Anis Matta dan Tradisi Literasi Kita
Seingat saya, kali ini saya mendapat hadiah kedua buku lagi karena saya menyampaikan pertanyaan pada saat buku ini dilaunching dan dibedah langsung oleh penulisnya beberapa waktu lalu. Kala itu saya bertanya perihal langkah konkret yang relevan untuk dilalui dalam menghadirkan generasi yang mampu mengendalikan masa depan. Dan ternyata penulis menjawabnya dengan luas dengan mengutip beberapa poin isi buku. Penulisnya adalah Pak Anis Matta. Beliau mantan Wakil Ketua DPR RI dan mantan Presiden PKS. Kini beliau menjadi Ketua Umum DPN Partai Gelora, sebuah partai politik yang baru didirikan beberapa waktu lalu.
Pada beberapa kesempatan sebagian teman-teman lama di berbagai organisasi bertanya perihal konsen saya dan perihal minat atau tidaknya saya di partai politik. Saya selalu menjawab bahwa biarlah mereka yang kuat saja yang aktif di partai politik. Saya tidak antipati politik, tulisan saya dalam bentuk buku dan artikel pun bertema sosial-politik juga kebijakan publik. Hanya saja saya tahu diri. Kalau politik sekadar pengetahuan asal-asalan, di perpustakaan buku saya ada ratusan buku bertema politik dan tuntas saya baca sejak lama. Kalau sekadar ikut-ikutan berpolitik praktis di partai politik, saya bisa saja. Hanya saja, saya lebih tahu kemampuan saya.
Saya sendiri mentahbiskan diri di dunia literasi, belum tertarik untuk masuk dalam struktur partai politik. Ada banyak yang mengajak, namun saya memilih untuk tetap pada konsen saya. Saya tidak cukup berkompeten untuk aktif dan bergulat di partai politik. Banyak senior dan teman-teman saya yang aktif di partai politik. Di hampir semua partai politik, baik yang ada di perlemen maupun yang baru berdiri. Bukan saja di PKS dan Gelora yang para politisinya rerata saya kenal, tapi juga di PAN, Gerindra, Golkar, Demokrat, Nasdem dan sebagainya. Dan hubungan saya dengan semuanya baik-baik saja, silaturahim juga tetap terjaga.
Bagi saya, konsen saya adalah literasi, yang dalam tindakan praktisnya berupa baca-tulis. Terlihat angkuh memang, cuma begitulah cara saya meningkatkan kualitas diri. Saya fokus berkarya di jalur kepenulisan, di samping menekuni dunia pendidikan dan usaha. Sehingga saya pun aktif membaca buku-buku, terutama buku-buku baru. Saya tidak memandang secara dangkal siapa penulisnya, saya hanya fokus pada karyanya, atau pada konten karyanya. Titik temu saya dengan banyak penulis terutama tokoh adalah pada aspek itu: ide dan narasi. Sangat sederhana, dan sesederhana itu.
Sebagai orang kampung saya mesti haus dan mereguk seluruh "minuman" semacam itu, kalau memang karya tulis bisa disebut sebagai "minuman", siapapun penulisnya dan apapun latar belakang penulisnya. Jadi, kalau organisasi, tokoh dan sebagainya ingin ide dan narasinya dibaca oleh banyak orang termasuk saya, silahkan para tokoh atau penggiatnya banyak menulis. Kalau menulis buku terlalu berat, silahkan menulis artikel untuk berbagai surat kabar dan majalah, atau untuk berbagai media online, juga media sosial. Saya siap membaca karyanya. Tapi kalau tidak mampu juga, maka lebih baik bangun tradisi literasi di lingkungan keluarga, termasuk banyak membaca karya tulis orang lain.
Saya sendiri sejak lama aktif membaca tulisan Pak Anis Matta. Seingat saya sejak saya masih di Pondok Pesantren Nurul Hakim di Kediri, Lombok Barat-NTB tahun 1996-2002. Kala itu saya membaca tulisan beliau di majalah Tarbawi, Saksi, Sabili, Ummi, Intilaq, Hidayatullah, dan masih banyak lagi. Berikutnya, pada saat kuliah di Bandung (tahun 2000-an), saya juga masih membaca tulisan beliau termasuk majalah-majalah tersebut. Di samping itu saya juga membaca Suara Muhammadiyah dan Risalah dimana beliau tidak menulis di situ.
Selain itu, belakangan saya juga membaca tulisan beliau di surat kabar dan media online, termasuk media sosial. Saya sangat percaya mereka yang aktif di PKS dan Gelora saat ini akrab dengan majalah-majalah tersebut. Kemudian, saya juga membaca beberapa buku karya sosok yang lihai berbahasa Arab ini. Diantaranya "Menuju Cahaya", "8 Mata Air Kecemerlangan", "Arsitek Peradaban", "Mengusung Peradaban yang Berkeimanan", "Keajaiban I’tikaf", "Membentuk Karakter Muslim", "Menuju Cahaya", "Berdoa itu Ada Seninya", "Biarkan Kuncupnya Mekar Jadi Bunga", "Serial Cinta", "Politik dan Dakwah", "Dari Gerakan Ke Negara", "Spiritualitas Kader", "Momentum Kebangkitan", "Gelombang Ketiga Indonesia", dan buku-buku lainnya, termasuk dua buku yang saya sebutkan pada bagian awal tulisan ini.
Saya ingin menegaskan satu hal bahwa di tengah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin geliat ini, Pak Anis Matta masih menghadirkan kesadaran betapa tradisi literasi yang berbasis pada teks tidak boleh luluh dan lusuh. Bahwa teknologi itu berdampak pada migrasinya pembaca dari buku ke media online, misalnya, itu fakta. Tapi bila tradisi baca-tulisnya hilang atau melemah, maka konten media online pun bakal asal-asalan. Saya sangat miris pada sebagian kalangan yang tergila-gila pada media online tapi mereka tak punya "syahwat" untuk menulis di media online. Menulis buku untuk penerbit malas, menulis artikel untuk surat kabar enggan. Tapi kekeuh ingin sekali idenya dibaca dan dipahami orang atau masyarakat luas. Kira-kira butuh vaksin apa lagi untuk menyudahi virus semacam ini?
Saya mengajak siapapun terutama para penggiat literasi untuk banyak belajar pada mereka yang berpengalaman. Pada mereka yang menekuni dunia kepenulisan selama puluhan tahun. Selain Dr. Adian Husaini dan Pak Nuim Hidayat seperti yang saya jelaskan pada tulisan yang berjudul "Belajar Menulis Kepada Dr. Adian Husaini dan Pak Nuim Hidayat", kita juga perlu belajar pada Pak Anis Matta. Sebab mereka sama-sama menekuni dunia kepenulisan berpuluh-puluh tahun. Di samping tokoh-tokoh lain seperti Prof. Haedar Nashir (Ketua Umum PP Muhammadiyah) yang aktif menulis di Suara Muhammadiyah, Kang Dr. Tiar Anwar Bachtiar (Pengurus Pusat Persatuan Islam atau Persis) yang aktif menulis di majalah Risalah, dan lain sebagainya.
Itu artinya, menulis itu butuh waktu yang panjang, terutama untuk mencapai karya tulis yang bermutu. Mereka tidak bisa dengan satu tulisan, atau merasa cukup dengan buku yang sudah dikaryakan. Mereka terus aktif menulis dalam beragam bentuk karyanya. Pembaca karya mereka pun banyak dan berasal dari beragam latar belakang. Itu artinya, pada saat mereka berhenti menulis bakal membuat pembaca "fanatik" itu menanti sembari bertanya: mana lagi tulisan barunya? Selebihnya, bila para tokoh itu sudah menulis dan berkarya, lalu kapan kita memulai, dan hendak menulis apa atau tentang apa? Atau, bila sudah memulai, masih kah kita bermalas-malasan untuk menulis alias menghasilkan karya hanya karena kesibukan yang sejatinya masih bisa disiasati? (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis buku "Moderasi dan Toleransi Beragama"
TOP
BalasHapus