Membersamai Penghafal Al-Qur’an
BERMULA pada 2016 lalu, dipercayai oleh Kepala Tahfidz Al-Qur’an di
pondok pesantren salaf (LPD Al-Bahjah Pusat), yang berlokasi di Cirebon-Jawa
Barat, untuk menjadi pendidik di kalangan para santri Hafidz Al-Quran. Meski
bukan sebagai guru Tahfiz Al-Qur’an, tapi hal ini perlu saya syukuri.
Alasanya sederhana:
Pertama, ini adalah pertama kali saya
merasakan menjadi sebagai seorang pendidik. Kedua, saya bisa berkhidmah
di pondok pesantren. Ketiga, saya bisa belajar mengajarkan
para santri-santri Tahfidz untuk mengenalkan Ilmu Pengetahuan secara luas agar
mereka tidak kaku ketika kelak dalam berdakwah di tengah masyarakat.
Al-Bahjah sendiri tidak hanya
mengajarkan Ilmu-Ilmu Agama (ulumuddin) atau menyiapkan para Hafidz
Al-Qur’an, tapi juga menyelenggarakan program pendidikan Kejar Paket A
dan B. Hal ini dilakukan sebagai solusi bagi santri-santri Tahfidz yang sejak
awal masuk ke pesantren tersebut dalam usia 7-14 Tahun, agar tetap memiliki
ijazah yang resmi terdaftar di Departemen Pendidikan Nasional. Sehingga
nantinya bisa mengikuti Ujian Kejar Paket dan mendapatkan ijazah yang diakui
oleh Negara.
Saya
melihat secara langsung, begeitu bersemangat dan antusias mereka terhadap
materi-materi yang diberikan. Meskipun ada sebagian santri yang tersapa oleh
rasa kantuk bahkan sampai terlelap di dalam ruang belajar, semangat mereka
untuk mendalami berbagai ilmu begitu tinggi.
Mereka,
para santri itu sudah terbangun pukul 03.00-06.30 WIB mereka mesti bersiap-siap
melakukan sholat qiyamul lail, shalat shubuh berjamaah, dzikir, murojaah
mandiri, berolahraga, hingga nanti setelah semua itu, pukul 07.30-nya, sholat dhuha.
Sebagaimana
teman-teman pengajar yang lainnya, saya juga sering melakukan dialog interaktif
dengan mereka di tengah proses pembelajaran berlangsung. Saya sering bertanya
kepada para santri Tahfidz:
“Kalian bercita-cita nya mau jadi
apa?”
Seketika,
serempak dengan lantang dan penuh semangat mereka menjawab:
“Mau jadi Ulama, ustadz!”
Allahu Akbar! Terkadang
rasa malu menyelimuti ketika membersamaai mereka. Sebab mereka benar-benar
beradab. Sangat menghormati dan mencinta para ustadz/ustadzah yang mendidik
mereka. Mereka juga memiliki akhlak yang baik, tutur kata yang lembut dan lain
sebagainya.
Pada
hakikatnya semua manusia memiliki derajat yang sama, yang membedakan hanyalah
iman dan taqwa yang dimilikinya. Menjadi penghafal (hafidz) al-Qur’an adalah
salah satu pintu paling mudah menjadi manusia yang memiliki iman dan taqwa yang
kokoh.
Maka
bersyukurlah mereka yang menjadi hafidz al-Qur’an. Mereka adalah manusia yang
mulia dan termuliakan. Bayangkan saja, ketika di dunia mereka diakui sebagai
keluarganya Allah
Subhanahu wata’ala dan
ketika di akhirat pun mereka termuliakan karena mereka kelak akan bersama para
malaikat yang mulia dan taat.
Dan
ketika di hari di mana setiap manusia berlarian untuk menyelamatkan diri mereka
masing-masing, berbeda halnya dengan para Hafidz Al-Qur’an, mereka mencari
kedua orang tuanya dengan tujuan untuk dikenakannya mahkota kehormatan pada
kedua orang tuanya tersebut. Sebagaimana dalam sabda yang mulia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Siapa yang membaca Al Qur’an, mempelajarinya, dan
mengamalkannya, maka dipakaikanlah mahkota dari cahaya pada hari kiamat,
cahayanya seperti cahaya matahari, kedua orang tuanya dipakaikan dua jubah
(kemuliaan), yang tidak pernah didapatkan di dunia, keduanya bertanya: mengapa
kami dipakaikan jubah ini: dijawab: “Karena kalian berdua memerintahkan anak
kalian untuk mempelajari al-Qur’an.”[1]
Al-Qur’an
pun menjadi obat dan penyembuh akan segala keperihan yang dialami di kehidupan
ini. Al-Qur’an pula yang menghilangkan dahaga rohani, serta tidak ada keindahan
seindah halaqah Al-Qur’an yang selalu mereka nikmati, lantunan tilawah nan
merdu seakan memunculkan rindu untuk terus membersamai al-Qur’an.
Sungguh Allah Subhanahu
wata’ala yang mengaruniakan mereka untuk membaca dan menghafal
Kalam-Nya, serta mengamalkan dan mentadaburri ayat-ayat yang tersirat di
dalamnya. Dan mereka pun senantiasa memanjatkan do’a kepada-Nya agar
mendapatkan Ridlo-Nya.
Tergerak perlahan, rindu hati
ini mengikuti jejak mereka. Ya, untuk menghafal Al Qur’an. Ini memang bukanlah
perkara yang mudah. Dibutuhkan niat yang ikhlas, tekad yang kuat, keistiqamahan,
kesabaran, dan usaha yang nyata yakni mau memulai dan terus berusaha tanpa
kenal lelah.
Walau begitu, menghafal al-Qur’an
bukanlah amalan yang tidak mungkin untuk dilakukan oleh siapa pun. Siapapun
kita yang memiliki segudang kesibukan, menghafal al-Qur’an sebenarnya bisa.
Asalkan ada niat yang ikhlas, tekad yang kuat, keistiqamahan, kesabaran, dan
usaha yang nyata yakni mau memulai dan terus berusaha tanpa kenal lelah, in sya
Allah, Allah Subhanahu wata’ala bakal
membimbing, menguatkan dan mengistiqomahkan kita. [Oleh: Rifki Azis—Mahasiswa Studi Pendidikan Agama Islam, Program Pascasarjana
IAIN Syeikh Nurdjati Cirebon-Jawa Barat angkatan 2019.
[1] Hadits diriwayatkan oleh Al Hakim
dan ia menilainya sahih berdasarkan syarat Muslim, dan disetujui oleh Adz
Dzahabi.
Komentar
Posting Komentar