Membangun Generasi Muda yang Anti Hoax


INDONESIA adalah sebuah negara besar yang memiliki potensi alam tak terbilang. Jumlah pulaunya banyak, daratan dan lautannya luas, serta kekayaan yang dikandungnya benar-benar tak terhitung. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) penduduk Indonesia pada 2021 berjumlah 272,68 juta jiwa. Pada tahun 2022 jumlah tersebut meningkat menjadi 275,77 juta jiwa. Bila merujuk Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Kepemudaan pasal 1 ayat (1), Pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun, maka 26 persen atau 70-an juta jiwa dari jumlah tersebut merupakan penduduk yang masuk kategori muda. Jumlah penduduk berusia muda yang begitu besar dengan keragaman warna kulit, ras, suku, budaya, adat istiadat dan profesinya merupakan potensi yang membuat Indonesia masuk kategori sebagai negara besar di dunia.  

Bila ditelisik, Indonesia akan mencapai puncak bonus demografi pada tahun 2030 sampai 2040. Pada masa itu, penduduk usia produktif berusia 15-64 tahun berjumlah lebih banyak dibandingkan penduduk dengan usia tidak produktif. Pertumbuhan penduduk usia produktif diprediksi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) akan mencapai 64 persen (190-an juta jiwa) dari total penduduk yang diproyeksikan sebesar 297-an juta jiwa. Melimpahnya usia produktif bisa menjadi peluang karena dapat menggenjot pertumbuhan ekonomi negara. Sebaliknya, jika besarnya usia produktif tidak dibarengi dengan tersedianya lapangan kerja, hal tersebut justru akan berpotensi meningkatkan jumlah pengangguran dan banyak permasalahan lain. Terutama di tengah kemajuan teknologi sekaligus penggunaaan media informasi dan komunikasi yang semakin tak terkendali, akan menimbulkan tersebarnya berbagai konten yang buruk dan meresahkan seperti hoaks dan serupanya. 

Diantara tantangan besar yang sedang dan akan terus dihadapi oleh generasi muda Indonesia adalah penyebaran berita bohong atau hoaks (hoax), berita palsu (fake news), dan ujaran kebencian (hate speech). Menurut penelitian Budi Gunawan, sebagaimana diungkap dalam bukunya "Kebohongan Di Dunia Maya” (2020), sejak 2015 hingga kini (2022), proliferasi dan penyebaran berita bohong atau hoaks (hoax), berita palsu (fake news), dan ujaran kebencian (hate speech) semakin meningkat di Indonesia, khususnya melalui situs internet dan media sosial. Sebenarnya fenomena ini selalu muncul di tengah suhu politik yang memanas, misalnya menjelang pilkada, pileg atau pilpres. Di samping itu, fenomena ini juga muncul pada berbagai momentum tertentu seperti ketika adanya kasus pelanggaran hukum yang melibatkan tokoh atau pejabat tertentu mendapatkan perhatian masyarakat luas.  

Data Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) menyebutkan, jumlah pengaduan masyarakat terkait konten negatif di situs, akun media sosial, aplikasi telepon pintar, dan lain-lain meningkat hampir 9 kali lipat pada 2017. (Kompas, Selama 2017, Aduan Naik 900 Persen, 1 Februari 2018, hal. 5). Pada tahun yang sama terbongkar pula sindikat Saracen yang aktif memperjualbelikan hoaks dan ujaran kebencian. Data ini dari tahun ke tahun terus meningkat seiring kemudahan masyarakat, terutama kalangan muda untuk mengakses internet dan menguasai media sosial. Hal ini mengindikasikan bahwa peredaran hoaks di dunia maya merupakan wujud ancaman yang berpotensi merusak generasi muda, bahkan pada konteks tertentu dapat memecah belah bangsa dan menggoyahkan stabilitas keamanan nasional negara kita. 

Dalam perbincangan sehari-hari, hoaks sering diartikan sebagai berita bohong atau berita palsu. Majalah Tempo edisi 8 Januari 2017 mengangkat hoaks sebagai tajuk liputan dan menerjemahkan hoaks sebagai berita palsu dan membedakannya dengan fake news yang diartikan sebagai berita rekayasa. Tempo menyebutkan beberapa ciri hoaks, yaitu: (1) berita yang disajikan bohong atau palsu, (2) peristiwa dihadirkan berlebih-lebihan atau bagian-bagian tertenti dihilangkan, (3) tulisan atau teks tidak sesuai gambar, (4) judul tidak sesuai isi berita, (5) memuat kembali peristiwa lama dan menjadikannya seolah-olah peristiwa aktual dengan tujuan mendukung isu yang sedang ramai dibicarakan, dan (6) sengaja memuat foto peristiwa lain yang diubah sedemikian rupa untuk mendukung isu yang sedang ramai diperbincangkan. 

Menurut Alex Davies (2013) hoaks merupakan kata kerja dan berarti menipu melalui rekayasa atau fiksi yang memikat dan nakal atau memainkan kepercayaan. Merujuk pengertian tersebut, ia memaparkan bebarapa kriteria hoaks: (1) Hoaks mengandung unsur main-main sehingga bisa menghibur dan menyenangkan. (2) Tidak seperti informasi palsu yang bertujuan menipu secara permanen, hoaks bisa menipu tetapi hanya sementara, atau paling tidak sampai orang percaya tersadar bahwa yang dia yakini benar itu ternyata hoaks. Dengan kata lain, hoaks memiliki kemampuan meyakinkan meskipun bisa jadi hanya sementara. Karena itu, (3) hoaks bisa menunda ketidakpercayaan di kalangan penerima atau pembacanya. (4) Hoaks bisa juga merupakan kritik yang tidak lugas, meskipun di dalam kenyataan kritik itu sering tidak berbeda dari kebencian dan cenderung bersumber dari data yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. 

Mark Verstraete, Derek E Bambauer, dan Jane R Bambauer (2017), menempatkan hoaks sebagai salah satu tipe berita palsu. Mereka mengatakan, hoaks sengaja memuat informasi keliru dengan maksud menipu dan mendapatkan keuntungan finansial. Dengan jelas ketiganya menggarisbawahi bahwa hoaks dimaksudkan untuk menipu. Mereka juga menyoroti motif produksi hoaks. Selain kepentingan politik sesaat dan upaya adu domba, hoaks juga diproduksi untuk kepentingan yang bersifat ekonomis seperti uang (pecuniary). 

Dalam menghadapi tantangan yang sedang dan akan menghantui generasi muda, terutama penyebaran berita bohong atau hoaks (hoax), berita palsu (fake news), dan ujaran kebencian (hate speech), maka diperlukan langkah konkret yang memungkinkan terjadinya pengokohan pertahanan generasi muda, baik sebagai individu warga negara maupun sebagai generasi penerus bangsa. Di sinilah pentingnya proses penyadaran kolektif yang terencana dan berkelanjutan, termasuk penguatan literasi di kalangan muda. 

Beberapa literasi dasar yang perlu adalah sebagai berikut: Pertama, literasi baca-tulis, yaitu kecakapan untuk memahami isi teks tertulis baik yang tersirat maupun tersurat, untuk mengembangkan pengetahuan dan potensi diri. Dalam hal ini, pemerintah perlu memperkuat aspek kebijakan dari sisi anggaran, kurikulum dan kultur lembaga pendidikan. Pada saat yang sama lembaga pendidikan dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi perlu membangun ekosistem dan pembudayaan literasi dasar: baca-tulis. Di samping itu, institusi keluarga juga perlu melakukan pembudayaan literasi dasar: baca-tulis, sehingga benar-benar menjadi penopang pembudayaan tersebut yang sudah berjalan seiring dengan pembudayaan di lembaga pendidikan formal. 

Kedua, literasi sains atau ilmu pengetahuan, yaitu kecakapan untuk memahami fenomena alam dan sosial di sekitar, serta mengambil keputusan yang tepat secara ilmiah. Dalam hal ini, pemerintah dan lembaga pendidikan perlu berkolaborasi dalam memperkuat tradisi akademik berbasis lingkungan sosial, realitas masyarakat dan kebutuhan zamannya. Kementrian terkait (Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi) dan lembaga pendidikan perlu memformulasi kegiatan peserta didik (siswa sekaligus mahasiswa) yang mengkoneksikan ilmu pengetahuan dengan kehidupan ril masyarakat dan tantangan kekinian. Secara khusus, organisasi kepemudaan lintas latar belakang perlu menggagas kegiatan seperti Kemah Pemuda Indonesia yang menopang pembentukan karakter mulia: toleran, peduli, gotong royong, tolong menolong, mandiri, tanggungjawab, dan cinta tanah air, sehingga terbentuk generasi muda unggul dan layak melanjutkan estafeta bangsa dan negara. 

Ketiga, literasi digital, yaitu kecakapan menggunakan media digital dengan beretika dan bertanggungjawab untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi. Pemerintah perlu menginisiasi berbagai kegiatan yang mendukung terciptanya generasi muda yang melek media dan mampu memanfaatkan media digital secara positif. Perlombaan kreatif dan inovasi digital, misalnya, perlu dikembangkan menjadi pusat kegiatan baru generasi muda dengan tetap terisi oleh nilai-nilai luhur dan berpijak pada azas manfaat sekaligus produktifitas. Hal ini juga bermakna, generasi muda mesti aktif memanfaatkan media digital dalam berbagai bentuk kegiatan positif, seperti usaha digital dan produksi konten positif secara masif.  

Keempat, literasi finansial, yaitu kecakapan untuk mengaplikasikan pemahaman tentang konsep, resiko, keterampilan, dan motivasi dalam konteks finansial. Generasi muda mesti melakukan persiapan dini perihal kebutuhan hidupnya, dari visi-misi hingga perencanaan karirnya di masa yang akan datang. Literasi baca-tulis, literasi sains, dan literasi digital merupakan kunci penting yang mesti dijaga dengan baik dalam menopang literasi finansial generasi muda. Pemerintah perlu menginisiasi berbagai program yang memantik dan mendukung generasi muda agar mampu memanfaatkan berbagai platform digital sebagai pusat pengembangan usaha sekaligus mengasah mental entrepreneur baru. Hal ini juga bermakna, generasi muda mesti aktif mengakses berbagai informasi dan ikut pada berbagai forum kreatif dan inovatif yang mendukung kematangan finansial sejak dini. 

Kelima, literasi budaya dan kewargaan, yaitu kecakapan dalam memahami dan bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa serta memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara. Pemerintah perlu menyelenggarakan berbagai program yang mengakrabkan generasi muda dengan kebudayaan khas nusantara atau Indonesia. Misalnya, pementasan budaya berbagai daerah dalam skala nasional dan internasional. Selain sebagai pengenalan budaya, kegiatan semacam ini juga mengokohkan semangat dan kebanggaan generasi muda pada budaya bangsa. Pada saat yang sama, generasi muda juga mesti mematangkan dirinya pada aspek kewargaan seperti wawasan ke-Indonesiaan, pemahaman hak dan kewajiban warga negara, dan kematangan jiwa kepemimpinan sebagai penerus sejarah bangsa dan negara Indonesia.

Penyebaran berita bohong atau hoaks (hoax), berita palsu (fake news), dan ujaran kebencian (hate speech) yang terus menyerang pertahanan ke-Indonesiaan kita perlu dilawan, terutama oleh generasi muda sebagai aset penting Indonesia. Merawat Indonesia merupakan tanggungjawab generasi muda dengan meningkatkan literasi di berbagai sisinya. Bagaimana pun kondisinya, kapal Indonesia tidak boleh tenggelam atau hancur lebur, sebab generasi muda masih bersatu padu dan berdiri kokoh di garis terdepan menyongsong 100 tahun: Indonesia Emas 2045. (*) 


* Tulisan ini dimuat pada halaman 4 Koran Radar Cirebon edisi Senin 12 September 2022. Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Merawat Indonesia". 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah