Prinsip Moderasi Islam


ISLAM sesungguhnya memiliki prinsip-prinsip moderasi yang sangat mumpuni, antara lain keadilan, keseimbangan, dan toleransi. Menurut pandangan Dr. Yusuf al-Qardawi, umat Islam seharusnya mengambil jalan tengah (Moderasi). Pandangan yang seperti itu membuat umat Islam menjadi mudah dan menjalankan agamanya. Karena pada hakikatnya, Islam memang agama yang memudahkan umat dalam menjalankan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya. 

Diantara prinsip moderasi Islam adalah sebagai berikut: 

Pertama, Keadilan (Adalah) 

Kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti sama. Persamaaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat imaterial. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata adil diartikan: (1) tidak berat sebelah/tidak memihak, (2) berpihak kepada kebenaran, dan (3) sepatutnya/tidak sewenang-wenang. 

Persamaan yang merupakan makna asal kata adil itulah yang menjadikan pelakunya tidak berpihak, dan pada dasarnya pula seorang yang adil berpihak kepada yang benar karena baik yang benar ataupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu yang patut lagi tidak sewenang-wenang. Makna al-adl dalam beberapa tafsir, antan lain: Menurut At-Tabari, al-adl adalah: Sesungguhnya Allah memerintahkan tentang hal ini dan telah diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dengan adil, yaitu al-insaf.

Allah menerangkan bahwa Dia menyuruh hamba-hamba Nya berlaku adil, yaitu bersifat tengah-tengah dan seimbang dalam semua aspek kehidupan serta melaksanakan perintah al-Qur'an dan berbuat ihsan. Adil berarti mewujudkan kesamaan dan keseimbangan di antara hak dan kewajiban. Hak asasi tidak boleh dikurangi disebabkan adanya kewajiban. Islam mengedepankan keadilan bagi semua pihak. Banyak ayat al-Qur'an yang menunjukkan ajaran luhur ini. Tanpa mengusung keadilan, nilai-nilai agama berasa kering tiada makna, karena keadilan inilah ajaran agama yang langsung menyentuh hajat hidup orang banyak. Tanpanya, kemakmuran dan kesejahteraan hanya akan menjadi angan. 

Setidaknya ada tiga ragam kata adil dalam al-Qur’an. Ketiga kata qist, adl, dan mizan pada berbagai bentuknya digunakan oleh al-Qur’an dalam konteks perintah kepada manusia untuk berlaku adil. Ketika al-Qur’an menunjukkan Zat Allah yang memiliki sifat adil, kata yang digunakanNya hanya al-qist. Kata adl yang dalam berbagai bentuk terulang dua puluh delapan kali dalam al-Qur’an. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna keadilan. Sekurang-kurangnya ada empat makna keadilan yang ditemukan oleh para pakar agama. 

Pertama, adil dalam arti sama. Tetapi harus digarisbawahi bahwa persamaan yang dimaksud adalah persamaan dalam hak. Sebagaiman dalam Surah an-Nisa [4]: 58, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." 

Kata adil dalam ayat ini bila diartikan sama, hanya mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengembalian keputusan. Ayat ini menuntun sang hakim untuk menempatkan pihak-pihak yang bersengketa di dalam posisi yang sama. Misalnya, keceriaan wajah atau penyebutan nama (dengan atau tanpa tambahan penghormatan).

Kedua, adil dalam arti seimbang. Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan yang tertentu. Seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat seharusnya, maka pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan). Namun perlu dicatat bahwa keseimbangan tidak mengharuskan persamaan. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya.

Ketiga, adil adalah perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya. Pengertian inilah yang didefinisikan dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Lawannya adalah kezaliman, dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Dengan demikian menyirami tumbuhan adalah keadilan dan menyirami duri adalah lawannya, pengertian keadilan seperti ini, melahirkan keadilan sosial.

Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi. Adil di sini berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu. Keadilan Ilahi pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan-Nya mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya. Allah menciptakan dan mengelola alam raya ini dengan keadilan, dan menuntut agar keadilan mencakup semua aspek kehidupan, termasuk akidah, syariat atau hukum, akhlak, bahkan cinta dan benci.

Kedua, Keseimbangan (Tawazun) 

Tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari al-Qur'an dan al-Hadits). Menyerasikan sikap khidmat kepada Allah dan khidmat kepada sesama manusia. Firman Allah, "Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa." (QS. al-Hadid: 25)

Prinsip moderasi di sini diwujudkan dalam bentuk keseimbangan positif dalam semua segi baik segi keyakinan maupun praktik, baik materi ataupun maknawi, keseimbangan duniwai ataupun ukhrawi, dan sebagainya. Islam menyeimbangkan peranan wahyu Ilahi dengan akal manusia dan memberikan ruang sendiri-sendiri bagi wahyu dan akal. 

Dalam kehidupan pribadi, Islam mendorong terciptanya keseimbangan antara ruh dengan akal, antara akal dengan hati, antara hak dengan kewajiban, dan lain sebagainya. Keseimbangan atau tawazun menyiratkan sikap dan gerakan moderasi. Sikap tengah ini mempunyai komitmen kepada masalah keadilan, kemanusiaan dan persamaan dan bukan berarti tidak mempunyai pendapat. 

Keseimbangan merupakan suatu bentuk pandangan yang melakukan sesuatu secukupnya, tidak berlebihan dan juga tidak kurang, tidak ekstrim dan tidak liberal. Keseimbangan juga merupakan sikap seimbang dalam berkhidmat demi terciptanya keserasian hubungan antara sesama ummat manusia dan antara manusia dengan Allah.

Ketiga, Toleransi (Tasamuh)

Toleransi harus dideskripsikan secara tepat, sebab toleransi beragama yang diamal secara ngawur justru malah akan merusak agama itu sendiri. Islam sebagai ajaran yang total, tentu telah mengatur dengan sempurna batas-batas antara Muslim dan non Muslim, sebagaimana Islam mengatur batas antara laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya. Seorang yang mengerti bahwa agama bukanlah semata ajaran tetapi juga aturan itu (jika ia pemeluk agama tersebut), atau menghormati aturan itu (jika ia bukan pemeluk agama tersebut). 

Dalam kebahasaan, tentunya bahasa Arab bahwa tasamuh adalah yang paling umum digunakan dewasa ini untuk arti toleran. Tasamuh berakar dari kata samhan yang memiliki arti mudah, kemudahan atau memudahkan. Mujam Maqayis Al-Lughat menyebut bahwa kata tasamuh secara harfiah berasal dari kata samhan yang memiliki arti kemudahan dan memudahkan. Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memaknai kata toleran sebagai berikut: bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Jadi toleransi secara bahasa adalah sikap menghargai pendirian orang lain. 

Dan menghargai bukan berarti membenarkan apalagi mengikuti. Adapun toleransi dalam terminologi syariat, setidaknya itu pernah disabdakan nabi sebagai berikut: "Agama yang paling dicintai Allah adalah agama yang suci lagi mudah". Mudah di sini bukan berarti bebas. Sebab kita sadar bahwa agama adalah sebuah aturan. Itu, artinya, toleransi beragama menurut Islam adalah menghormati atau menolelir dengan tanpa melewati batas aturan agama itu sendiri. Toleransi bukan sikap tunduk melemah tanpa prinsip yang menaungi. Seorang Muslim haruslah kuat dalam imannya dan mulia dengan syariatnya. 

Dalam Islam, toleransi tidak dibenarkan jika diterapkan pada ranah teologis. Peribadatan harus dilakukan dengan tata ritual dan di tempat ibadah masing-masing. Agama adalah keyakinan, sehingga beribadah dengan cara agama lain akan merusak esensi keyakinan tersebut. Toleransi hanya bisa diterapkan pada ranah sosial, upaya-upaya membangun toleransi melalui aspek teologis, seperti doa dan ibadah bersama, adalah gagasan yang sudah muncul sejak era jahiliah dan sejak itu pula telah ditolak oleh al-Qur'an melalui surat al-Kafirun [109]: 1-6, Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, Aaku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."

Tegas, surat al-Kafirun ini menolak sinkretisme. Sebagai agama yang suci akidah dan syariah. Islam tidak akan mengotorinya dengan mencampur dengan akidah dan syariah lain. Dan ini bukan bentuk intoleransi, sebab ranah toleransi adalah menghargai bukan membenarkan dan mengikuti. Justru sinkretisme adalah bagian dari sikap intoleransi pemeluk agama pada agamanya sendiri. Sebab pelaku sinkretisme, seolah tidak lagi meyakini kebenaran agamanya sendiri. Sedangkan agama adalah keyakinan. 

Toleransi pun merupakan sebuah keniscayaan bagi masyarakat yang majemuk, baik dari segi agama, suku, maupun bahasa. Toleransi baik paham maupun sikap hidup, harus memberikan nilai positif untuk kehidupan masyarakat yang saling menghormati dan menghargai perbedaan dan keragaman tersebut. 

Sebagai zat yang memiliki hak prerogatif tertinggi di jagat raya ini, Allah, sesungguhnya sangat bisa dan sangat mudah memaksa hamba-hamba-Nya untuk beriman tanpa kecuali. Allah tidak menyatukan seluruh umat ini dalam satu model atau golongan karena masing golongan memiliki syiratan wa minhaja (aturan dan jalan yang terang) sendiri-sendiri. Mereka akan terus berlomba-lomba melakukan kebajikan dengan cara dan aturannya, hingga mereka kembali kepada-Nya. 

Allah, lalu akan memberitahukan hal-hal yang mereka perselisihkan di dunia. Tidak elok kiranya, jika perebedaan itu diributkan di dunia dengan saling mencaci, mengintimidasi atau bahkan membunuh, karena kelak Allah sendiri yang akan menerangkannya. Allah ingin merawat keberagaman sebagai kekayaan ciptaan-Nya. Dengan kondisi masyarakat dimana berbagai macam etnis, agama dan budaya hidup damai berdampingan dalam satu bangsa. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 256, "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". Ini berarti Islam memberikan kebebasan sepenuhnya dalam beragama. Allah kembali menegaskan sebagai berikut: "Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya". (QS. Yunus [10]: 99) 

Ayat-ayat tersebut secara tegas mengatakan bahwa seandainya Allah hendak menjadikan manusia seluruhnya Muslim, Allah pasti bisa, tapi Allah tidak berkehendak, sebab kalaupun semua manusia seluruhnya Muslim, mereka tetap berkelahi dan berbeda pendapat. Oleh karena itu menciptkan keberagaman untuk saling mengenal dan membangun kerja sama atas dasar kebaikan. Aturan agama yang diturunkan Allah sesuai dengan kondisi batin manusia dan itu dapat dirasakan jika manusia sendiri dapat melakukan tazkiyah terhadap jiwanya sendiri. Karena itu, Allah memerintahkan manusia untuk menghadapkan wajahnya kepada agama yang sesuai kondisi jiwa hanifnya, karena kondisi itulah manusia di-fitrah-kan (diciptakan).

Iman dan amal sholeh merupakan basis toleransi beragama. Sebagaimana firman Allah, "Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan saleh, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah. (Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah". (QS. an-Nisa [4]: 122-123)

Perdebatan siapa yang masuk surga, agama apa saja yang dijamin masuk surga, merupakan perdebatan yang senantiasa muncul ke permukaan. Bagi sebagian kalangan, komunitas agamanya yang akan hanya masuk surga. Sedangkan bagi kalangan lain, pihaknya yang hanya layak mendapatkan imbalan surga di hari kemudian. Perdebatan klaim tersebut di satu sisi dapat dimaklumi karena masing-masing agama mengajarkan tentang surga. (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Moderasi dan Toleransi Beragama" dan Wakil Sekretaris Umum DPW PUI Jawa Barat 

 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah