Bahaya Pluralisme Agama


SECARA bahasa plural berarti ganda atau beragam. Secara etimologis, pluralisme agama berasal dari dua kata, yaitu pluralisme dan agama. Dalam bahasa Arab diterjemahkan al-taadudiyyah al-diniyyah dan dalam bahasa Inggris religious pluralism. Ketika disandingan dengan agama, maka pengertian pluralisme agama adalah koeksistensi (kondisi hidup bersama) antar-agama yang berbeda-beda dalam satu komunitas, dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama, seperti yang dijelaskan sebelumnya. 

Pluralitas Agama, kultur dan budaya adalah sunnatullah, tapi pluralisme agama adalah doktrin peradaban Barat post modern yang membangun persamaan dari perbedaan bahkan cenderung menghilangkannya. Sumber utamanya adalah filsafat relativisme Nietzche, tokoh filosof Barat postmo. Dari segi konteks dimana pluralisme agama sering digunakan dalam studi-studi dan wacana-wacana sosio-ilmiah pada era modern ini, istilah ini telah menemukan definisi dirinya yang sangat berbeda dengan yang dimiliki semula. 

John Hick, misalnya, menegaskan bahwa: Pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap Yang Real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan diri menuju pemusatan hakikat terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata kultural manusia tersebut dan terjadi, sejauh yang dapat diamati, disamai pada batas yang sama.

Dengan kata lain, Hick ingin menegaskan bahwa sejatinya semua agama adalah merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama sama dan tidak ada yang lebih baik dari yang lain. Sangat jelas, rumusan Hick ini berangkat dari pendekatan substantif yang mengekang agama dalam ruang (privat) yang sangat sempit, dan memandang agama lebih sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem sosial.

Dengan demikian, menurut Anis Malik Toha (Tren Pluralisme Agama: Tinjaun Kritis, 2005), telah terjadi proses pengebirian dan reduksi pengertian agama (baca: Islam) yang sangat dahsyat. Sesungguhnya, pemahaman agama yang reduksinistik inilah yang merupakan pangkal permasalahan sosio-teologis modern yang sangat akut dan kompleks yang tak mungkin diselesaikan dan ditemukan solusinya kecuali dengan mengembalikan agama (Islam) itu sendiri ke habitat aslinya, ke titik orbitnya yang sebenarnya, dan kepada pengertiannya yang benar dan komprehenshif, tidak reduksionistik.

Yang unik dalam fenomena baru ini adalah bahwa pemikiran persamaan agama (religious equality) ini, tidak saja dalam memandang eksistensi riil agama-agama (equality on existence), namun juga dalam memandang aspek esensi dan ajarannya (syariat), sehingga dengan demikian diharapkan akan tercipta suatu kehidupan bersama antar agama yang harmonis, penuh toleransi, saling menghargai (mutual respect) atau apa yang diimpikan oleh para pluralis sebagai Pluralisme Agama.

Namun, ali-alih paham Pluralisme Agama itu sendiri sebenarnya sangat tidak toleran, kerap otoriter, dan kejam terhadap perbedaan, karena menafikan kebenaran semua agama, meskipun dengan jargon menerima kebenaran semua agama. Sebagai agama, Pluralisme Agama memiliki ciri-ciri, watak-watak, karakteristik yang khas yang terdapat pada semua agama pada umumnya. Ia memiliki tuhannya sendiri, nabinya sendiri, ritusnya dan ritualnya sendiri dan sebagainya. Tuhan agama ini, sebagaimana dikatakan nabinya, John Hick, adalah The Real yang mengatasi semua tuhan yang diyakini agama-agama. 

Jadi pada dasarnya, agama baru ini juga tidak lepas dari klaim absolut, di saat mereka menentang kalim absolut agama-agama. Bahkan sebetulnya agama baru ini lebih eksklusif dari agama-agama yang ada, khususnya Islam. Sebab Islam secara ontologis mengakui dan menghargai klaim-klaim absolut yang dibuat agama-agama lain, serta memberikan hak untuk berbeda, juga membiarkan mereka untuk menjadi dirinya masing-masing (to let the others to be others), tanpa berusaha sedikitpun untuk mereduksi atau merelativisasi mereka. 

Namun sebaliknya, agama baru (Pluralisme Agama) ini memaksa agama-agama lain untuk meyakini atau mengimani keunggulan tuhannya, yaitu The Real tadi. Bahwa tuhan-tuhan semua agama itu hanyalah manifestasi The Real ini. Ditambah lagi, pada tataran praktis, legal dan formal, agama baru ini memaksakan syariat atau seperangkat hukumnya kepada semua agama. Maka, agama baru ini sebetulnya (tanpa disadari) inkonsisten dengan semboyan-semboyannya yang muluk dan memikat lagi mempesona, yang moderat-lah, toleran-lah, kesetaraan-lah, kebebasan-lah dan sebagainya. Semua itu semboyan kosong dari nilai luhur dan cenderung menipu. 

Dalam mengurai Pluralisme Agama, Anis Malik Thoha cukup apik dan unik. Anis secara gamblang menjelaskan mengenai dua madzhab pluralisme agama ini, yakni humanisme sekuler dan teologi global. Humanisme adalah paham kemanusiaan yang menjadikan manusia sebagai pusat dari segala paham. Disebut sekuler karena pada hakikatnya ia sudah keluar dari agama, dengan mengajukan paham tersendiri tentang kemanusiaan. Dari aspek kemanusiaan tersebutlah maka semua agama bisa dinilai sama. Bahkan ekstrimnya, semua paham keagamaan harus segera dihapuskan dan digantikan dengan satu paham saja, yakni kemanusiaan.

Sementara teologi global, di antaranya dikemukakan oleh W.C. Smith yang mengemukakan perlunya agama baru yang berlaku secara global. Seiring globalisasi yang melanda dunia secara keseluruhan, maka teologi pun harus mengalami globalisasi. Paham-paham keagamaan yang dinilai lokal, dengan sendirinya harus dilebur sehingga menjadi teologi global (Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama: Tinjaun Kritis, 2005). 

Jadi, menghadirkan sikap toleransi sepatutnya tidak perlu dilakukan dengan menggugat sifat-sifat ekslusif agama Islam seperti konsep Tuhan (tauhid), apalagi mengupayakan isme lain sebagai alternatif. Alih-alih alternatif, Pluralisme Agama sejatinya adalah agama baru yang mereduksi prinsip-prinsip dasar agama (terutama Islam). Khusus untuk umat Islam, mari menjaga keberagamaan di tengah umat dan bangsa yang beragam latar belakang dengan sikap moderat dan toleran, tapi tanpa dengan Pluralisme Agama dan tanpa ikut-ikutan dalam menjalankan praktik ibadah dan pesta keagamaan umat agama lain. Toh masih banyak ibadah ajaran agama kita sendiri yang pantas kita lakukan atau laksanakan. (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Moderasi dan Toleransi Beragama; Konsep dan Aplikasinya Dalam Islam"


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah