Optimisme Melahirkan Generasi Emas Indonesia


SAAT ini kita berada pada suasana merefleksi kemerdekaan negara kita Indonesia, sebab pada 17 Agustus 2022 nanti usia negara kita genap 77 tahun. Bila kita menelisik secara mendalam, ada tiga kata kunci yang relevan untuk kita perdalam kembali yaitu hijrah, pendidikan dan umat. Tentu bukan pada teksnya tapi pada substansinya. Berkaitan dengan itu, alhamdulillah saya bisa menghadiri acara Kajian Pagi pada Jumat 12 Agustus 2022 yang bertema "Hijrah dan Pendidikan Umat". Acara yang dimulai pukul 06.00 WIB dan berakhir pada pukul 07.30 WIB ini menghadirkan narasumber tunggal Dr. Adian Husaini (Ketua Umum DDII Pusat).

Saya termasuk yang hadir terlambat pada acara yang dihadiri oleh ratusan peserta dari berbagai kota di seluruh Indonesia ini. Namun demikian, saya mencatat beberapa poin penting yang disampaikan oleh penulis buku "Pendidikan Islam" (2018) dan "Wajah Peradaban Barat" (2005) ini. Tulisan ini berupaya untuk mengelaborasi sekaligus merespon apa yang disampaikan oleh Doktor Adian kali ini. Pertama, hijrah adalah puncak pendidikan. Dulu nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wassalam dan para sahabatnya berjuang bukan saja berhadapan-hadapan dengan mereka yang musyrik tapi mereka yang munafik, bahkan keluarga terdekat. Namun demikian, pendidikan Allah yang berbasis pada Wahyu membuat semuanya sukses menjalankan hijrah secara substantif: mengeluarkan manusia dari jahiliah menuju iman.  

Kedua, kunci pendidikan adalah keteladanan guru atau pendidik. Karena itu, pendidik bukan sekadar mentransfer ilmu, tapi juga hikmah dan keteladanan. Standar guru ideal mestinya yang benar-benar yang punya niat baik, sungguh-sungguh, punya jiwa pengorbanan, dan mampu diteladani oleh peserta didiknya. Di sini, bukan saja menjadi peranan guru di lembaga pendidikan tapi juga para orangtua di rumah. Sehingga orang tua tidak saja menyerahkan anaknya ke lembaga pendidikan, tapi juga mesti memahami pendidikan dan materi pendidikan anak-anaknya. Dampaknya nanti pada anak-anaknya yang tidak saja mengejar ijazah tapi mau sekaligus mampu menjadi generasi pejuang. 

Ketiga, pesantren sebagai pusat pendidikan. Kita mesti akui bahwa lembaga pendidikan yang paling berperan dalam membentuk generasi pejuang adalah pondok pesantren. Ulama-ulama negeri ini adalah pendiri sekaligus hasil didikan pondok pesantren. Mereka bukan saja ulama tapi juga menjadi pejuang. Guru mereka tentu ulama pejuang, yang sudah ditempa imam, pemikiran, mental dan akhlaknya. Bahkan tak sedikit diantara mereka yang juga pedagang, petani dan sebagainya. Tugas keulamaan dan lakon perjuangan mereka tak membatasi mereka untuk tetap mencari nafkah sebagai penopang dakwah juga upaya mereka dalam membangun dan memajukan pendidikan. 

Keempat, fokus pada ilmu-ilmu primer. Mencari ilmu itu wajib, tapi mesti ada yang diprioritaskan. Misalnya, ilmu pokok-pokok agama, sebab ini dasar beragama. Hal lain, termasuk ilmu-ilmu yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Ilmu sejarah, misalnya, merupakan salah satu ilmu yang perlu mendapat perhatian lebih. Sebab dari situ kita bisa memahami nilai-nilai perjuangan dan keteladanan generasi terbaik pada zamannya. Kita mesti mampu menyadarkan generasi kita bahwa sejarah adalah kunci penentu, sehingga generasi kita nanti paham dan mampu belajar sekaligus mengambil hikmah dari para pendahulunya.  

2045 merupakan tahun dimana usia Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 tepat 100 tahun. Sebagian kalangan menyebutnya sebagai tahun emas Indonesia. Sebagai umat Islam sekaligus sebagai warga negara, tanggungjawab kita adalah melahirkan generasi emas yang mampu berperan mengisi berbagai ruang kehidupan masyarakat. Sekarang kita sudah berada di tahun 2022. Kita punya waktu sekitar 23 tahun menuju 100 tahun Indonesia. Kita mesti menyusun peta jalan menuju ke arah itu. Bukan saja konsep pendidikan yang mampu melahirkan generasi unggul, tapi juga generasi yang berwatak pemimpin di semua sektor. 

Dalam konteks itu, menurut penulis buku "Beginilah Pendidikan Nasional yang Ideal" (2022) ini, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dan layak diinternalisasikan secara terus menerus kepada anak-anak kita dalam menekuni pendidikan atau mencari ilmu yaitu cerdas dalam berilmu, sungguh-sungguh dalam mencari ilmu, sabar dengan berbagai ujian, sediakan biaya yang cukup, berguru pada yang ahli dan taat beragama, dan sediakan waktu yang panjang. Dengan demikian mereka benar-benar menjadi pencari ilmu yang tangguh dan tidak mudah menyerah di tengah jalan. Sebab mereka bukan saja generasi yang diorbitkan untuk keluarga mereka, tapi menjadi generasi baru atau generasi emas Indonesia. 

Ya, 100 tahun Indonesia adalah momentum bagi kita untuk berkontribusi lebih besar dari apa yang sudah dikontribusikan selama ini. Kebangkitan Indonesia merupakan tanggungjawab umat Islam sebagai mayoritas. Kuncinya adalah kita mesti menyiapkan generasi terbaik yang pantas memimpin di setiap lini. Pendidikan tak boleh dianggap remeh dan tidak bisa dilakoni dengan cara instan. Semua elemen mesti berkontribusi dan sungguh-sungguh dalam menjalankan peranannya. Kalau kita melakukan itu maka kita sangat sekaligus layak optimis bahwa bangsa ini bukan saja mampu melahirkan generasi emas tapi juga membawa Indonesia sebagai bangsa dan negara yang emas. (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Melahirkan Generasi Unggul" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah