Menyalakan Api Literasi Nurul Hakim


SAYA merupakan salah satu anak Indonesia yang mendapat kesempatan terbaik untuk menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Nurul Hakim (NH) di Kediri, Lombok Barat, NTB era 1996-2002 silam. Setelah menempuh pendidikan Sekolah Dasar atau SD di SD Katolik di Cereng, sebuah sekolah Katolik di kampung terpencil di Manggarai Barat, NTT, saya langsung diantar oleh Kakak Sepupu saya, Pak Abdul Sudin ke NH. Kala itu saya ditemani oleh dua sahabat saya yang kini sudah alumni NH dan berkarir di Manggarai Barat, yaitu Ustadz Mohammad Yasin dan Pak Nursalam. 

Salah satu hal penting yang masih saya ingat selama menempuh pendidikan di NH adalah tradisi literasi yang terjaga. Hal ini ditandai oleh beberapa hal, pertama, NH berlangganan surat kabar seperti koran Lombok Post dan koran lainnya kala itu. Seingat saya, Bapak TGH. Safwan Hakim (alm), Bapak TGH. Muharrar Mahfudz, Bapak TGH. Muzakar Idris dan Para Tuan Guru sekaligus Ustadz lainnya saat itu aktif membaca koran yang setiap hari diantar ke kantor Yayasan Nurul Hakim Lombok, kantor Kepala Sekolah dan Guru atau yang ditempel di Mading yang ada di setiap asrama kala itu. 

Secara khusus, Bapak TGH. Safwan Hakim (alm) bukan saja aktif membaca koran tapi juga aktif menulis di salah satu kolom koran Lombok Post. Konon belakangan ini bunga rampai atau kumpulan tulisan beliau di koran kebanggan masyarakat NTB itu sudah diterbitkan dalam bentuk buku. Saya sendiri mendengar kabar itu dari beberapa alumni NH. Saya ingin sekali membaca buku itu. Selain karena penasaran dan sebagai kenangan juga untuk menikmati ulasan beliau yang kerap dinikmati oleh beragam latar pembaca di NTB. 

Kedua, tersedianya perpustakaan buku di setiap lembaga atau sekolah. Ya, di NH juga terdapat beberapa perpustakaan buku yang berisi buku, kitab dan surat kabar bahkan majalah. Baik lembaga putri maupun putra juga Ma'had Aly juga terdapat perpustakaan buku. Bahkan belakangan, setelah adanya kampus Institut Agama Islam (IAI) Nurul Hakim juga terdapat perpustakaan buku. Saat saya nyantri di NH 20-an lebih tahun silam saya termasuk santri yang sering nongkrong di perpustakaan buku, baik saat MTs maupun saat Madrasah Aliyah. 

Seingat saya, saya sering membaca buku pelajaran juga buku-buku umum atau non pelajaran. Setiap kali berkunjung, saya berupaya untuk mencatat hal-hal yang menurut saya penting untuk dicatat dari buku atau majalah juga koran yang saya baca. Bagaimana pun, secara ekonomi saya tidak cukup uang untuk membeli buku. Jangan kan untuk membeli buku, untuk makan pun saya kesusahan. Saya pernah selama dua tahun (kelas 2 dan 3 MTs) makan sepiring bertiga, itu pun hanya dua kali sehari. Sehingga saya seperti termotivasi untuk giat belajar dengan cara yang tak biasa. Penderitaan kala itu membuat saya termotivasi untuk bangkit dan berkarya. 

Pertanyaannya, bagaimana kondisi tradisi literasi NH era ini? Saya tentu tidak mampu memberikan jawaban yang tepat, sebab sekira 20-an lebih tahun belakangan ini saya sudah tidak nyantri di NH lagi. Walau begitu, saya sangat percaya di NH masih ada mading. Saya masih membayangkan di setiap asrama dan lembaga masih terdapat mading yang menyediakan koran untuk dinikmati oleh civitas di NH. Saya juga masih membayangkan perpustakaan buku di berbagai lembaga juga masih tersedia. Dan, di situ civitas terutama para santri baik santriwan maupun santriwati juga mahasiswa dan mahasantri masih bisa menikmati mading dan perpustakaan buku.  

Dalam konteks ke depan, saya membayangkan santri NH giat dan berkontribusi dalam dunia literasi. Hal ini ditandai misalnya, pertama, santri aktif menulis  hingga menjadi sekaligus punya karya tulis yang terbaca. Saya percaya, santri NH yang berasal dari berbagai kota itu memiliki minat dan bakat literasi yang mumpuni. Diantara santri NH pasti ada yang suka membaca cerita pendek atau cerpen, novel, puisi, artikel bahkan buku beragam tema. Nah, bila selama ini cuma sebagai pembaca setia, sekarang dan ke depan sudah saatnya menjadi pembaca sekaligus penulis karya. Apapun profesinya kelak, insyaa Allah tetap bisa berkarya dalam hal ini tulisan atau buku yang dinikmati pembaca di luar sana. 

Kedua, perlu dibentuk forum khusus yang menangani atau menopang tradisi literasi santri NH  Sebagai alumni, beberapa waktu lalu saya dan beberapa alumni sudah membentuk komunitas khusus namanya Forum Penulis Nurul Hakim. Komunitas ini masih mengandalkan komunikasi online, namun geliatnya sudah mulai terasa. Saya mengusulkan agar di NH terutama di kalangan santri dibentuk lembaga khusus untuk itu, sehingga kreativitas santri di aspek literasi terwadahi sekaligus terbimbing dengan baik. Para Ustadz dan Ustadzah yang berminat di literasi bisa menjadi pembina yang membimbing sehingga aktivitas literasi-nya terarah dan berdampak pada karya nyata.  

Ketiga, aktif melakukan pendidikan dan pelatihan (Diklat) penulisan, baik tema menulis maupun jurnalistik. Diklat kepenulisan dan kejurnalistikan perlu dilakukan dengan tujuan penumbuhan bakat atau potensi santri. Dampaknya santri bakal memiliki semangat berkarya bahkan kelak berkarir sebagai penulis atau jurnalis. Beberapa waktu lalu, tepatnya 24 Mei 2023 saya mendapat kesempatan untuk berbagi tips dan pengalaman acara pelatihan kepenulisan di Masjid Firdaus komplek putri. Ini adalah pemantik awal, namun berdampak baik bagi santriwati yang hadir kala itu. Ke depan perlu diadakan agenda serupa dengan narasumber dan materi yang lebih runut, sehingga output-nya lebih terukur. 

Keempat, aktif mengadakan audisi kepenulisan. Sebagai salah satu penggagas Forum Penulis Nurul Hakim, saya pun sudah melakukan audisi penulisan buku tentang cerita, kesan dan pengalaman santri selama di NH. Tak disangka ada begitu banyak alumni yang mengikuti audisi ini. Mereka bercerita tentang kesan dan pengalaman selama di NH, bahkan proses menjadi santri NH saat awal masuk. Kenangan indah selama di NH ternyata membuat karir dan kehidupan mereka kini semakin sukses. Insyaa Allah buku ini akan diterbitkan dalam waktu dekat, sekira September 2023. Ke depan insyaa Allah audisi serupa bakal diadakan secara rutin. 

Sebagai lembaga pendidikan yang mashur dan sukses mendidik ribuan santri dari berbagai kota di seluruh Indonesia sejatinya memiliki potensi dan peluang untuk melahirkan para penulis hebat di masa yang akan datang. Seingat saya, ada beberapa santri, tepatnya alumni NH, yang sudah punya karya tulis, baik antologi artikel dan puisi juga cerpen maupun menulis buku. Namun itu belum cukup bagi NH yang begitu besar. Perlu semangat dan kolaborasi untuk menggeliatkan literasi NH. Bapak TGH. Safwan Hakim (alm) telah mewariskan tradisi literasi yang kuat pada kita, baik baca maupun tulis. Bila beliau aktif membaca dan mampu menghasilkan karya tulis, maka kita pun layak melanjutkan lakon beliau. Ya saatnya kita terus menyalakan api literasi Nurul Hakim! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Aku, Dia & Cinta" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok