MHU dan Dimensi Sosial Umrah


UMRAH adalah ibadah spiritual yang sakral namun punya dimensi dan makna sosial. Menuju ke tanah suci bukan sekadar berangkat ke tanah suci, tapi juga perlu diadaptasi pesan dan nilainya pada kehidupan sosial saat kembali ke daerah bahkan kampung halaman sendiri. Sehingga ibadah yang selama ini akrab dengan senyawa spiritualitas perlu ditingkatkan jenjangnya dalam dimensi sosial.

Itulah yang sedang dilakukan oleh Owner PT. Manasik Haji Umrah (MHU) dan Tim beberapa waktu lalu saat silaturahim ke politisi Partai NasDem sekaligus Ketua DPRD Manggarai Barat, Pak Martinus Mitar. Sebuah potret paling sederhana bahwa sebuah ibadah sakral mesti terkonfirmasi dalam kehidupan sosial. Tanpa itu, sakralitas dan spiritualitas kehilangan relevansi dan konteksnya. Perbedaan keyakinan tak boleh membatasi hubungan baik secara kemanusiaan dengan siapapun.

Lebih jauh, bahwa ibadah yang sakral itu perlu berdampak pada sikap sosial. Itu pesan penting dan makna utamanya. Kesucian tanah suci mesti terlihat pada sikap sosial yang juga suci antar kita. Dalam pengertian ketulusan untuk menjaga hubungan baik dengan siapapun dan saling menghormati latar dan posisi masing-masing. Itulah lakon MHU, terutama saya beberapa waktu lalu di Labuan Bajo dan sekitarnya, bahkan saat di NTB beberapa waktu lalu. Sebuah aksi sosial yang patut kita tiru dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ini ke depan.

Di sini dibutuhkan kesadaran spiritual yang mendalam, sehingga tak ada peluang bagi kenaifan tingkah dan tujuan. Tak ada peluang bagi hadirnya prasangka buruk dan caci maki bagi siapapun yang berbeda dengan kita. Di samping itu, perlu ada komitmen dalam diri bahwa dampak ibadah mesti menyeruak dan luas bagi siapapun. Sederhananya, bagi mereka yang rajin beribadah ke tanah suci mesti memiliki daya dan energi untuk merekatkan hubungan baik secara kemanusiaan. Ya, menjadi pembawa obor kebaikan bagi sesama anak cucu Adam.

Banyak hal yang diobrolkan dengan politisi Partai NasDem sekaligus Ketua DPRD Manggarai Barat 2019-2024 ini kala itu, terutama seputar pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan di tengah dinamika kebangsaan belakangan ini. Hal lain tentu saja seputar perlunya penguatan sektor ekonomi masyarakat. Sehingga perlu kolaborasi berbagai elemen dalam membentuk jiwa entrepreneurship masyarakat terutama generasi muda. Bahkan ia berharap agar MHU membangun dan memperkuat jaringan di Manggarai Barat sebagai upaya pemberdayaan ekonomi dan sosial.  

Bukan saja di Labuan Bajo dan sekitarnya, Owner dan Tim MHU pun silaturahim ke semua tokoh yang berkenan dan berkesempatan di NTB, baik Lombok dan Sumbawa maupun Dompu dan Bima. Latar sosial mereka beragam dan berprofesi beragam pula. Secara ormas dan politik mereka aktif di beragam latar juga. Bukan satu partai atau satu ormas saja. Dan MHU hadir sebagai kolaborator yang baik bagi semua elemen yang beragam itu. Betapa haru dan bangganya kita bila hadir dengan jiwa yang tenang dan hari yang lapang.

Dimensi inilah yang perlu mendapat perhatian semua elemen ke depan. Perbedaan latar belakang tidak menjadi biang untuk menghambat berlangsungnya hubungan baik, bahkan kerjasama atau kolaborasi dalam memastikan kemajuan daerah sekaligus proses percepatan pembangunan. Pola seperti ini memang agak berat dan riskan bagi yang kehilangan nurani atau perspektifnya terlalu dangkal. Pasti silaturahim semacam ini membuat mereka bertanya: ada apa, kok bisa dan lain-lain? Karena mereka hidup dalam ruh curiga, hati terlalu sumpek dan akrab menebar fitnah bahkan suka adu domba.

Sebagai hamba Tuhan, kita punya keharusan untuk melihat perbedaan sebagai fakta sosial, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Pada momentum Idhul Adha 1444 (2023) ini, sikap semacam itu lebih-lebih sudah menemukan relevansi dan konteksnya. Berqurban bukan saja menyembelih hewan, tapi juga menyembelih sikap angkuh, sombong dan prasangka buruk kepada sesama. Bila silaturahim saja dianggap buruk, maka itu pertanda kejernihan hati dan pikiran perlu diinstal ulang. Atau mereka sudah terpapar politik adu domba ala politisi busuk yang kerap merusak hubungan baik antar kita? Ah biarkan mereka jadi benalu alias sampah yang terbuang di tengah masyarakat. (*)


Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Merawat Indonesia"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok