Desia Rohmah Aziza: Ayah, Aku Sudah Dewasa!
Kedua, pada Rabu 5 Juni 2024, pada saat saya membedah buku saya dan kawan-kawan alumni NH yang berjudul "Merindui Nurul Hakim". Pada forum yang dihadiri oleh sekira 100 santriwati kelas 10 dan 11 SMK Plus (Putri NH) ini dihadiri oleh Prof. Dr. Adi Fadli, MA (alumni NH, Wakil Rektor I UIN Mataram), Ustadz Firdaus Nuzula (Sekretaris Yayasan Nurul Hakim Lombok) dan beberapa Ustadzah pembina asrama. Kala itu, menurut pengakuannya, ia mendapat hadiah beberapa buku saya.
Hari ini, Kamis 12 Desember 2024, setelah Magrib, tiba-tiba ia menghubungi saya melalui pesan WhatsApp. Saya benar-benar kaget. Baru kali ini ada pembaca buku saya yang menghubungi saya dan berbagi cerita tentang ekspetasinya untuk menulis buku. "Assalamu'alaikum Pak, saya Desia. Salah satu santriwati SMK Plus Nurul Hakim," tulisnya. "Wa'alaikumussalam. Barakallahu fiik. Lagi liburan ya?," jawab saya singkat. "Maaf Pak sebelumnya saya sedang di perjalanan dan kebetulan di sini cuaca kurang baik," balasnya. "Anak saya di kelas khusus putri kelas 1," balas saya.
"Iya Pak, sedang libur. Masyaa Allah. Sudah pulang ke rumah?," tanyanya. "Kalau saya sekarang kelas 12. Sebelumnya Bapak ingat saya santriwati SMK yang Bapak beri 2 buku cuma-cuma saat Bapak sedang ke Nurul Hakim bersama anak Bapak," lanjutnya. "Dia libur di Mataram. Ke Jawa kalau Ramadhan aja nanti," jawab saya singkat sembari mengirim cover dan file beberapa buku saya. "Pasti betah," ucapnya. Selanjutnya ia pun menulis namanya. "Desia Rohmah Aziza," tulisannya, untuk memastikan namanya saya tulis dengan benar.
Sepertinya ia sangat obsesif untuk menulis buku karya perdananya. Isinya pun sangat berkesan, tentang sesuatu yang selama sekali terngiang dalam berbagai momentum. "Maaf Pak, sebelumnya begini. Alasan saya ingin menulis itu agak sedikit berbeda," ucapnya. "Boleh... Apa aja tuh?", tanya saya. "Saya berharap dengan buku saya bisa bertemu ayah saya Pak," jawabnya. "Allahu Akbar. Bapaknya ke mana? Meninggal kah?", tanya saya. Ia menjawabnya agak panjang, yang pada intinya ia ingin agar buku yang ia tulis nantinya menjadi bukti bahwa dirinya sangat mencinta kedua orangtuanya.
"Jadi agak rumit Pak. Saya bingung. Saya cuma bisa nulis dan berharap ini bisa menuntun saya," ungkapnya. "Sebagai anak tetap berupaya untuk mendoakan dan berprasangka terbaik. Teruslah menulis, hingga kelak karyanya jadi kado di surga. Aamiin!," ucap saya. "Aamiin Pak. Dan Bapak satu-satunya harapan saya untuk menerbitkan buku ini. Karena selama ini yang saya saksikan anak perempuan bersama ayahnya Pak. Jadi kalau saya tidak seperti itu setidaknya buku pertama saya dibaca orang cinta pertama saya Pak", ujarnya.
Saya pun menganjurkan agar ia menulis buku sesuai dengan pengalaman dan isi hatinya. Dengan menulis, apa yang ia alami dan perasaan hatinya terjaga dalam bentuk tulisan bahkan buku. "Surat Cinta untuk Ayah", atau "Ayah, Engkau Di Mana?", saran saya untuknya. Ia rupanya mengiyakan usulan saya, namun dengan menggunakan diksi yang berbeda. "Ayah, Aku Sudah Dewasa," ungkapnya sembari meyakinkan saya bahwa ia benar-benar ingin menulis buku berjudul itu. Ia ingin agar apa yang ia karyakan dibaca oleh mereka yang ia cinta: kedua orangtuanya.
Ia pun bertekad untuk segera menulis naskah buku yang ia usulkan itu. Baginya, selama liburan mesti diisi untuk berbagai kegiatan kebaikan, salah satunya menuntaskan penulisan naskah buku baru atau perdana. Ia ingin mengingatkan dirinya agar waktu liburan benar-benar diisi dengan berbagai kegiatan menarik dan produktif, termasuk menulis buku hingga benar-benar terbit. Sehingga bila kelak kembali ke Nurul Hakim, ia bukan saja membawa cerita tentang kehangatan keluarga, tapi juga naskah buku perdana tentang mereka yang ia cinta dan rindu: "Ayah, Aku Sudah Dewasa!" Semoga kelak naskahnya diterbitkan jadi buku! (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Merindui Nurul Hakim"
Komentar
Posting Komentar