangtua. Sebagai peserta didik mesti menjaga adab kepada guru dan orangtua, apa dan bagaimana pun kondisinya.

Karena itu, ada satu buku yang perlu dibaca berkaitan dengan adab berilmu. Judulnya aslinya "Wahai Putraku!", yang belakangan dalam terbitan terbaru (2020) berubah judul menjadi "Hai, Anak Cucuku!".  Buku ini perlu dibaca dan dikaji secara mendalam agar kita, baik sebagai orangtua maupun sebagai anak, paham apa itu adab dan bagaimana praktisnya. 

Menurut pandangan penulis buku "Kiat Menjadi Guru Keluarga" (2019) ini, dari berbagai literatur dan interaksinya dengan para pendiri lembaga pendidikan Islam di banyak tempat atau kota bahkan negara, dapat disimpulkan bahwa rumusan pendidikan Islam itu ada tiga, yaitu, pertama, tanamkan adab sebelum ilmu. Kedua, oetamkan (utamakan) ilmu yang fardhu 'ain. Ketiga, pilih ilmu fardhu kifayah yang tepat. Secara sederhana tiga rumusan ini sesuai dengan ungkapan Umar bin Khothob yang sangat Mashur di dunia pendidikan Islam, "Ta'adabu tsumma ta'alamu", beradablah, kemudian belajarlah! 

Mengenai hal ini, kita perlu membaca ulang firman Allah dalam QS. At Tahrim ayat 6, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...". Mengenai ayat ini Ali bin Abi Tholib berkomentar, "'Addibuhum wa'alimuhum!", didiklah mereka adab dan ajarilah mereka ilmu! Khitob ayat tersebut sangat jelas yaitu laki-laki baik suami maupun ayah dalam rumah tangga sebagai kepala keluarga. Karena itu, sebagai kepala keluarga yang baik, laki-laki mesti memiliki akhlak yang baik dan mesti mampu mendidik anggota keluarganya menjadi orang yang beradab, berilmu dan mengamalkan ilmunya. 

Adab yang paling sederhana adalah akhlak baik. Akhlak baik yang utama adalah kejujuran. Ia merupakan profil utama seorang muslim yang beradab. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "Hendaklah kamu semua bersikap jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga. Seseorang yang selalu jujur dan mencari kejujuran akan ditulis oleh Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah sifat bohong, karena kebohongan membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa ke neraka.Orang yang selalu berbohong dan mencari-cari kebohongan akan ditulis oleh Allah sebagai pembohong". (HR. Muslim).

Karena itu, fokus pendidikan adalah membentuk generasi yang jujur. Tentu generasi semacam ini bakal hadir manakala dididik oleh pendidik atau guru yang juga jujur. Bila sifat ini sudah menjadi karakter yang menjiwai pendidik dan peserta didik maka kejujuran benar-benar menjadi sifat yang berdampak pada lembaga pendidikan itu sendiri. Kunci kejujuran adalah disiplin. Karena itu, pendidik dan peserta didiknya harus disiplin dalam segala hal dan tidak boleh lemah atau malas. 

Hal ini sesuai dengan doa yang tertera dalam hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik, "Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan rasa malas, rasa takut, kejelekan di waktu tua, dan sifat kikir. Dan aku juga berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, serta bencana kehidupan dan kematian!"  

Oleh karena itu, kita mesti memiliki standar terbaik. Bila selama ini negara X disebut sebagai negara paling maju dan memiliki etos kerja yang tinggi, serta terkenal disiplin, maka jadikan negara itu sebagai standar paling rendah dalam mengukur indikator kualitas pendidikan di lembaga atau negara kita. 

Menurut penulis buku "Islam dan Pancasila" (2020) ini, hal ini sebagai penyemangat agar kita lebih serius dalam menjalankan amanah sebagai pendidik maupun sebagai peserta didik. Standar pendidikan kita mesti tinggi dan berkualitas, sebab yang membimbing kita adalah Allah dan kurikulumnya adalah wahyu-Nya, serta teladan kita adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. 

Menurut sosok yang pernah menjadi pengurus MUI Pusat  dan PP. Muhammadiyah ini, kalau berbagai karakter unggul tidak bisa diinternalisasi secara masal, maka tiga karakter utama yang perlu diinternalisasi lebih awal adalah jujur, semangat, peduli. Ketiga hal inilah yang kini sedang ditanamkan di lembaga pendidikan yang dipimpinnya kini: Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa, Depok. 

Menurutnya, satu hal yang perlu dipahami bahwa proses internalisasi karakter semacam ini perlu waktu namun mesti terus dilakukan. Kalau tiga karakter ini sudah diujicoba dan sukses membentuk peserta didik maka selanjutnya kita lanjutkan dengan karakter lainnya seperti tanggungjawab, mandiri, dan sebagainya.  

Mengutip pendapat Prof. Ahmad Tafsir, penulis buku "Virus Liberalisme Di Perguruan Tinggi Islam" (2009) ini menyebutkan bahwa, akhlak itu bisa dibentuk pada peserta didik manakala dilakukan dengan empat cara yaitu dicontohkan, dibiasakan, dimotivasi, dan didisiplinkan atau ada hukuman bagi yang melanggar sekaligus apresiasi bagi yang taat. 

Sebagai tambahan yang kelima, menurut Dr. Adian, yaitu didoakan. Mendoakan peserta didik adalah penting, dan karena itu mesti dilakukan oleh para pendidik atau guru. Hal ini dilakukan karena ia sangat besar pengaruhnya terhadap kesuksesan anak didiknya kelak.  

Titik beda antar pendidikan Islam dan non Islam itu ada pada titik pijakannya yaitu moralitas agama. Moralitas agama sekaligus pendidikan Islam menjangkau urusan dunia dan akhirat, sehingga mesti dipahami secara integratif dan tanpa dikotomis. Hanya saja kita mesti memahami kembali mana yang termasuk kategori ilmu fardhu 'ain dan mana yang termasuk kategori fardhu kifayah. 

Bila ilmu sejarah itu berkaitan dengan strategi dakwah Islam maka ia mesti ditekuni sebagai penopang para pendidik dalam menjalankan tugasnya. Begitu juga ilmu lainnya, bisa jadi terlihat sepele namun bisa menjadi prioritas jika memang berkaitan dengan strategi untuk menggapai kemajuan pendidikan dan perjuangan dakwah Islam. 

Begitulah sebagian inspirasi pendidikan yang dipijaki dan dikembangkan oleh Persatuan Islam (Persis) dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang layak kita petik dan adaptasi, kini dan di masa yang akan datang. Sebagai umat Islam kita perlu saling melengkapi, termasuk dalam hal memajukan berbagai lembaga pendidikan yang kita kelola. Sebab pada akhirnya, tujuan pendidikan Islam sejatinya adalah terbentuknya manusia yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia, juga bermanfaat bagi sesama. Dan, itu menjadi tujuan kita semua. (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Merawat Indonesia"


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah