Inspirasi Kepahlawanan KH. Ahmad Sanusi


AJENGAN Ahmad Sanusi adalah KH. Ahmad Sanusi (Kiai Sanusi), yang juga dikenal dengan Ajengan Cantayan. Sosok 'alim ini dikenal juga dengan Ajengan Genteng atau Ajengan Gunungpuyuh. Hal ini sangat wajar karena beliau lahir di Cantayan, Under Distrik Cikembar, Distrik Cibadak, Under Afdeling Sukabumi-Jawa Barat  pada 18 September 1888 dan meninggal di Sukabumi pada 31 Juli 1950. Beliau merupakan satu dari tiga pendiri ormas Islam Persatuan Ummat Islam (PUI) lainnya yaitu KH. Abdul Halim (Majalengka) dan Mr. R. Syamsuddin (Sukabumi).  

Diantara pesan kepahlawanan Kiai Sanusi, yaitu, pertama, Kiai Sanusi adalah sosok pendidik sekaligus ulama yang cerdas. Hal ini bisa dipahami dari konsennya. Bayangkan saja, beliau adalah tokoh Sarekat Islam dan pendiri Al-Ittahadiyatul Islamiyah (AII), sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan, sosial kemasyarakatan dan ekonomi. Pada awal Pemerintahan Jepang, AII dibubarkan dan secara diam-diam beliau mendirikan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII). Selain itu, beliau juga pendiri Pondok Pesantren Syamsul Ulum, Gunung Puyuh, Sukabumi-Jawa Barat. 

Di samping itu, sepak terjangnya pemimpin Al Ittihadiyatul Islamiyah (AII) dan dalam menginisiasi terbentuknya PUI yang tidak bisa dianggap sepele. Ya, kelak pada 5 April 1952 Kiai Sanusi menjadi salah satu dari inisiator Fusi Persatuan Ummat Islam (PUI). Selain Kiai Sanusi, pendiri sekaligus pencetus Fusi PUI adalah KH. Abdul Halim (Kiai Abdul Halim) dari Majalengka dan Mr. R. Syamsuddin dari Sukabumi. Kiai Sanusi juga tercatat sebagai salah seorang pemerakarsa berdirinya Sekolah Tinggi Islam (STI) yang kini menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

PUI sendiri ditandai dengan disahkannya perhimpunan Persjarikatan ‘Oelama, pimpinan KH. Abdul Halim, oleh Pemerintah Hindia Belanda berdasarkan Gouvernment Besluit Nomor 43 Tahun 1917, tertanggal 21 Desember 1917 M / 6 Rabi’ul Awal 1336 H. Dalam Sidang Majelis Syuro, tanggal tersebut disepakati serta ditetapkan sebagai hari lahir PUI dan kemudian dicantumkan dalam Anggaran Dasar PUI Pasal 1 Ayat 2 yang disahkan pada tanggal 28 Desember 2019 M/ 1 Jumadil Ula 1441 H.

PUI merupakan fusi dari dua perhimpunan besar yang didirikan oleh tokoh-tokoh tersebut, yakni Persjarikatan ‘Oelama yang berubah nama menjadi Perikatan Oemmat Islam (POI) pimpinan KH. Abdul Halim yang berkedudukan di Majalengka dan Al-Ittihadijatoel Islamijjah (AII) yang berubah nama menjadi Persatuan Oemmat Islam Indonesia (POII) pimpinan KH. Ahmad Sanusi di Sukabumi, pada tanggal 5 April 1952, dengan satu tujuan, yakni menggalang persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia serta untuk mengurangi pertentangan dan perpecahan diantara Ummat Islam. 

PUI terlahir dari kepedulian terhadap nasib bangsa oleh tiga tokohnya yakni KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi, dan Mr. R. Syamsuddin, untuk berjuang melepaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan, ketertindasan, kebodohan, kemiskinan, dan politik perpecahan. Ketiganya tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia serta memiliki peranan penting dalam menyusun narasi besar lahirnya NKRI sebagai anggota BPUPK. 

Kedua, Kiai Sanusi adalah tokoh sekaligus pemimpin yang berjiwa negarawan. Ketokohan dan kepemimpinannya sudah tak bisa diragukan lagi, baik pada level umat maupun bangsa. Pada level dinamika pembentukan negara, Kiai Sanusi pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada tahun 1945. Badan inilah kelak yang merumuskan berbagai hal yang dibutuhkan dalam membentuk negara. Bila kita menengok sejarah, kala itu, suasana rapat besar BPUPK yang berlangsung maraton dari 13 hingga 16 Juli 1945, sejak pagi hingga tengah malam, berlangsung alot dan panas.

Selaku Ketua Perancang UUD, kala itu Ir. Soekarno (Bung Karno) melaporkan hasil kerjanya kepada Rapat Besar BPUPKI berupa Rancangan Pernyataan Kemerdekaan yang juga merupakan cikal bakal Pembukaan UUD. Betapapun Bung Karno meyakinkan peserta Rapat Besar bahwa hasil kerja Panitia Sembilan yang dia pimpin merupakan kompromi terbaik antara golongan Islam dan Kebangsaan, pro dan kontra tetap tajam.

Di tengah suasana rapat yang makin panas dan menunjukkan tanda-tanda bakal berujung pada jalan buntu dan belum menemukan titik temu, Kiai Sanusi tampil bijak. Seraya menolak voting yang diusulkan Ketua BPUPK, Dr. Radjiman Wedyoningrat. Kala itu, Kiai Sanusi meminta supaya (1) permusyawaratan berjalan tenang, (2) jangan mengambil keputusan dengan tergopoh-gopoh, dan (3) semua peserta rapat berlindung kepada Allah. Interupsi Kiai Sanusi pun berhasil menenangkan rapat besar, dan keesokan harinya, Rancangan Pembukaan UUD diterima dengan suara bulat.

Perihal hubungan agama dengan negara, Kiai Sanusi berpendapat bahwa keduanya merupakan dua badan yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Dalam pandangannya, usaha memajukan agama Islam berarti juga usaha memajukan bangsa dan negara. Agama dalam hal ini Islam sama sekali tidak merintangi negara sebagai sebuah medan amal sekaligus konsisus. Di sini sangat jelas betapa Kiai Sanusi menunjukan kecerdasan dan kemampuannya untuk membangun perspektif yang luwes di tengah keragaman pandangan para tokoh kala itu. 

Di BPUPK Kiai Sanusi mengusulkan "Jumhuriyah" (Republik) sebagai bentuk negara, dan pemimpin "Jumhuriyah" itu seorang "Imam" (pemimpin) yang dipilih. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Kiai Sanusi adalah salah satu tokoh yang menelurkan gagasan bentuk negara "Republik" yang hingga kini masih kokoh diakui sebagai bentuk negara kita. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa beliau layak disematkan sebagai Bapak Republik. 

Sekadar mengenang, sebagaimana dikisahkan Pramoedya Ananta Toer dalam bagian akhir "Tetralogi Buru", pelbagai organisasi pergerakan nasional segera “dirumahkacakan", diawasi gerak-geriknya, dan para pentolannya ditangkap. Kiai Sanusi, sebagai anggota Sarekat Islam Priangan Barat, pun terkena "efek rumah kaca" ini. Ya, pada masa penjajahan Belanda, antara 1927-1934 Kiai Sanusi menghabiskan usianya dari penjara ke penjara, karena beliau difitnah dan dimusuhi oleh penjajah Belanda. 

Kiai Sanusi dipenjara di Sukabumi dan Cianjur, masing-masing selama selama enam dan tujuh bulan. Pada 1927, atas perintah Gubernur Jenderal A.C.D. de Graeff, beliau dipindahkan ke Tanah Tinggi, Batavia. Sejak 1934 hingga runtuhnya kekuasaan Belanda, Kiai Sanusi berstatus sebagai tahanan kota. Artinya, Kiai Sanusi adalah sosok pejuang sekaligus petarung sejati yang memang menjadi incaran atau musuh penjajah yang layak dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional. 

Ketiga, Kiai Sanusi adalah cendikiawan unggul, pemikir ulung dan penulis handal. Pemikiranya seputar bentuk negara berupa konsep "Jumhuriyah" (Republik) dan pemimpin "Jumhuriyah" adalah seorang "Imam" (pemimpin) yang dipilih merupakan contoh rilnya. Kiai Sanusi juga sosok yang begitu giat dalam membangun tradisi literasi terutama tradisi menulis. Hal ini bisa dipahami dari karya tulisnya dalam beragam tema. Bayangkan saja, dalam pengasingan di Tanah Tinggi, Kiai Sanusi mengisi hari-harinya dengan menulis tentang ilmu-ilmu kegamaan seperti tafsir, fikih, dan tauhid. Bahkan beliau membuat majalah Al-Bidayah al-Islamiyah yang terbit sebulan sekali. Konon beliau menulis ratusan buku dengan fokus pembahasan yang beragam. 

Sekadar menyebut sebagian judul buku karya beliau yaitu, pertama, Bidang tafsir: Kanzur ar-Rahmah wa Luth fi Tafsir Surah al-Kahfi, Tajrij Qulub al-Mu’minin fi Tafsir Surah Yasin, Kasyf as-Sa’adah fi Tafsir Surah Waqi’ah, Hidayah Qulub as Shibyan fi Fadla'il Surah Tabarak al-Mulk min al-Qur’an, Kasyf adz-Dzunnun fi Tafsir Layamassuhu ilaa al-Muthahharun, Tafsir Surah al-Falaq, Tafsir Surah an-Nas, Raudhlatul Irfan fi Ma’rifat Al-Qur’an, Maljau at-Thalibin, Tamsyiyatul Muslimin fi Tafsir Kalam Rabb al-‘Alamin, dan Ushul al-Islam fi Tafsir Kalam al-Muluk al-Alam fi Tafsir Surah al-Fatihah. 

Kedua, Bidang fikih: Tahdzir al-‘Awam fi Mufiariyat Cahaya Islam, Al-Mufhamat fi Daf’I al-Khayalat, At-Tanbih al-Mahir fi al-Mukhalith, Tarjamah Fiqh al-Akbar as-Syafi’i, Al-Jauhar al-Mardliyah fi Mukhtar al-Furu as-Syafi’iyah, Nurul Yaqin fi Mahwi Madzhab al-Li’ayn wa al-Mutanabbi’in wa al-Mubtadi’in, dan Tasyfif al-Auham fi ar-Radd’an at-Thaqham. Ketiga, Bidang tasawuf: Mathla’ul al-Anwar fi Fadhilah al-Istighfar, Al-Tamsyiyah al-Islam fi Manaqib al-Aimmah, Fakh al-Albab fi Manaqib Quthub al-Aqthab, Siraj al-Adzkiya fi Tarjamah al-Azkiya, Al-Audiyah as-Syafi’iyah fi Bayan Shalat al-Hajah wa al-Istikharah, Siraj al-Afkar Dalil as-Sairin, dan Jauhar al-Bahiyah fi Adab al-Mar’ah al-Mutazawwiyah. 

Keempat, Bidang kalam: Miftah al-Jannah fi Bayan ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, Tauhid al-Muslimin wa ‘Aqaid al-Mu’minin, Alu’lu an-Nadhid, Al-Mufid fi Bayan ‘ilm al-Tauhid, Siraj al-Wahaj fi al-Isra wa al-Mi’raj, Al-‘Uhud wa al-Hudud, Bahr al-Midad fi Tarjamah Ayyuha al-Walad, Haliyat al-‘Aql wa al-Fikr fi Bayan Muqtadiyat as-Syirk wa al-Fikr, Thariq as-Sa’adah fi al-Farq al-Islamiyah, Maj’ma al-Fawaid fi Qawaid al-‘Aqaid, dan Tanwir ad-Dzalam fi Farq al-Islam. 

Kiai Sanusi telah melakoni peran penting dan tugas sejarah yang sangat berharga bagi eksistensi dan keberlanjutan PUI juga negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Selain sebagai ulama pejuang, pendidik hebat, cendikiawan unggul, pemikir ulung dan penulis handal, Kiai Sanusi juga merupakan pemimpin umat dan negarawan sejati. Sehingga Kiai Sanusi pun dapat disebut juga sebagai sosok 'alim atau ulama yang negarawan. Dari sini, karena pemikiran, kontribusi dan jasa-jasanya, sangat wajar bila pendiri PUI asal Sukabumi-Jawa Barat ini pada 7 November 2022 secara resmi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo. (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Merawat Indonesia" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah