Cerdas Mendidik dan Mengasuh Anak


AKHIR-akhir ini kehidupan kita menghadapi berbagai kompleksitas. Satu hal yang cukup mengkhawatirkan adalah menjamurnya media sosial yang bisa diakses oleh semua kalangan, termasuk anak. Hal ini memberi dampak yang cukup signifikan bagi perkembangan anak dalam segala aspeknya.  

Berdasarkan data UNESCO, masyarakat Indonesia begitu aktif menggunakan media sosial. Hasil penelitian UNESCO menyimpulkan 5 dari 10 orang Indonesia aktif di media sosial. Dalam sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh We Are Social dan Hootsuite, terungkap masyarakat Indonesia sangat gemar mengunjungi media sosial. Tercatat bahwa ada sekitar 130 masyarakat Indonesia menggunakan media sosial, baik itu Facebook, Instragram, Twitter, Youtube maupun yang lainnya.


Tingginya angka pengguna media sosial semacam itu membuat risiko penyebaran konten negatif dan pesan provokasi atau ujaran kebencian yang melampaui batas dapat menimbulkan berbagai ekses yang berbahaya bagi keutuhan bangsa dan negara, termasuk anak usia dini.

Kalau kita telisik, diantara dampak menjamurnya media sosial adalah generasi bangsa terutama anak bisa mengakses berbagai macam fitur yang kontennya belum difilter. Selain itu, anak kerap berjarak dengan orangtuanya. Tak sedikit anak yang melawan setiap perintah dan arahan orangtuanya. Begitu juga sebaliknya, orangtua yang gandrung dengan media sosial, kerap berjarak dengan anaknya. Bahkan salah dalam mendidik atau mengasuh anaknya sendiri. 

Dalam konteks itu, memiliki pengetahuan yang cukup mengenai pendidikan keluarga, pendidikan anak dan pemanfaatan media sosial di era serba digital ini menjadi penting. Sebab dengan begitu akan memberi dampak positif dan baik bagi keberlangsungan keluarga terutama dalam pendidikan dan pengasuhan anak.

Sebagai orangtua yang beberapa tahun terakhir ini menekuni permasalahan pendidikan lintas aspek, saya sangat bersyukur karena pada Sabtu 16 Februari 2019 lalu mendapat undangan menghadiri acara Seminar Islamic Parenting bertema “Mengelola Emosi Anak di Era Digital” di Swiss Belhotel, CSB Mall, Kota Cirebon. Pada acara ini saya ditemani oleh kedua anak saya Azka Syakira (7 tahun, siswi SDIT Sabilul Huda) dan Bukhari Muhtadin (5 tahun, TK Asuhan Ibu).

Acara yang diselenggarakan oleh Komite Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Sabilul Huda-Cirebon tersebut menghadirkan dua narasumber yang ahli dan konsen dalam bidang ini, yaitu Dr. Netty Prasetiyani Heryawan, M.Si (Netty) dan Mohammad Fauzil Adhim (Fauzil). Kedua narasumber ini sudah bergulat lama dalam dunia literasi dan pendidikan, termasuk menjadi pemerhati dan pegiat yang aktif dalam dunia sosial.

Kedua narasumber menyepakati bahwa setiap anak adalah penting. Keragaman sikap dan tingkah pada anak kita mesti dipahami sebagai anugerah dari Allah. Segala keunikan dan keragaman potensi mereka tak boleh dicaci atau dihina. Tugas kita adalah membimbing dan mengarahkannya sehingga bermanfaat bagi perkembangan anak. Baik dalam aspek fisik, kognitif dan bahasa maupun dalam hal emosi, sosial dan cita-cita anak.

Pada pamaparannya Netty menjelaskan bahwa ada tiga macam pola asuh yang mesti dipahami oleh orangtua, pertama, interaki. Dalam hal ini orangtua mesti menjadi sahabat yang baik bagi anak. Bergaullah dengan anak dengan pendekatan persahabatan sehingga anak merasakan orangtua adalah sahabat terbaik baginya. Dengan begitu, orangtua menjadi teman berbagi terbaik bagi anak dalam segala hal yang dilalui dan dihadapinya.    

Kedua, stimulasi. Anak tentu memiliki keinginan bermacam-macam sesuai dengan masa pertumbuhannya. Termasuk di zaman sekarang yang serba digital. Di sini orangtua memberi stimulus pada anak agar menggunakan media era digital seperti komputer, laptop dan handphon (HP) secara wajar, positif dan tak melampaui batas. Di sini anak akan merasakan bimbingan dan arahan orangtuanya. Anak tidak merasa “serba tak boleh”, tapi menemukan cara pemanfaatan media yang tersedia secara baik dan positif.

Ketiga, konsistensi. Dalam mendidik atau dalam memberikan hukuman pada anak, orangtua mesti konsisten. Kalau misalnya di awal disepakati bahwa setiap melanggar akan mendapatkan hukuman, maka orangtua mesti konsisten dengan hukuman yang disepakati. Sehingga anak merasa segan pada orangtuanya, bukan sekadar rasa takut yang kadang manipulatif. Orangtua tidak boleh “plin-plan”, yang membuat anak tak percaya.  

Pada pemaparannya Fauzil menyebutkan tiga hal penting dalam mendidik anak. Pertama, kelembutan (rifq). Yaitu sikap ramah, bersahabat, lembut, santun ketika melakukan muamalah dengan orang lain, termasuk ketika orangtua berhubungan dengan anak dalam kehidupan sehari-hari. Sikap lembut diperlukan dalam segala suasana, baik di saat gembira atau menyampaikan nasehat maupun di saat memberikan hukuman atau konsekwensi kepada anak. Dengan begitu, anak merasakan bahwa orangtua menyayangi dia, bahkan di saat dihukum.

Hilangnya kelembutan, meskipun dalam keadaan sedang melakukan keinginan anak, hanya akan menjadikan anak sulit merasakan cinta orangtua kepadanya. Anak tidak yakin orangtua peduli kepadanya. Padahal merasa dicintai merupakan awal tumbuhnya rasa hormat dalam diri anak kepada orangtuanya.

Kedua, tenang (al-hilm) dan berhati-hati (‘anah). Al-hilm adalah sikap tenang dan lembut berupa kemampuan yang bagus dalam mengendalikan diri. Orangtua mesti menguasai dirinya di saat sedang marah, sehingga tidak tergesa-gesa bereaksi. Ketenangan menjadikannya mampu memilih tindakan yang terbaik dan paling membawa kemaslahatan. Sikap semacam ini susah dimiliki oleh orangtua yang bersikap reaktif, bahkan implusif, di saat menghadapi kesalahan anak, sehingga tindakannya cenderung tidak terukur bahkan terlihat “ngasal”.

Dalam kondisi apapun, orangtua mesti menjaga sikap hati-hati. Orangtua tidak boleh tergesa-gesa menentukan sikap kecuali setelah sangat jelas duduk permasalahannya. Orangtua boleh mengambil keputusan setelah memperoleh pengetahuan yang cukup memadai. Orangtua mesti mengklarifikasi dan memastikan maksud dan tujuan dari apa yang dilakukannya.

Ketiga, fokus dan menjaga nada suara. Kalau anak melanggar kesepakatan di rumah, maka orangtua mesti fokus dengan pelanggarannya. Orangtua tidak boleh menyelesaikan masalah atau memberikan hukuman dengan melampaui kadar masalahnya. Suaranya juga mesti terjaga dan terkelola, tidak lebih besar dari suara anak.

Sungguh, keluarga adalah model terkecil sistem sosial masyarakat. Di sinilah proses pendidikan dan pengasuhan utama anak dilakukan. Dengan membenahi diri dan terus belajar, harapannya kita sebagai orangtua mampu menjadi pendidik sekaligus pengasuh yang baik bagi anak-anak kita; sebab mereka adalah generasi penerus kita dan penentu masa depan bangsa dan negara tercinta Indonesia. [Oleh: Syamsudin Kadir—Pegiat Majelis Pustaka dan Informasi PDM Kabupaten Cirebon-Jawa Barat. Tulisan ini dimuat pada halaman 11 Kolom Opini Koran Fajar Cirebon edisi Rabu 13 Maret 2019 dan Rakyat Cirebon Kamis 14 Maret 2019]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah