Prof. Haedar Nashir Kembali Menulis Untuk Indonesia


MUHAMMADIYAH merupakan sebuah organisasi masyarakat berbasis agama di Indonesia yang didirikan pada 18 November 1912 atau 8 Dzulhijah 1330 silam. Ia adalah bagian dari sejarah penting umat Islam dan bangsa Indonesia. Kontribusinya sebagai pembawa pelita atau cahaya bagi perkembangan Islam sekaligus sejarah bangsa  tidak bisa dianggap enteng. Di tangan pendirinya, KH. Ahmad Dahlan, Muhammadiyah menjadi ormas Islam terbesar di dunia dengan segala amal usahanya. Organisasi yang dikenal ahli atau jagoan dalam mendirikan berbagai lembaga pendidikan, kesehatan dan ekonomi juga sosial ini berdiri dan berkembang pesat dengan nafas amar ma'ruf nahi munkar dan tajdid (pembaruan). 

Menurut Ridho Al-Hamdi dalam buku "Paradigma Politik Muhammadiyah" (2020), ajaran yang dianut KH. Ahmad Dahlan di Muhammadiyah sepenuhnya mengembuskan renungan kritis terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang diselaraskan dengan konteks dan permasalahan zaman. Memadukan antara nash (dalil) dan waqi' (konteks zaman) berhasil menghadirkan wajah peradaban Islam yang positif dan berkemajuan." KH. Ahmad Dahlan menggunakan al-Qur'an sebagai inspirasi untuk membentuk Muhammadiyah yang tumbuh menjadi persyarikatan yang kreatif, inovatif dan kontributif bagi kemanusiaan. 

Muhammadiyah kini dipimpin oleh seorang tokoh yang aktif menulis untuk berbagai media massa termasuk menulis buku. Namanya Prof. Dr. H. Haedar Nashir, M.Si., akrab disapa Prof. Haedar. Ada begitu banyak buku yang sudah beliau tuliskan, baik antologi atau bunga rampai artikel maupun buku non antologi. Tema pembahasannya beragam, bukan saja tentang Muhammadiyah tapi juga keislaman, keindonesiaan, kebangsaan dan sebagainya. Salah satu buku terbarunya berjudul "Indonesia, Ideologi dan Martabat Pemimpin Bangsa". Buku ini diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah dan Buku Republika pada Mei 2022 lalu. Pada buku setebal 530 halaman ini Prof. Haedar mengulas banyak hal seputar keumatan, kepemimpinan, keindonesiaan, kebangsaan dan kenegaraan. 

"Kepada para pemimpin negeri dan tokoh umat agar tidak henti menebarkan mozaik ilmu dan hikmah yang tinggi dalam mengayomi segenap umat dan warga bangsa dengan sikap adil, ihsan, dan teladan. Hindari sikap berat sebelah, menebar resah dan pecah belah, agar kehidupan bersama semakin cerah bertabur berkah dan terhindar dari musibah", begitu pesan kebangsaan Prof. Haedar sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah pada Hari Raya Idul Fitri 1443 Hijriyah lalu. Sebuah perenungan sekaligus peringatan yang mendalam sekaligus lugas agar para pemimpin termasuk rakyat biasa untuk lebih dewasa dalam berbangsa dan bernegara, termasuk dalam memahami dan merespon keragaman. 

Begitulah bukti cinta Prof. Haedar pada umat, bangsa dan negara tercinta Indonesia. "Lakunya santun, bicaranya membuka wawasan, analisisnya tajam dan jauh ke depan, pembawaannya tenang, pikirannya matang sebagai hasil endapan pengalaman dan keilmuan. Di luar itu, ia adalah penulis prolifik. Tulisan-tulisan reflektifnya di Harian Republika ini mendokumentasikan banyak gagasan yang patut direnungkan oleh setiap pemimpin. Calon pemimpin dan generasi muda juga perlu menyerap nilai-nilai teladan dan mengaktualisasikannya dalam jiwa, alam pikiran, sikap, dan tindakan", ungkap Muhamad Ridha Basri (Suara Muhammadiyah) pada tulisannya yang berjudul "Pemimpin Merenung Bangsa". 

Bila kita menelisik berbagai ide dan pemikiran Prof. Haedar, termasuk yang bisa dibaca melalui berbagai tulisannya, kita bisa memahami betapa sosok ini sangat peduli dengan estafeta kepemimpinan Indonesia, kini dan nanti. Bukan karena hendak merebut kursi atau jabatan tertentu, tapi untuk memastikan perjalanan sejarah tak dibelokkan ke jurang kehancuran. Beliau sering menekankan bahwa kepemimpinan mesti berangkat dari panggilan jiwa untuk melakukan pengabdian. Pemimpin cum negarawan tidak berangkat dari motivasi rendah nafsu kuasa. Para pemimpin rela berkorban pikiran, harta, dan jiwa untuk tujuan besar. Mereka senantiasa memberi, bukan meminta dan mengambil yang bukan haknya. Mereka meletakkan kepentingan bangsa di atas kepentingan diri, keluarga, dan kroni.

Kepemimpinan, menurut Prof. Haedar, mesti diilhami oleh nilai-nilai spiritual yang tertanam di dalam jiwa. Tanpa dikawal oleh landasan ruhani, kepemimpinan dapat mengarah pada petaka bahkan mewarisi peradaban buruk dan anti kemanusiaan. Tokoh semisal Fir’aun, Hitler, hingga Mussolini merupakan di antara daftar pemimpin dunia yang menyalahgunakan takhta. Jabatannya digunakan untuk berbuat onar dan nestapa bagi peradaban. Kehebatan ilmu dan pengalamannya tidak diimbangi dengan nilai-nilai keruhanian, yang sumbernya antara lain digali dari ajaran agama yang mengajarkan prinsip hidup benar, baik, dan patut. Siapapun pemimpin mesti belajar dan mengambil pelajaran dari sejarah penguasa semacam itu agar tidak tergelincir dan dikenang sebagai musuh kemanusiaan. 

Bagi bangsa Indonesia, Prof. Haedar meramu kedudukan agama dan Pancasila secara proporsional. Baginya, Indonesia adalah bangsa sekaligus negara yang religius dan berbudaya. Dimana keduanya mendapatkan tempat dan perlu pendalaman yang jujur dan tulus. Tidak boleh ada upaya untuk mereduksi satu sama lain. Bila pun ada aspirasi, kritik dan koreksi, perlu dilakoni secara santun, rasional dan konstitusional. Secara khusus, agama dalam hal ini Islam sudah dewasa sejak pertama kali diwahyukan, tak usah diobarak-abrik. “Agama sebagai keyakinan dan pedoman hidup mutlak setiap pemeluk agama sesuai agamanya, sedangkan Pancasila adalah ideologi dan dasar negara Republik Indonesia. Agama bersifat umum untuk seluruh dimensi kehidupan umat manusia, sedangkan Pancasila khusus dalam berbangsa dan bernegara,” (hal. 27). 

Meskipun begitu, agama dan Pancasila yang sama-sama mengandung nilai-nilai luhur dinilai saling beririsan dan menyatu dalam denyut nadi bangsa Indonesia. Terkait dengan bagaimana agama diimplementasikan dalam kehidupan bernegara, maka hal ini menjadi urusan kebijakan publik yang mesti terus didialogkan dan dinegosiasikan secara musyawarah, mufakat, dan hikmah kebijaksanaan antar institusi negara dan komponen bangsa. Indonesia memang bukan negara teokrasi, namun Indonesia bukan negara yang antipati atau memisahkan agama dari negara. Karena itu perlu kedewasaan dan pembacaan yang mendalam agar penyikapan kita lebih autentik dan berdaya guna bagi kemajuan. 

Bagi Prof. Haedar, pemimpin adalah khadim al-ummat, pelayan rakyat, yang bertugas menjadi pengatur, penentu arah, pengayom, dan pemberi contoh. Ibarat kepala, pemimpin adalah penentu hitam-putihnya umat, masyarakat, dan bangsa. Kerusakan masyarakat sering dimulai dari pemimpin, seperti perumpaan ikan busuk yang dimulai dari kepala. “Dengarkanlah suara dan jeritan nasib rakyat, yang disampaikan ke ruang publik maupun yang terjadi di realitas nyata, tanpa sikap apologi dan keras kepala karena merasa digdaya kuasa takhta.” Martabat dan marwah pemimpin terletak pada kecintaannya kepada rakyat. “Martabat pemimpin bukan terletak pada kedigdayaan kekuasaan, tetapi menyangkut kekuatan rohani dan moral kepemimpinannya,” (hal. 39). 

Di era perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin geliat dan tak terbendung, keberadaan buku memang seperti kehilangan tuan. Sebab pembaca sudah tergila-gila dengan media online yang memang bisa diakses secara gratis dan mudah. Namun bila kita membaca buku Prof. Haedar ini, kita bakal tersadarkan betapa keberadaan buku dan interaksi kita dengan buku sejatinya dapat menambah saldo keterpanggilan kita untuk berkontribusi bagi kemajuan Indonesia. Memang di sini tak ada harta, tahta dan serupanya, tapi di sini ada ide, pemikiran dan perspektif yang membuat kita semakin dinamis, dewasa dan tergerak untuk berkontribusi. 

Ya, sosok yang kalem ini mengajak kita untuk melihat ke dalam diri secara jujur agar kita memiliki pemahaman yang utuh dan luas tentang apa yang kita lihat di sekitar kita tentang bangsa dan negara kita. Kita diajak untuk senantiasa peduli dan bertanggung jawab pada negeri yang kita cinta, bukan saja dengan jiwa tulus tapi juga sikap kenegarawanan. Bahkan, dalam posisi tertentu perlu juga dengan menulis buku, agar generasi berikutnya punya panduan dan peta jalan. Sebab menenun sejarah bangsa bukan saja tugas para pemimpin di institusi negara, tapi juga tugas rakyat biasa yang terpanggil dan menyumbangkan gagasannya bagi kemajuan bersama: bangsa dan negara tercinta Indonesia. (*)


Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Merawat Indonesia" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok