Prostitusi Online dan Urgensi Pendidikan Adab


KORAN Radar Cirebon edisi Rabu (3/8/2022) pada halaman utama menurunkan liputan khusus seputar fenomena menjamurnya prostitusi online dengan judul berita "Menjamur, Bisnis Syahwat Online". Menurut Radar, usia mereka yang terlibat rerata masih belasan tahun atau usia pelajar, di samping beberapa diantaranya gagal dalam berumah tangga. Kita tentu dikagetkan dengan berita semacam ini. Bukan pada beritanya, tapi substansi beritanya. Mereka terjebak pada bisnis haram ini dengan menggunakan berbagai media online dan media sosial. Naifnya, mereka melakukan ini seperti tak ada perasaan bersalah, seakan-akan tidak mau tahu apa dampak buruk yang mereka peroleh kelak. Misalnya, terjangkit HIV AIDS, hamil di luar nikah, dibuang oleh keluarga, diusir masyarakat, dan ini yang berbahaya lagi, yaitu mendapat bencana atau musibah yang mematikan dari Allah.  

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memang bagai pisau bermata dua, satu sisi bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang bermanfaat dan menguntungkan namun pada sisi yang lain bisa digunakan untuk hal-hal yang merusak dan melanggar hukum. Perkembangan bisnis online di kalangan muda Indonesia, misalnya, dari waktu ke waktu tergolong mengalami kemajuan dan percepatan. Satu hal yang menarik adalah ketika masa pandemi Covid-19, justru bisnis online yang dijalankan oleh kalangan muda semakin tak terbendung. Bahkan menurut Pakar Ekonomi Universitas Gadja Mada  (UGM) Prof. Sri Adiningsih (2022), penggunaan platform digital untuk bisnis, termasuk di kalangan muda, mencapai 59% sejak Oktober 2020 lalu.  

Mengenai hal ini, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali dalam bukunya "The Great Shifting; Series on Disruption" (2018) mengafirmasinya dengan mengungkapkan bahwa kehadiran internet menghadirkan fenomena baru yang mampu memberikan kualitas yang sangat powerful. Seiring dengan perkembangan internet of things, proses digitalisasi di berbagai sektor semakin masif. Apalagi praktis hampir semua orang tersambung dan manusia mulai berani menyerahkan seluruh catatan dan rekaman aktivitasnya ke dalam dunia maya. 

Bahkan pada perkembangannya, kini semua orang tanpa malu-malu mengungkapkan perasaannya dalam beragam bentuk media, baik eskpresi, kata-kata, foto, ilustrasi, video, pernyataan keinginan, cita-cita, pengalaman hidup, dan sebagainya. Hal ini ditunjang oleh munculnya berbagai aplikasi yang mudah didapat dan digunakan oleh semua orang, termasuk oleh anak-anak usia sekolah dan remaja. Bila saja berbagai perkembangan teknologi termasuk keberadaan aplikasi dimanfaatkan untuk hal-hal yang bermanfaat dan produktif maka akan hal tersebut akan berdampak pada kemajuan ekonomi masyarakat. Namun bila melenceng termasuk digunakan untuk bisnis syahwat online atau prostitusi online maka yang muncul adalah dampak buruk. Termasuk bila dikaitkan dengan hukum dan moral, maka akan menimbulkan pelanggaran hukum dan moral yang sangat membahayakan masa depan generasi bangsa dan negara kita.  

Berkaitan dengan fenomena ini, pakar pendidikan Islam asal Malaysia Syed Muhammad Naquib al-Attas (al-Attas) pernah mengingatkan bahwa masalah utama yang dihadapi umat manusia sekarang ini adalah "Loss of Adab" (hilang adab). Adab, ungkap al-Attas adalah kemauan dan kemampuan seseorang untuk meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuai harkat dan martabat yang ditentukan Allah (Al-Attas, dalam "Risalah untuk Kaum Muslimin", 2001). Hilang adab bermula dari kekeliruan berilmu. Kekeliruan berilmu meniscayakan kehilangan adab. Menurut al-Attas, contoh kekeliruan berilmu antara lain menganggap prestasi akademik lebih penting dari pada adab, padahal dalam tradisi Islam, adab adalah prioritas pertama dan utama sebelum ilmu, walaupun adab itu sendiri adalah ilmu. Beradab bukan saja pada diri dan lingkungan, tapi juga pada Allah, utusan-Nya, agama-Nya, ilmu, media, dan sebagainya. 

Dalam banyak haditsnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menggariskan bahwa adab adalah kunci utama pendidikan. Bahkan adab adalah suatu hal penting, lebih penting dari ilmu itu sendiri. Tanpa adab yang baik, maka ilmu dan amal tak bermakna apa-apa. Dalam sebuah haditsnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka". (HR. Ibnu Majah). Imam Ibnu Katsir, dalam Kitab Tafsirnya, menyebutkan, bahwa Ali bin Abi Tholib dalam memaknai firman Allah, "Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka". (Quran surat at-Tahrim (66): 6), dengan "Didiklah mereka agar beradab dan ajari mereka ilmu". Bila berilmu tanpa adab saja tak ada guna atau sia-sia, lalu bagaimana jadinya bila pengetahuan bermedia justru digunakan untuk bermaksiat atau berprostitusi online? 

Ya, adab menjadi sangat penting, sebab berilmu saja tidak cukup. Pada realitasnya, tak sedikit orang yang berpendidikan dan berilmu tinggi dengan gelar mentereng, tapi jiwanya kering kerontang dan adabnya jauh dari adab Islam dan tak punya mental yang kuat menghadapi berbagai ujian kehidupan. Mereka pun terkapar dalam kubangan perilaku biadab yang meresahkan. Paham dan jago bermedia online saja tak cukup, sebab mesti diimbangi dengan kemampuan untuk menggunakannya dalam ketaatan pada hukum, terbingkai moral dan kepantasan publik. Menggunakan media online untuk tujuan prostitusi tentu satu bentuk pelanggaran hukum, amoral dan tak pantas di mata masyarakat. Atau dalam ungkapan lain, ini merupakan satu bentuk tindakan sekaligus fenomena biadab, sebab mereka merendahkan dirinya sendiri.  

Sebagai jalan keluar dari berbagai fenomena biadab semacam itu, maka pendidikan adab yang menyentuh berbagai potensi dan dimensi anak, dengan pemaknaan seperti yang diungkap oleh Al-Attas di atas, layak dikaji secara serius hingga dapat diterapkan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan bangsa kita. Pada buku terbaru saya yang berjudul "Generasi Alpha" (2022), saya menegaskan,  ekosistem pendidikan baik guru di sekolah dan orangtua di rumah maupun masyarakat mesti berkolaborasi dalam penguatan pendidikan akhlak (adab) pada lingkungannya masing-masing. Di samping itu, pemerintah, penegak hukum, perguruan tinggi, ormas keagamaan, dan media massa juga perlu duduk bersama untuk menemukan solusi edukatif yang berdampak baik secara jangka panjang. 

Ya, kita mesti akui bahwa diantara krisis yang menimpa kalangan anak-anak dan remaja kita akhir-akhir ini adalah merosotnya akhlak mulia sebagai pijakan, sehingga sangat mungkin berdampak buruk pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang lebih luas. Pada kondisi dan fenomena demikian,  ekosistem pendidikan seperti sekolah, keluarga dan institusi yang dikelola oleh masyarakat secara luas mesti menyadari secara sungguh-sungguh untuk memperkuat kembali pendidikan akhlak mulia sebagaimana yang diisyaratkan dalam UU Sisdiknas. Rilnya, bisa dielaborasi secara kreatif oleh masing-masing ekositem pendidikan sebagaimana amanah UUD 1945 dan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) agar mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu membentuk manusia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia. (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Melahirkan Generasi Unggul". Dimuat pada halaman 4 Koran Radar Cirebon edisi Kamis 4 Agustus 2022.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok