Jangan Minder Jadi Warga Negara dan Umat Islam Indonesia!


PADA 17 Agustus 2022 lalu negara kita Indonesia genap berusia 77 tahun. Sebagaimana yang sudah menjadi maklum secara umum, bahwa negara ini diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 silam. 77 tahun tentu usia yang sangat matang bagi sebuah negara baru dalam menata dirinya dan berkompetisi dengan berbagai negara di dunia dalam dinamika global. Hal itu tentu sebuah alarm bagi kita bahwa merdeka tak hanya mengenang berdirinya sebuah negara setelah dijajah begitu lama, tapi juga perlu ada upaya untuk menyadari bahwa kemerdekaan adalah hasil dari usaha dan perjuangan para pendahulu dengan segala pengorbanan yang mereka tunaikan. 

Secara sederhana, kemerdekaan adalah kesediaan untuk mengisi kehidupan di negara baru Indonesia dengan melakukan berbagai peran sosial yang bermanfaat bagi umat dan bangsa serta kemanusiaan. Hal ini seperti yang digariskan oleh pembukaan konstitusi negara kita UUD 1945. Ya, setiap manusia pasti memiliki tujuan dalam hidupnya, begitu pun dengan sebuah negara seperti Indonesia. Secara umum, tujuan negara Indonesia adalah pedoman arahan segala kegiatan negara, mulai dari menyusun dan mengendalikan alat perlengkapan negara, hingga kehidupan rakyatnya.

Tujuan negara Indonesia tercantum dalam alinea ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang berbunyi, "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, ..."

Ada dua pertanyaan mendasar yang perlu mendapatkan perhatian sekaligus jawaban kita yang berkaitan dengan perjuangan dan kemerdekaan Indonesia. Pertama, apa saja yang menyebabkan para ulama dan santri, termasuk ormas Islam yang berdiri sebelum kemerdekaan tertarik dan berperan aktif dalam usaha perjuangkan kemerdekaan Indonesia, padahal kala itu kondisinya sangat terbatas dari berbagai aspeknya? Kedua, apa saja penyebab sebagian kecil elemen bangsa Indonesia masa pra kemerdekaan justru terjebak pada kepentingan penjajah bahkan turut memata-matai perjuangan para ulama atau pejuang kemerdekaan Indonesia? 

Dua pertanyaan ini dijawab secara gamblang dan lugas oleh Dr. Tiar Anwar Bachtiar, ulama sekaligus cendekiawan muda Persatuan Islam (Persis) pada acara Ngaji Sore (Ngaso) spesial kemerdekaan yang diadakan oleh Laznas Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) pada Sabtu 20 Agustus 2022, sore. Saya sangat bersyukur karena mendapat kesempatan untuk memperoleh berbagai perspektif pada acara  yang bertema "Jejak Islam di Masa Kemerdekaan" yang diadakan melalui Zoom Meeting dan dihadiri oleh ratusan peserta dari berbagai kota di seluruh Indonesia ini. 

Diantara poin penting yang saya ingat dari ulasan narasumber sekaligus menjawab pertanyaan di atas pada pertemuan kali ini adalah sebagai berikut: pertama, para ulama merupakan pemimpin autentik yang membimbing dan memberi teladan pada umat Islam juga bangsa ini untuk berjuang menggapai kemerdekaan. Sehingga Indonesia menggapai kemerdekaan dari penjajah berbagai bangsa dan negara asing. "Ulama adalah pemimpin autentik. Modal sekaligus senjata mereka adalah iman dan ilmu", ungkap pakar sejarah lulusan Universitas Padjajaran dan Magister sekaligus Doktoral Universitas Indonesia ini.  

Kedua, dakwah, pendidikan dan jihad merupakan jalan sekaligus langkah yang dipilih umat Islam yang dipimpin oleh para ulama dalam melawan penjajah dan meraih kemerdekaan hingga negeri ini diproklamirkan. Dengan demikian, peranan mereka lebih terasa dan memberi dampak ril bagi kepentingan seluruh elemen bangsa, bukan saja umat Islam tapi juga umat lainnya. "Para ulama-lah yang berjasa besar mendidik umat dan bangsa ini sejak lama melalui berbagai lembaga pendidikan seperti pesantren dan sebagainya. Jalan perjuangan yang mereka tempuh adalah dakwah, pendidikan dan jihad", lanjutnya. 

Ketiga, seperti umumnya pada banyak sejarah ada saja elemen manusia yang tidak menerima kebenaran bahkan menolaknya dengan sekuat sekaligus segala upaya. Perjuangan para nabi dan rasul saja mendapatkan penolakan dari kaumnya, apalah lagi perjuangan kemerdekaan, tentu ada saja yang tidak rela bahkan memilih pro atau mendukung upaya penjajah. "Manusia biasanya tergoda dengan penyakit wahn yaitu cinta dunia dan takut mati. Sehingga bila dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia ada yang pro penjajah, itu sudah merupakan tabiat manusia", lanjutnya. 

Ketiga, umat Islam adalah pemilik sah bangsa dan negara Indonesia. Untuk itu, umat Islam mesti berkontribusi nyata dalam mengisi kemerdekaan dan tidak perlu merasa minder atau menjadi warga negara kelas dua. Peranan para ulama atau generasi pendahulu mesti terus dilanjutkan agar nilai-nilai dan substansi perjuangan mereka terus terwariskan, sehingga bangsa dan negara ini tidak kembali terjajah. "Kita sebagai umat Islam merupakan warga negara sekaligus pemilik sah bangsa dan negara ini. Kita tidak boleh minder di negeri kita sendiri. Kita punya kewajiban untuk menjaga dan memajukannya," tegasnya. 

Ya, kita masih dalam suasana merefleksikan kemerdekaan bangsa dan negara kita dari penjajahan bangsa dan negara asing selama sekian lama silam. Kini kita berada di tahun 2022, genap 77 tahun usia bangsa dan negara kita Indonesia bila dihitung sejak proklamasi kemerdekaan sebagai bentuk keberhasilan usaha dan perjuangan para pendahulu. Sebagai warga negara kita tentu punya kewajiban untuk menjaga bangsa dan negara kita agar terhindar dari berbagai rongrongan atau jajahan. Pada saat yang sama sebagai umat Islam yang mayoritas, kita pun punya kewajiban untuk menjalankan berbagai peran sehingga tujuan bernegara seperti yang diungkap sebelumnya terwujud. Singkatnya, jangan minder jadi warga negara dan umat Islam Indonesia! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Merawat Indonesia" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah