Elite Muslim Indonesia Malas Menulis
Dulu, Kiai Abdul Halim, Kiai Ahmad Sanusi, Pak Mohammad Natsir, Buya Hamka, Ustadz Ahmad Hasan, Kiai Wahid Hasyim, Pak Mohammad Hatta, dan para tokoh muslim lainnya itu memiliki aktivitas yang padat atau benar-benar sibuk. Tapi mereka tetap menyempatkan untuk membaca, bahkan menulis buku, atau minimal artikel dalam beragam tema. Padahal sarana yang tersedia kala itu sangat terbatas dan sederhana. Tapi mereka benar-benar punya konsen untuk menulis. Sehingga kita pun masih bisa membaca sebagian karya tulis mereka.
Kalau zaman sekarang susah sekali menemukan buku karya para elite muslim. Susah juga mencari artikel karya elite muslim. Jangan kan di surat kabar atau majalah, di media online pun jarang. Padahal ini era serba mudah. Teknologi informasi dan komunikasi bak jamur di musim hujan, tumbuh dan berkembang sangat pesat. Tapi elite muslim era sekarang hanya sedikit yang tertarik untuk menulis. Ya mungkin ada beberapa tokoh, tapi tak segeliat atau sehangat dulu.
Sehingga sangat wajar bila pembaca terutama anak-anak muda lebih suka membaca buku atau tulisan karya non muslim, yang bisa jadi lebih sesuai atau relevan dengan kebutuhan juga zaman mereka. Bahkan ke depan, bisa jadi rujukan anak-cucu para elite itu dalam memahami agama pun merupakan buku-buku atau tulisan para tokoh non muslim. Sebab era sekarang tak sedikit non muslim yang menulis buku tentang Islam, baik berisi kritik maupun yang lainnya. Bahkan ada juga yang mengapresiasi Islam dengan menulis buku.
Tapi elite muslim masih saja menganggap menulis itu tidak penting. Tak ada upaya untuk menghadirkan karya tulis. Tak ada program khusus yang membidangi lahirnya penulis muslim yang konsen sehingga benar-benar terrencana dengan baik. Sejarah organisasi dan serupanya kadang ditulis oleh orang lain, peneliti dari luar. Intinya, elite muslim seperti tidak ada ketertarikan untuk mengambil peran di aspek ini. Jangan kan menulis buku, menulis artikel yang sederhana dan pendek saja tak terlihat. Entah apa alasannya, walau yang dominan adalah sibuk alias tak ada waktu. Benar kah demikian? Saya tak tahu.
Dalam benak saya, kalau mereka tidak sempat menulis buku atau artikel untuk berbagai media massa atau media online, minimal mereka mengoreksi karya tulis generasi muda setelah mereka atau memberi masukan pada karya generasi baru. Tapi ini tidak. Menulis enggan, mengoreksi juga enggan. Sederhana saja, saya beberapa kali meminta beberapa orang di antara mereka mengoreksi naskah buku saya, rerata mereka tidak merespon bahkan pesan WhatsApp pun tidak dibalas. Padahal saya benar-benar ingin mendapatkan koreksi, kritik dan masukan dari mereka.
Selanjutnya, elite muslim era ini hanya pandai menyampaikan ide dan pemikirannya melalui lisan atau ucapan. Mungkin dari sisi komunikasi ini sangat bagus, tapi tak ada pewarisan. Sebab ide dan pemikiran tidak bisa dibaca oleh pembaca atau masyarakat luas. Bahkan elite muslim era ini lebih suka melakukan protes secara verbal tapi tidak berdampak apa-apa. Mungkin idenya ada, tapi tidak disampaikan secara apik. Menarasikan ide pun masih lemah sehingga susah dipahami oleh masyarakat luas. Ini benar-benar kondisi yang meresahkan dan merisaukan.
Ya, elite muslim era ini benar-benar malas menulis buku dan artikel, bahkan malas mengapresasi produk literasi. Kesibukan mereka benar-benar tak mampu membuat mereka menyisihkan waktu beberapa menit saja untuk menulis. Misalnya, 10 menit sehari. Itu waktu yang sangat singkat. Tapi bila konsisten dan terus dicoba, saya sangat yakin dan percaya mereka bakal bisa menghasilkan karya tulis yang bermutu dan layak dibaca. Bayangkan hanya 10 menit saja, insyaa Allah bakal menghasilkan tulisan yang bisa dinikmati pembaca. Tapi ya bagaimana lagi, elite muslim Indonesia era ini benar-benar malas menulis. Entah vaksin apa lagi yang perlu diproduksi untuk mematikan virus malas semacam ini! (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Moderasi dan Toleransi Beragama"
Komentar
Posting Komentar