Pendidikan Keluarga Sebagai Laboratorium Moderasi


PENDIDIKAN merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan sebuah bangsa dalam menentukan perjalanan sejarahnya, termasuk bangsa dan negara kita tercinta Indonesia. Bahkan pendidikan keluarga dapat menjadi laboratorium moderasi beragama dan berbangsa. Karena memang pendidikan sejatinya bukan sekadar di sekolah, tapi juga pendidikan di rumah yang kerap disebut dengan pendidikan keluarga.   

Lebih jelasnya, mari kita telisik dari berbagai aspek sebagai berikut. Pertama, aspek peraturan perundang-undangan. Pembukaan konstitusi negara kita, UUD 1945, sangat tegas dan jelas disebutkan mengenai pentingnya tujuan bernegara yaitu untuk, mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian UUD 1945 Pasal 31 menjelaskan, (ayat 1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, (ayat 3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. 

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Undnag-undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi menegaskan lagi tentang tujuan pembentukan manusia beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Iman, takwa dan akhlak mulia itu ditegaskan dan dirinci lagi dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Standar Kompetensi Lulusan (Permendikbud No. 20 Tahun 2016). 

Dlam konteks memantapkan keluarga sebagai lembaga pendidikan, pada 2015 silam pemerintah telah melahirkan sebuah direktorat baru di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga. Secara yuridis, direktorat ini hadir berdasarkan Permendikbud Nomor 11 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sebagai tindak lanjut Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2015 yang mengatur struktur organisasi Kemendikbud. 

Intinya, peraturan perundang-undangan negara kita menjamin dan menggariskan bahwa betapa pentingnya pencerahan dan pencerdasan bangsa melalui pendidikan, tentu saja termasuk pendidikan keluarga yang dalam sekian waktu belum menjadi prioritas kita. Padahal nilai-nilai moderasi dapat diinternalisasi dari kehidupan atau pendidikan keluarga. 

Kedua, aspek Teoritis dan Psikologi. Secara teoritis, keluarga merupakan model terkecil sistem sosial masyarakat. Dalam keluargalah proses pendidikan utama dilakukan. Menurut Mohammad Fauzil Adhim (2008), jika pendidikan keluarga berjalan dengan baik, maka keluarga pun akan memberi efek positif bagi keberlangsungan keluarga bahkan memberi efek konstruktif kepada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 

Dari sisi psikologi, keluarga merupakan lembaga pendidikan yang memiliki kekhasan, keunikan, urgensi dan fungsi penting dalam perjalanan hidup seseorang, termasuk dalam mematangkan dirinya sebagai bagian dari manusia lain. Baik dalam keluarga, masyarakat bahkan negara. Bahkan untuk menanamkan nilai-nilai moderasi atau wasathiyah.  

Mengapa demikian? Pertama, keluarga merupakan lembaga pendidikan paling alamiah. Kedua, proses pendidikan keluarga tanpa didramatisasi atau didesain secara rumit sebagaimana terjadi pada lembaga pendidikan profesional. Ketiga, materi pendidikan keluarga meliputi seluruh bidang kehidupan, metodenya sebagaimana keadaan yang sesungguhnya, dan evaluasinya dilakukan secara langsung oleh anggota keluarga. Keempat, pendidikan keluarga tak mungkin terdapat komersialisasi jasa pendidikan. Sebab orangtua memberikan pendidikan dan fasilitas pendidikan tak mengharapkan imbalan materi, karena dilakukan atas dorongan kewajiban moral dan tanggungjawab sebagai orangtua.

Ketiga, aspek keagamaan Islam. Dalam pandangan Islam, pendidikan keluarga adalah kunci. Menurut pandangan Ahmad Tafsir (2017), pendidikan keluarga merupakan kunci dari semua proses pendidikan anak. Sebab di keluarga-lah sejatinya tempat yang paling awal bagi anak untuk memulai kehidupannya, yang kelak menjadi generasi baru bagi bangsa dan negaranya.

Dalam perspektif agama Islam, orang tua adalah pendidik utama dan pertama dalam hal pendidikan keluarga, terutama untuk menanamkan ketakwaan, keimanan dan akhlak yang baik bagi anaknya. Sementara sekolah, pesantren dan guru hanyalah penunjang proses pendidikan keluarga sebagai pendidikan utama dan pertama bagi anak. 

Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. at-Tahrim: 6). Imam Ibnu Katsir, dalam Kitab Tafsirnya, menyebutkan, bahwa Ali bin Abi Tholib dalam memaknai surat at-Tahrim (66): 6 dengan ungkapan "Didiklah mereka agar beradab dan ajari mereka ilmu." 

Jadi, dua kata kunci pendidikan keluarga adalah adab dan ilmu. Adab bukan sekadar soal sopan santun atau bagaimana sewajarnya. Tapi juga soal keyakinan, spiritualitas, moralitas, keadilan, kepatutan, kedisiplinan, kejujuran,  tanggungjawab dan sebagainya. Sekadar contoh soal keyakinan, kita bisa baca kisah Lukmanul Hakim dalam al-Quran Surat Lukman ayat 13, "Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar."  

Dalam Islam, orangtua dituntut untuk mendidik anak dan anggota keluarganya untuk menjawab soal-soal kehidupan. Sebab tantangan dan ujian yang dihadapi bukan sekadar soal pengetahuan teoritis (kognitif) dan soal psikomotorik (keterampilan), tapi juga soal afektif (perilaku sekaligus tingkah laku) atau adab. 

Di sini, nilai-nilai moderasi termasuk dalam bentuk tidak memaksakan kehendak bisa diinternalisasi dan diaplikasikan. Dengan moderasinya, kedua orangtua menghargai posisi dan psikologis anaknya dalam mendidik dan menjelaskan berbagai hal dalam keluarga. Orangtua tidak memaksakan kehendaknya hanya karena dirinya sebagai orangtua. Sebab mereka sangat paham bahwa anak terlahir dalam kondisi suci atau fitrah: hatinya baik dan cenderung menerima kebaikan. 

Dengan begitu, sikap moderasi sekaligus toleran mulai terinternalisasi sejak dini. Bukan saja pada anak, tapi juga menjadi tindakan ril orangtua kepada anak-anaknya. Ini bermakna, orangtua mestinya tidak terjangkit virus mentang-mentang. Mentang-mentang biaya adminitrasi pendidikan mahal dan sekolah di sekolah atau kampus yang mahal, lalu anak tak dididik lagi dengan nilai-nilai luhur di rumahnya. Padahal sikap moderat dan toleran anak dimulai dan diinternalisasi di keluarga, sebelum kelak diinternalisasi di sekolah. 

Sebab kelak yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah adalah orangtua. Bahkan dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa seorang Ayah tidak akan dimasukan ke dalam surga hanya karena sehelai rambut atau aurat anak perempuannya yang masih terlihat atau tak ditutup. Kalau soal aurat atau sehelai rambut saja menyebabkan terjungkal dari surga, lalu bagaimana aspek keyakinan, ibadah dan akhak anak-anak kita, atau bahkan sikap zolim dan kasar anak-anak kita pada orang lain?    

Di sinilah kita semakin meyakini bahwa memang pendidikan keluarga benar-benar penting. Bukan saja untuk kepentingan dunia tapi juga untuk kepentingan akhirat kita. Bukan saja untuk diri kita, tapi juga untuk anak atau keturunan kita. Bukan saja untuk memiliki pemahaman yang moderat, tapi juga untuk bersikap moderat pada siapapun dan kapanpun. Jadi, tak ada cara lain selain mari memperkokoh pendidikan keluarga sebagai laboratorium pembentukan karakter manusia Indonesia: yang kuat nilai-nilai spiritualistiknya, daya intelektual, dan orientasi tindakannya. Semua upaya ini dilakukan demi terlahirnya generasi unggul yang berdaya saing tinggi, termasuk generasi yang moderat, tentu dengan maknanya yang benar dan tepat. (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Moderasi dan Toleransi Beragama" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok