Urgensi Pendidikan Keluarga


ISLAM adalah agama yang sempurna dan diterima atau diridhoi di sisi Allah. Ia adalah satu-satunya agama yang menjadikan seluruh ucapan dan tindakan umatnya diberi balasan, baik pahala maupun dosa atau hukuman. Seluruh gerak-gerik umatnya mendapatkan penilaian sejak masuk kategori mukalaf (masuk usia terkena beban syariat, taklif) seperti baligh dan tamyiz atau bisa membedakan antar yang benar dan yang salah. Islam bukan saja agama yang memiliki konsep ibadah yang jelas tapi juga agama yang memiliki konsep tentang kehidupan sosial yang juga jelas. 

Allah berfirman, "Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi Allah ialah (hanyalah) Islam...." (QS. Ali 'Imran: 19. Pada surat lain Allah berfirman,  "... pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian ad-din kalian dan telah Aku sempurnakan pula nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridho al-islam sebagai ad-din bagi kalian. (QS. al-Ma'idah: 3). 

Salah satu konsep yang sangat jenial dalam Islam adalah konsep pendidikannya. Bahkan Islam menempatkan pendidikan keluarga sebagai pendidikan utama dan pertama. Sukses menjalankan pendidikan ini akan berdampak baik pada terbentuknya generasi yang sejak dini terdidik, sebagai generasi penerus atau pelanjut bagi orangtuanya. Bila generasi semacam ini terus dilahirkan maka akan berdampak pada peranannya dalam meretas perubahan bangsa ke arah yang lebih baik dan kebangkitan bahkan kemajuan umat Islam.  

Pertanyaannya, mengapa mesti pendidikan keluarga? Diantara alasannya adalah sebagai berikut, pertama, penanggungjawab pertama dan utama pendidikan anak adalah orangtuanya. Orangtua merupakan pendidik pertama dan utama atas anak-anaknya, yang sebagian besar waktunya berada di rumah atau keluarga. Orangtuanya-lah yang menentukan seperti apa seharusnya anak menjalani kehidupannya di dunia sekaligus di mana tempatnya kelak di akhirat, surga atau nerakanya. Bila orangtuanya telaten dalam mendidik, maka insyaa Allah anaknya juga akan terdidik dengan baik. 

Kita sangat bersyukur karena Allah pun telah memberi garisan yang tegas kepada kita,  bagaimana seharusnya menjadi orangtua. Allah berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..." (QS. at-Tahriim: 6). Mengomentari ayat tersebut sahabat Ali bin Abi Tholib pernah mengungkapkan, "Adibuhun wa 'alimuhum, didiklah mereka adab dan ajarilah mereka ilmu!" 

Memastikan anak memiliki adab yang benar adalah kunci pendidikan anak. Karena itu, orangtua mesti menanamkan adab kepada anaknya, sebab hal ini akan berdampak kepada kualitas anaknya kelak. Selanjutnya, didiklah anak memiliki semangat untuk mendalami berbagai ilmu, terutama ilmu-ilmu yang benar-benar penting dalam kehidupannya seperti tata cara beriman, tata cara beribadah dan sebagainya. 

Berdasarkan ayat dan penjelasan di atas kita dapat memahami betapa besarnya tanggungjawab orangtua atas anaknya. Tentu ini menjadi penegas betapa pendidikan kelurga itu penting. Pendidikan utama dalam pendidikan keluarga adalah adab. Adab artinya menempatkan suatu pada martabatnya. Adab punya makna yang sepadan dengan kata adil. Bukan sekadar sopan santun seperti yang selama ini kita pahami. Adab dan adil adalah karakter sekaligus jalan taqwa juga menuju taqwa yang hakiki. 

Maka, dalam Islam, syirik adalah bentuk kebiadaban atau kezoliman nyata. Bila manusia terjebak pada kesyirikan maka sejatinya ia sedang terjebak pada ketidakadilan sekaligus kebiadaban nyata. Karena itu, dalam pendidikan keluarga, orangtua mesti menanamkan pendidikan adab yang utama pada anaknya, yaitu adab kepada Allah, sebagai materi utama. Selain itu, pendidikan adab juga mencakup materi tata cara beriman, berislam, beribadah dan berakhlak mulia juga bersosial. 

Kita patut meniru proses pendidikan keluarga dalam keluarga Luqman, dimana beliau telah menanamkan adab sejak dini pada putranya. Bahkan hal ini dilukiskan secara jelas dalam al-Quran. Allah berfirman, "Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, "Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar." (QS. Luqman: 13)

Kedua, konstitusi aturan negara mengafirmasi pendidikan keluarga. Bila kita membaca Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, di situ sangat jelas bahwa tujuan pendidikan nasional adalah melahirkan peserta didik atau generasi yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia. Di samping itu mandiri, produktif, toleran, peduli, cinta tanah air dan bertanggungjawab. 

Namun untuk mencapai itu, tidak cukup diserahkan kepada pendidikan formal, tapi mesti melibatkan pendidikan non formal dan informal. Sebelum adanya pendidikan formal, pendidikan keluarga sudah menjadi lembaga pendidikan yang secara kultural dan sejarah sudah berpengalaman dalam menjalankan peran pendidikan anak. Tak sedikit para tokoh pejuang dan ulama yang melalui proses ini sehingga kelak mereka menjadi sosok yang layak kita teladani. Dengan begitu, pendidikan keluarga semakin menemukan relevansinya. Bukan saja karena perintah agama tapi juga kewajiban negara. 

Ketiga, tantangan zaman yang semakin kompleks dan nyaris tak terprediksi. Angka anak-anak yang terlibat tindakan kriminal: minuman keras, begal, seks bebas dan serupanya sangat mengerikan. Pemberitaan media massa dan penemuan berbagai lembaga penelitian terkait dengan permasalahan remaja, misalnya, membuat kita tercengang betapa anak-anak dalam usia yang masih belia itu sudah terlibat dalam tindakan yang tak seharusnya mereka alami.  

Dalam kondisi demikian, kita tidak bisa mengandalkan seratus persen lembaga pendidikan formal yang dari sisi waktu hanya 6-8 jam. Padahal sebagian besar waktu atau sekitar 16-18 jam anak berada di rumah. Maknanya, mestinya proses pendidikan anak yang dominan bahkan pertama dan utama adalah di rumah atau pendidikan keluarga. Orangtua tidak boleh lagi terjebak pada pemahaman keliru, misalnya, menjadi lembaga pendidikan formal sebagai satu-satunya lembaga pendidikan anak. 

Bila saja pendidikan keluarga berjalan dengan baik maka akan lahir generasi atau pemuda-pemuda yang berkarakter serupa dengan pemuda Ashabul Kahfi atau pemuda penghuni gua. Allah berfirman, "Kami ceritakan kepadamu (Muhammad) kisah mereka dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan petunjuk kepada mereka." (QS. al-Kahfi: 13). 

Berdasarkan ayat tersebut, kualifikasi pemuda kahfi paling tidak mesti memiliki iman yang kuat dan mendapatkan petunjuk. Iman tak hanya diucapkan tapi mesti mewujud dalam tindakan dan perilaku sehari-hari. Iman mesti berdampak pada perilaku kehidupan, baik dalam bentuk ibadah maupun dalam bentuk akhlak pada sesama. Petunjuk adalah peta jalan, ia dimanifestasikan dengan kesungguhan untuk mentaati Allah dan rasul-Nya dengan mentaati aturan syariat yang tertera dalam al-Quran dan al-Hadits.

Siapapun kita, tentu sangat ingin agar anak atau keturunan kita masuk kategori pemuda yang mampu meretas perubahan bangsa ke arah yang lebih baik dan kebangkitan umat. Mereka bukan saja mewarisi nilai perjuangan para mujahid era sahabat dan seterusnya tapi juga daya juang para pahlawan yang pernah berjuang masa penjajahan dan masa kemerdekaan. Hal ini tentu bukan pekerjaan ringan, karena itu menjalankan pendidikan keluarga secara telaten merupakan pilihan yang tak bisa dianggap remeh lagi.  

Bila dulu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sukses berdakwah dengan peran dan kontribusi pemudanya yang sangat optimal, maka era ini dan ke depan juga demikian, mestinya pemuda berperan dan berkontribusi optimal, baik untuk kemajuan bangsa maupun untuk kebangkitan umat Islam. Tapi kuncinya, sekali lagi, adalah pendidikan, terutama pendidikan keluarga. Orangtua sebagai pendidik pertama dan utama anak mesti mampu menjalankan perannya dengan baik. Karena itu pula orangtua mesti terus meningkatkan kualitas dirinya, baik iman, taqwa dan akhlak mulianya, maupun ilmu dan amalnya. Intinya, orangtua mesti menjadi pembelajar sehingga mampu menjadi pendidik yang pantas diteladani oleh anaknya. (*)



* Oleh: Syamsudin Kadir, Pengurus Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (Dewan Dakwah) Kota Cirebon dan Penulis Buku “Menjadi Pendidik Hebat Di Era Digital”. Tulisan ini dimuat dan dapat dibaca pada Koran Radar Cirebon edisi hari ini Senin 7 November 2022, Kolom Wacana halaman 4.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok