Pendidikan Karakter Sebagai Solusi Masalah Bangsa


DALAM beberapa waktu lalu kita dikagetkan dengan munculnya berbagai kasus pembunuhan atau pembegalan di berbagai kota di Indonesia. Dari ujung timur hingga barat bumi kathulistiwa pun dihantui oleh satu fenomena terutama dalam bentuk pembegalan. Korbannya bukan saja terluka, tapi juga terbunuh alias kehilangan nyawa.  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), secara umum mengisyaratkan bahwa "begal merupakan satu bentuk perbuatan merampas secara paksa harta atau barang milik orang lain di jalan hingga pembunuhan". Dari sini dapat dipahami bahwa walaupun berbeda, pada dasarnya pembegalan merupakan saudara kembar pencurian, perampokan dan serupanya. Uniknya, fenomena begal dan pembegalan terjadi di hampir seluruh daerah/kota di seluruh Indonesia, bahkan wilayah 3 Cirebon (Ciayumajakuning: Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan) juga terjadi pembegalan.  

Dalam konteks sosial, fenomena semacam itu telah membuat publik yang masih kelelahan karena mendapatkan suguhan dari berbagai media massa dan media sosial berupa kasus pelik yang menimpa institusi penegak hukum atau kepolisian seperti kasus Ferdy Sambo dkk, tarik-menarik kepentingan (global) dalam eksekusi hukuman mati bagi terpidana narkoba di Indonesia, adu akrobatik antar elite politik menjelang pemilu 2024, fenomena kenaikan  harga bahan bakar minyak (BBM) yang diikuti kenaikan harga sembilan kebutuhan pokok (sembako) di awal bulan September 2022 ini, dan berbagai kasus lain yang cukup pelik, menjadi bertambah hiruk pikuk. 

Sederhananya, dalam kondisi negara dirundung berbagai masalah, publik pun bertanya: ada apa lagi dengan kasus pembegalan yang masih saja terjadi? Dalam mengatasi fenomena sosial yang menggerogoti Indonesia, apa yang mesti dilakukan oleh elemen publik-bangsa? Ya, satu sisi, betul fenomena begal dan pembegalan disebabkan oleh banyak faktor seperti kemiskinan, pendidikan rendah, sempitnya lapangan kerja, rendahnya etos kerja, dan kesenjangan pembangunan. 

Namun di sisi yang lain, dapat dikatakan bahwa, fenomena tersebut merupakan lonceng peringatan bagi seluruh elemen bangsa, terutama penggawa negara atau penentu kebijakan publik, bahwa pendidikan karakter yang telah menjadi tren baru pendidikan Indonesia beberapa tahun terakhir belum cukup mampu memberantas atau menghilangkan berbagai penyakit manusia dan sosial yang terus mewabah. Ini pertanda, pendidikan karakter perlu digelorakan secara masif oleh seluruh elemen bangsa dan dijadikan sebagai agenda massal nasional.  

Fakta terbuka menunjukkan bahwa, masih menonjolnya berbagai karakter negatif di tengah masyarakat dalam berbagai bentuknya seperti pembegalan, pencurian, pemerkosaan hingga pembunuhan; bahkan di kalangan para elite bangsa seperti korupsi/pencurian, intrik politik sesaat, ingkar janji, mark up anggaran hingga kebohongan publik, merupakan saksi paling akurat betapa pendidikan karakter masih mencari bentuk aplikasinya yang mewabah.  

Selanjutnya, fakta semacam itu sebetulnya mengingatkan kembali memori kita seputar karakter manusia Indonesia yang menonjol, yang pernah diungkap oleh budayawan terkenal Mochtar Lubis (alm.), dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 6 April 1977 silam. Pada momentum itu Mochtar Lubis mengatakan bahwa, Orang Indonesia memiliki beberapa karakter menonjol yaitu munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, lemah karakter, cenderung boros, dan suka jalan pintas. 

Apa yang disinggung oleh penulis yang sangat kritis pada eranya itu dapat kita baca dalam bukunya "Manusia Indonesia" terbitan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta (2001). Karena mengakui kelemahan dalam karakter bangsa, akhirnya dengan segala upaya pemerintah merancang program pendidikan karakter. Kini, banyak program sedang dijalankan dengan tujuan membentuk karakter yang dianggap unggulan, seperti jujur,  tanggung jawab, cinta kebersihan, kerja keras, toleransi, dan sebagainya. Bahkan Pemerintah dan DPR telah bersepakat bahwa pendidikan karakter perlu diprioritaskan untuk membangun bangsa yang maju dan beradab, termasuk dalam menghadapi dinamika global yang semakin kompetitif.

Dalam pengantar buku “Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter" yang dikeluarkan oleh Balitbang Kementerian Pendidikan Nasional (sekarang 2022: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi) pada tahun 2011, Kabalitbang Kemmendiknas menulis: Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus menjadi upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

Sedangkan tujuan pendidikan karakter adalah untuk mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yang meliputi : (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) membangun bangsa yang berkarakter; (3) mengembangkan potensi warganegara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.

Dalam rangka memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada satuan pendidikan,  telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, (18) tanggung jawab (Sumber: Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009: 9-10).

Kita mesti percaya dan optimis bahwa kalau saja nilai unik sekaligus karakter-karakter mulia tersebut mampu ditransformasikan ke dalam pribadi peserta didik dan masyarakat-bangsa melalui proses pendidikan (formal, informal dan non formal), maka berbagai fenomena atau penyakit sosial seperti yang saya singgung di atas, terutama pembunuhan dalam bentuk pembegalan, secara pelan-pelan (tapi pasti) volumenya segera menurun dan (semoga saja) menghilang; sehingga ke depan kita pun akan menyaksikan wajah baru Indonesia yang lebih elok dan maju: bangsa yang berkarakter, negara yang beradab. (*)


* Tulisan ini dimuat pada halaman 4 Kolom Wacana Koran Radar Cirebon edisi Senin 5 September 2022. Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Melahirkan Generasi Unggul". 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah