Belajar Menulis Kepada Doktor Adian Husaini dan Pak Nuim Hidayat


SEPERTI biasa, untuk tulis menulis saya jarang menggunakan teori menulis. Saya menulis ya langsung menulis saja apa yang terlintas dalam pikiran saya. Mungkin ini terlalu angkuh, tapi begitulah cara saya belajar memantik ide untuk menulis. Hal ini saya lakukan sejak lama, agar apa yang terlintas tidak lewat begitu saja lalu hilang. Kecuali untuk beberapa tulisan terutama artikel untuk berbagai surat kabar dan media online saya biasanya menggunakan teori menulis. Misalnya, kutipan pendapat tokoh, sistematika dan diksinya disesuaikan dengan kaedah yang berlaku umum. 

Oleh karena itu, dalam banyak tulisan saya terbiasa menggunakan rumusan langsung menulis. Apa itu? Ya langsung menulis saja. Seperti tulisan ini. Begini, alhamdulillah kali ini saya mendapat kiriman buku langsung dari penulisnya Pak Nuim Hidayat di Kota Depok-Jawa Barat. Pertama,  "Imperialisme Barat" dan Kedua, "Sayyid Quthb; Biografi dan Kejernihan Pemikirannya". Buku pertama sebetulnya sudah saya baca sejak awal terbit pada 2005 silam. Begitu juga buku kedua, sudah saya baca sejak awal terbit pada 2009 silam. Tapi kini saya mendapatkan kembali bukunya, ya untuk menambah jumlah buku di perpustakaan rumah. 


Sepengetahuan saya, semoga tak keliru, Pak Nuim, demikian akrab saya menyapanya, merupakan salah satu penulis aktif untuk berbagai media terutama media online beberapa tahun terakhir. Khusus untuk buku, beliau suka menulis tema-tema pergerakan dan dinamika peradaban. Di samping itu, juga tentang keislaman dan rumah tangga atau parenting. Mungkin ada tema lain yang menjadi konsen beliau, namun seingat saya hanya itu. Untuk beberapa kesempatan juga menjadi narasumber atau pembicara berbagai kegiatan. 

Titik temu saya dengan Pak Nuim adalah pada tradisi literasi. Bukan saja membaca tapi juga menulis. Selain itu juga isu-isu kekinian yang menjadi konsen bersama, sehingga walau pun tak bersua secara fisik namun kami tetap memiliki koneksi yang cukup kuat. Makanya dalam beberapa tulisan beliau, saya selalu menjadi pembaca setia. Bukan sekadar untuk lebih memahami isu kekinian, tapi juga untuk belajar menulis sehingga semakin produktif menghasilkan karya. Apalah lagi akademisi sekaligus cendekiawan muslim Dr. Adian Husaini yang merupakan kakak kandung beliau sudah saya kenal sejak lama. Saya pun semakin tertarik untuk membaca karya-karyanya.  

Buku-buku Doktor Adian, demikian saya akrab menyapa beliau, juga sudah saya baca sejak lama. Misalnya, "Penyesatan Opini" (2002), "Tantangan Sekularisasi dan Liberaslisasi di Dunia Islam" (2004), "Wajah Peradaban Barat" (2005), "Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam" (2009), "Filsafat Ilmu; Perspektif Barat dan Islam" (2013), "10 Kuliah Agama Islam" (2016), "Pendidikan Islam; Kompilasi Pemikiran Pendidikan" (2018), dan masih banyak buku lainnya. Selain buku, Doktor Adian juga kerap menulis artikel untuk berbagai media online. Temanya beragam dan tentu saja menarik untuk dibaca. Saya termasuk yang mentahbiskan diri sebagai pembaca setia buku dan tulisan beliau lainnya. Di samping itu juga berupaya menghadiri berbagai forum dimana beliau menjadi narasumber, baik secara ofline maupun online. 

Bila ditelisik, ternyata "kakak-adik" ini merupakan dua sosok intelektual yang berpengalaman di dunia jurnalistik era 1990-an dan 2000-an. Mereka kerap menulis berita, di samping berbagai artikel untuk berbagai media massa kala itu. Sebut saja Republika. Majalah ISLAMIA juga selalu hadir dengan tulisan Doktor Adian dan koleganya di INSISTS seperti Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi dan sebagainya, dan beberapa media lainnya. Bila dulu sering dikirim untuk surat kabar, maka belakangan ini mereka sering menulis untuk berbagai media online. Uniknya, temanya beragam, tentu dengan bahasan kekinian dan diksi yang mudah dicerna pembaca. Pembacanya juga tergolong banyak dan berasal dari beragam latar belakang. 

Di samping itu, mereka juga aktivis tulen sehingga begitu aktif di berbagai organisasi. Termasuk mengajar di perguruan tinggi yang berbeda. Hal itu dilakoni sejak lama, seingat saya sejak tahun 2000-an. Kemudian, selain itu kini keduanya menggawangi Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Sebuah organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam yang dulu didirikan oleh tokoh sekaligus pahlawan nasional Pak Mohammad Natsir (Pak Natsir). Bila Doktor Adian mendapat amanah sebagai Ketua Umum DDII Pusat, maka Pak Nuim mendapat amanah sebagai Ketua DDII Kota Depok. 

Dari dua bersaudara ini, saya dan tentu juga pembaca di luar sana, bisa belajar menulis. Bahwa menulis sejatinya bisa dilakukan oleh siapapun. Asal memiliki niat dan tekad yang kuat, menjaga semangat dan telaten dalam menulis, maka insyaa Allah bisa menghasilkan tulisan yang layak dibaca. Mungkin untuk menulis buku butuh waktu yang cukup, maka sebagai proses belajar dan awal, mulailah dari hal-hal sederhana. Tulislah tentang apa yang terlintas dalam pikiran kita. Atau bila memungkinkan, menulis artikel bertema bebas. Lalu, kirim ke media massa dan media online yang sekarang sedang menjamur.

Setahu saya keduanya tidak terlahir dari orangtua atau leluhur yang berlatar penulis. Tapi mereka begitu giat belajar, selain secara otodidak juga belajar kepada para tokoh yang akrab dengan tulis menulis. Selain Pak Natsir, para tokoh DDII lainnya adalah penulis kawakan. Termasuk cendekiawan muslim Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin (Prof. Didin) juga menjadi salah satu sosok yang menginspirasi banyak kalangan, termasuk dua bersaudara ini. Apalah lagi era 1990-an dan 2000 adalah era mulai dibukanya ruang bagi media untuk tumbuh, pada saat itulah mereka semakin gandrung pada dunia kepenulisan, hingga saat ini. 

Satu hal yang penting dan menarik untuk diingat juga dipelajari secara mendalam oleh kita yang baru mulai belajar menulis bahwa ternyata kedua sosok yang hobi membaca ini tidak berprofesi sebagai penulis. Mereka sehari-hari fokus mendidik dan menekuni aktivitas keormasan, juga kegiatan sosial keagamaan lainnya. Tapi tidak diragukan lagi bahwa mereka sangat konsen untuk menulis dan menghasilkan karya tulis yang menarik dan dinanti pembaca. Bukan saja artikel untuk berbagai media massa dan media online, tapi juga berbagai buku. Bena-benar inspiratif dan perlu kita teladani. 

Saya mengajak Bung Iwan Wahyudi, Kang Aldy Istanzia Wiguna, Ustadz Ahmad Meilany, Teh Meniqqo Effendy, Bu Dosen Dr. Sisca As-Sidq, Bu Guru Ayu Rahayu, Pak Guru Paga Santosa, Pak Guru Baen Askari Latif, Bung Gus Fian, Pak Arif Husni, Pak Dosen Yasir M Fauzi, Kang Ishep Saepulloh, Mas Rifki Adjis, Ustadz Roni Haldi dan masih banyak penggiat literasi lainnya untuk banyak belajar pada keduanya. Mereka menekuni dunia kepenulisan sudah puluhan tahun. Itu artinya, menulis itu butuh waktu yang panjang, terutama untuk mencapai karya tulis yang bermutu. Selebihnya, bila keduanya sudah menulis dan berkarya, lalu kapan kita memulai, dan hendak menulis apa atau tentang apa? Atau, bila sudah memulai, masih kah kita bermalas-malasan untuk menulis alias menghasilkan karya hanya karena kesibukan yang sejatinya masih bisa disiasati? (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis buku "Moderasi dan Toleransi Beragama" dan "Persatuan Ummat Islam; Ide, Narasi dan Kontribusi untuk Umat dan Bangsa" 

* Untuk penyebutan nama saya sesuaikan dengan akun Facebook ya...


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok