Literasi Menyatukan dan Menggerakkan


ENTAH mimpi apa, saya tetiba mendapatkan kiriman dua buku ini. Pertama, "Pesan Islam Menghadapi Krisis" karya Pak Anis Matta, Kedua, "Lekong Ke Labuan Bajo" karya Mba Ketut Efrata asal Bali. Latar penulisnya berbeda, gagasan dalam bukunya juga berbeda. Tapi mereka punya tradisi yang sama, seperti juga saya, yaitu literasi. Saya tidak melihat latar belakang politik, budaya, ras, suku, keyakinan dan segala macam dari penulisnya, sebab konsen saya satu: literasi. Membaca dan menulis adalah lakon literatif yang saya sukai sejak lama. 

Ya, jangan kan buku Pak Anis Matta yang berjudul "Pesan Islam Menghadapi Krisis" yang warna Islam-nya sangat terasa tersebut, buku karya non muslim pun saya baca dan berkomunikasi baik dengan penulisnya. Bagi saya, mereka telah melakukan proses pendidikan publik yang baik. Saya pun semakin cemburu, sebab dalam kondisi sibuk pun mereka tetap berkarya dan mau berbagi pada sesama. Saya sendiri baru bisa berkomentar dan menulis status di media sosial yang kadang sekadar basa-basi. Saya rajin menyatakan antipati pada nilai-nilai tertentu tapi masih malas menulis dan mengisi media sosial dengan tulisan yang bermutu sebagai alternatif. 

Bukan buku baru itu saja yang saya baca dari karya Pak Anis Matta, tapi juga buku-buku karya beliau yang lainnya, sejak tahun 2000-an hingga saat ini. Misalnya, buku "Haji", "Arsitek Peradaban", "Keajaiban Itikaf", "Dari Gerakan Ke Negara", "Gelombang Ketiga Indonesia", "Momentum Kebangkitan", Delapan Mata Air Kecemerlangan", "Menuju Cahaya", "Membentuk Karakter Muslim", "Mengusung Peradaban yang Berkeimanan", "Biarkan Kuncupnya Mekar Jadi Bunga", "Serial Cinta", dan sebagainya. Pembaca bisa berbeda pendapat dengan saya, tapi soal literasi saya salut pada sosok yang hobi membaca buku ini.  

Ya, sepekan lalu setelah mendapatkan buku "Pesan Islam Menghadapi Krisis", saya juga mendapat kiriman buku dari penulis asal Bali, Mba Ketut Efrata, yang menulis buku berjudul "Lejong Ke Labuan Bajo". Saya masih membaca buku inspiratif ini, karena kurang sehat jadi belum tuntas. Saya berusaha agar dalam sepekan ini bukunya selesai saya baca, sehingga bisa menulis semacam apresiasi atas konten bukunya. Labuan Bajo sendiri merupakan tempat saya berasal. Tepatnya ibukota kabupaten Manggarai Barat-NTT, yang kini mendunia. 

Saya benar-benar mengapresiasi penulis kren asal Bali ini. Dengan diksi yang muda dipahami ia membahas tentang Labuan Bajo dan sekitarnya. Hebatnya, ia adalah pendatang yang sengaja datang berkunjung lalu mengeksplorasi segala keunikan Labuan Bajo dengan lengkap. Entah apa yang  melatarbelakanginya untuk menulis secara giat dan tulus seperti ini. Saya pun menjadi malu, sebab saya yang asli Manggarai Barat pun baru bisa menulis dua buku tentang Manggarai Barat yaitu "Selamat Datang Di Manggarai Barat" dan "Selamat Datang Di Tanah Komodo". Itu pun masih merasa belum ngapa-ngapain untuk kampung halaman.  

Beberapa waktu sebelumnya saya mendapat pesan melalui akun media sosial saya dari beberapa orang, agar saya tidak membaca buku yang ditulis oleh si penulis anu dan anu. Dan ada lagi yang menyampaikan agar tidak mengeksplorasi hal-hal yang tak bermutu. Dan masih banyak lagi yang lainnya. Bagi saya, masukan semacam itu bagus-bagus saja. Namun terlalu naif. Sebab tidak dibarengi dengan karya alternatif. Kadang kita menyatakan ketidaksukaan pada seseorang namun kita tidak mengenal apa isi tulisannya. Padahal sebagai warga global dan intelektual, kita mestinya fokus mengkritik ide dan narasi dengan ide dan narasi, bukan dengan kebencian dan emosional. 

Makanya saya sering bertanya: memang Anda sudah menulis tentang apa dan menulis buku apa saja? Kalau cuma bisa berkata dan berkomentar tapi tidak punya karya, lebih baik Anda diam dan fokus mengurus diri Anda sendiri. Tapi kalau mau lebih serius dan solutif, lebih bagus lagi bila Anda menulis buku. Atau kalau menulis buku terlalu berat, silahkan menulis artikel di berbagai surat kabar dan majalah, atau minimal di blog pribadi Anda. Itu cara terbaik bila Anda hendak mengkritik atau menyampaikan pendapat secara intelektual dan lebih mendidik. Kalau Anda membenci seseorang gegara ia berbeda latar dengan Anda, itu urusan Anda. Tapi jangan mengaitkan masalah Anda dengan tradisi literasi yang saya tekuni. Saya tidak mau ikut-ikutan pada masalah Anda, fokus saya hanya satu: literasi! 

Begitulah buku atau produk literasi, ia melintasi kebudayaan dan latar sosial lainnya. Kemampuan membaca teks dan konteks, serta kemampuan mengeksplorasi secara mendalam sebuah latar atau objek tulisan adalah modal yang tak bisa ditawar lagi. Itulah yang saya peroleh dari buku yang ditulis oleh kedua penulis dengan buku yang berbeda judul di atas. Menulis pun bukan saja kemampuan menyusun kata-kata, tapi juga menyusun makna dan menyimpan pesan di dalamnya. Itulah literasi yang sesungguhnya. Membuat seluruh anak bangsa punya titik temu yang sama yaitu ide. Warna politik, budaya, ras, suku dan keyakinan itu urusan masing-masing. Tapi punya mimpi besar untuk membangun tradisi dan menghasilkan produk literasi. Benar-benar menyatukan dan menggerakkan. Selebihnya, lebih baik fokus melahirkan karya tulis daripada sekadar berkata-kata! (*)



* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Beginilah Cara Orang Go Blog Menulis Buku" 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah