Menghitung Ulang Cara Kita Bermedia
Dalam isu tertentu misalnya, umat Islam tepatnya sebagian kita umat Islam begitu pandai memberi komentar, tapi tidak mencicil gagasan sebagai jalan keluar. Kita enggan menghadirkan langkah konkret sebagai jalan keluar. Kita bangga sebagai umat yang berkerumun, bukan umat yang berbaris. Pada saat yang sama kita begitu hebat mencela beragam media. "Ini media berbahaya", "ini media anti Islam", dan sebagainya.
Kita memang suka ribut dan mencela kenyataan, tapi kita tidak pandai merumuskan langkah penuntasan masalah yang terjadi. Kita sibuk untuk membincang berbagai hal hingga sekian waktu kita berlalu begitu saja, tanpa satu pun solusi yang mampu kita rumuskan dan jalankan. Kalau hal semacam itu terjadi sekali atau dua kali, itu masih dianggap wajar. Tapi bila tidak, maka bisa jadi kita sudah kelewatan kurang ajar. Tapi karena hal serupa sering terjadi, lalu kita anggap sebagai sebuah hal yang wajar dan dianggap hebat.
Melawan kemungkaran ada banyak bentuknya. Itu sebuah agenda besar dan mulia. Tapi dalam bentuk apapun agendanya hanya akan menjadi agenda berserakan bila tidak dipandu menjadi kebijakan atau minimal menjadi agenda kolektif kita sebagai sebuah barisan umat. Ide apapun bila tidak dilembagakan pada umumnya bakal berlalu begitu saja. Bahkan selanjutnya kita semakin sibuk untuk urusan-urusan yang tak perlu, walaupun nampak wah, minimal oleh diri kita sendiri.
Dalam skala opini, umat Islam, sekali lagi tepatnya kita sebagai umat Islam, hanya pandai mencela konten media termasuk yang tersebar di media sosial. Tapi kita tidak memiliki daya "gereget" untuk menghadirkan konten bermutu, minimal sebagai alternatif yang layak ditonton dan dinikmati masyarakat. Padahal dalam teorinya sederhana saja: masyarakat bakal mengikuti konten yang jadi trend. Tapi di situlah letak "dosa besar" kita, yaitu enggan mengisi konten media dan malas menjadi narator berbagai ide produktif.
Padahal, bila saja kita semakin kreatif dalam memanfaatkan media, baik media massa maupun media online bahkan media sosial, maka berbagai konten tak bermutu, termasuk yang merusak sendi agama, bisa diredam secara pelan-pelan. Atau minimal masyarakat semakin paham kalau konten semacam itu merusak dan tak pantas diikuti, serta pelakunya tak pantas dijadikan teladan. Ingat, ini langkah yang paling minimalis. Selebihnya, kita mampu menghadirkan jalan keluar dan berkolaborasi dengan berbagai elemen untuk menyicil solusi secara konkret.
Kalau kita mau jujur dan berpikir reflektif, mestinya opini dilawan opini, berita dilawan berita dan narasi dilawan narasi. Itu namanya cerdas dan mencerdaskan. Bukan justru dikomentari panjang lebar, setelah itu sepi atau diam seribu bahasa. Pertanyaan sederhananya, adakah yang mau dan mampu menulis perihal masalah yang terjadi lalu mengungkap substansinya, sehingga menemukan jalan keluar dan mampu menjalankannya dengan baik?
Kenyataannya, kita terbiasa membincang sesuatu hanya sebagai obrolan, bukan sebagai upaya mencicil jalan keluar. Kita begitu jago menyebar potongan meme dan video tertentu untuk tujuan menyalahkan dan mencela, tapi gagal bahkan pelit menghadirkan konten media yang bermutu sebagai pilihan alternatif bagi masyarakat luas. Bila figur publik melakukan hal-hal yang tak pantas, maka kita mesti memproduksi konten media yang pantas atau layak. Sehingga, sekali lagi, masyarakat mendapatkan pilihan alternatif.
Kita memang perlu banyak berbenah, sehingga kita semakin tau dan paham apa yang layak kita lakukan kini dan selanjutnya. Berbenah bukan untuk banyak orang di luar sana, sebab yang terutama adalah untuk diri kita sendiri. Tentang cara kita menghadapi berbagai masalah yang melilit umat dan bangsa kita. Sehingga ujungnya kita bukan jadi komentator yang sangat jago, tetapi terutama menjadi teladan sekaligus penggerak kebenaran yang semakin waras juga layak ditiru! (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Merawat Indonesia". Sumber foto: kompas.id.
Komentar
Posting Komentar