Selamat Jalan Doktor Yusuf Qardhawi!
Seperti dikutip berbagai media online, Doktor al-Qaradawi lahir di sebuah desa kecil di Mesir bernama Shafth Turaab di tengah Delta Sungai Nil pada 9 September 1926 silam. Pada usia 10 tahun, beliau sudah hafal al-Qur'an. Menamatkan pendidikan di Ma'had Thantha dan Ma'had Tsanawi, Doktor al-Qaradhawi terus melanjutkan ke Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuluddin dan lulus tahun 1952. Gelar doktornya baru beliau peroleh pada tahun 1972 dengan disertasi "Zakat dan Dampaknya Dalam Penanggulangan Kemiskinan", yang kemudian disempurnakan dan diterbitkan menjadi buku yang monumental di seluruh dunia "Fiqh Zakat".
Selain itu, beliau juga menulis 100 lebih buku yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia, termasuk Indonesia. Diantaranya adalah Halal dan Haram Dalam Islam, Ijtihad Dalam Timbangan Syariat Islam, Fiqih Daulah, Fiqih Zakat, Sabar dan Ilmu Dalam al-Qur'an, Sabar Menurut al-Qur'an, Sabar Sifat Orang Beriman, Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Qur'an yang Mulia, Bagaimana Berinteraksi dengan Sunnah Nabi, Pendidikan Islam, Wawasan Da'i, dan Kebangkitan Islam. Buku-buku tersebut dibaca oleh berbagai kalangan di berbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia.
Pada Jum’at, 12 Januari 2007 silam, saya menghadiri kajian sekaligus silaturahim dengan Cendikiawan Muslim berpengaruh bekerwarganegaraan Qatar asal Mesir ini. Kala itu beliau memberi ceramah keagamaan di hadapan para tokoh Islam se-Indonesia di Masjid Istiqlal, Jakarta. Pada bagian awal ceramahnya beliau sangat bersyukur kepada Allah karena ditakdirkan untuk bersua dengan saudara-saudaranya yaitu umat Islam di negeri mayoritas muslim terbesar di dunia: Indonesia. Kala itu beliau sengaja berkunjung ke Indonesia, lalu ke Malaysia, berikutnya beliau melanjutkan kunjungan ke berbagai negara di Eropa.
Beberapa poin ceramah beliau pada saat pertemuan dengan tokoh umat Islam di Masjid Istiqlal 2007 silam masih terngiang dalam benak saya. Bukan saja karena diksi "Bahasa Arab" yang beliau gunakan kala itu yang mudah dipahami, tapi juga intonasinya memudahkan siapapun untuk mengingat setiap ucapannya. Beliau menyampaikan dengan suara yang jelas dan lantang namun tetap dalam bingkai hikmah dan kesantunan terjaga. Kala itu, jama'ah yang hadir dimanjakan juga oleh penerjemah yang kerap diundang di berbagai forum umat Islam di level internasional, yaitu Ustadz Mohammad Anis Matta, Lc., sehingga mudah memahami isi ceramah sosok yang akrab dengan berbagai kalangan ini.
Seingat saya pertama kali beliau mengingatkan agar kita bersyukur karena tercipta dan hidup sebagai manusia. Selebihnya, ada beberapa poin yang beliau sampaikan kala itu, diantaranya pentingnya bersyukur kepada Allah atas nikmat Iman dan Islam di atas nikmat yang lainnya. Menurutnya, inilah nikmat yang sangat besar yang kita peroleh dari Allah. Sebab tidak semua manusia mendapatkan kedua nikmat ini. Beliau menyebut kedua nikmat tersebut sebagai nikmat hidayah. Hal ini seperti Allah tegaskan dalam al-Qur'an surat al-Hajj ayat 78, "... Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang muslim sejak dahulu....".
Kedua, pentingnya menjaga ukhuwah Islamiyyah di tengah keragaman ras, suku, dan bangsa umat Islam di seluruh dunia. Hal ini seperti yang ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur'an, tepatnya surat al-Hujurat ayat 10. Allah berfirman, "Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat." Menurutnya, ukhuwah Islamiyyah merupakan nikmat besar yang mengiringi nikmat Iman dan Islam. Sebab nikmat ini melampaui hubungan darah atau nasab yang dalam pemikiran tertentu termasuk era jahiliyah dianggap sebagai hubungan yang paten dan lebih mulia. Lalu Islam hadir dengan sebuah konsep ukhuwah Islamiyyah yang melintasi batas hubungan darah, suku, ras dan geografis.
Beliau pun mengingatkan agar umat Islam kokoh dalam beragama seperti yang ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur'an. "Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk." (QS. Ali 'Imran: 103)
Walau begitu, beliau mengingatkan agar umat Islam tetap mempelopori terjalin hubungan baik dengan umat yang berbeda. Ini sebagai wujud nyata bahwa umat Islam adalah umat yang dibekali oleh semangat menebar damai dan kasih sayang bagi seluruh alam. "Kita adalah rahmat untuk seluruh umat manusia. Rahmat bagi yang jauh dan dekat. Rahmat dalam keadaan damai dan keadaan perang. Rahmat untuk muslimin dan muslimat. Rahmat untuk manusia dan binatang. Rahmat untuk muslim dan non-muslim. Karena Rasulullah saw dalam peri hidupnya memiliki sikap kasih sayang. Demikianlah Allah memuliakan kita dengan al-Qur’an dan Rasul-Nya", ungkapnya yang direspon dengan ucapan takbir oleh ribuan jama'ah yang hadir kala itu.
Ketiga, perlunya umat Islam menyusun agenda bersama pada level global, sehingga selain pada ibadah haji dan umroh, umat Islam bisa bertemu pada agenda global lainnya. Jumlah umat Islam dari waktu ke waktu semakin banyak. Bahkan pertumbuhan umat Islam di beberapa benua Barat seperti Eropa dan Amerika cukup geliat dan membanggakan. Hal ini terjadi terutama setelah terjadinya peristiwa 11/9 di Amerika Serikat. Kala itu, non muslim dari Yahudi dan Katolik tak sedikit yang penasaran dengan Islam, sehingga mendalami berbagai referensi tentang Islam, termasuk mengkaji al-Quran di berbagai forum. Bahkan berikutnya, tak sedikit yang mendapat hidayah dan memeluk Islam.
Sosok yang dikenal sebagai mujtahid abad 21 dan sering memberikan fatwa ini memiliki tujuh anak yang menempuh pendidikan di Amerika, Inggris, Mesir dan sebagainya dalam beragam fokus studi. Salah satu pemikiran Ketua Ulama Islam Internasional yang berkaitan dengan pendidikan adalah penolakan beliau pada pemahaman ilmu yang dikotomis, misalnya, ilmu agama dan ilmu umum. Menurut ulama yang meninggal pada usia 96 tahun dan berdomisli di Doha, Qatar ini, ilmu itu terbagi dua yaitu (1) ilmu fadhu 'ain. Misalnya, ilmu seputar ibadah dan kebutuhan sehari-hari. (2) Ilmu fardhu kifayah, yaitu ilmu yang bila ditekuni oleh sebagian umat Islam maka umat Islam lainnya tidak wajib menjadi ahli padanya.
Meninggalnya Doktor Qardhawi merupakan kehilangan bagi umat Islam di seluruh dunia. Namun Allah tentu lebih mencintai sosok yang menghafal al-Qur'an sejak kecil dan kerap menjadi narasumber di berbagai forum internasional ini. Kita mestinya tersadarkan bahwa seluruh manusia pasti bersua dengan ajal kematiannya. Allah berfirman, "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. (QS. al Anbiya: 35), dan "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan. (QS. al-Ankabut: 57). Menjelang ajal kematian tiba, kapan pun tibanya, kita mesti menyiapkan bekal terbaik dengan meningkatkan kualitas iman dan taqwa kita, termasuk dengan meningkatkan kualitas amal soleh sekaligus amal sosial pada sesama. (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Merawat Indonesia"
Komentar
Posting Komentar