Menuju Orang Tua Cerdas di Era Digital
PADA Sabtu 16 Februari 2019 lalu saya dan kedua anak saya Azka Syakira (7
tahun, siswi SDIT Sabilul Huda) dan Bukhari Muhtadin (5 tahun, TK Asuhan Ibu) menghadiri acara Seminar Islamic
Parenting bertema “Mengelola Emosi Anak
di Era Digital” di Swiss Belhotel, CSB Mall, Kota Cirebon.
Dr.
Netty Prasetiyani Heryawan, M.Si (Netty) dan Mohammad Fauzil Adhim (Fauzil) yang didaulat menjadi narasumber pada acara tersebut menyepakati bahwa setiap
anak adalah penting. Keragaman sikap dan tingkah pada anak kita mesti dipahami
sebagai anugerah dari Allah. Tugas kita adalah membimbing dan mengarahkannya
sehingga bermanfaat bagi perkembangan anak. Baik dalam aspek fisik, kognitif
dan bahasa maupun dalam hal emosi, sosial dan cita-cita anak.
Ya, menjadi menjadi orang tua cerdas di era digital seperti sekarang
ini memang bukanlah perkara mudah. Apalagi dengan semakin maraknya penyebaran Handphon (HP) dan penggunaan
media sosial (Medsos) di tengah-tengah masyarakat.
Sebabnya tentu saja beragam. Dari konten yang terlalu bebas sehingga
membuat anak-anak bisa mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan usianya, atau ada orang yang tidak bertanggung
jawab dan bisa membahayakan anak, baik secara langsung atau tidak langsung.
Bambang
Soegiharto (dalam artikelnya “Menjadi Orang Tua Bijak di Era Digital”)
menjelaskan bahwa diantara yang perlu diperhatikan dan bisa dilakukan
agar orang tua bisa lebih bijak dan mampu mengawasi kegiatan anak-anak saat
menggunakan perangkat digital mereka,
yaitu menyempatkan
waktu mengobrol dengan anak,
misalnya, setelah jam makan malam atau sambil sarapan. Di
waktu ini, usahakan tidak ada satupun anggota keluarga yang memegang gadget
agar kualitas obrolan jadi lebih maksimal.
Menurut Bambang, dengan mengajak anak
berbicara bisa membangun
kedekatan antara orang tua dan anak. Masing-masing juga bisa saling mengenal karakter secara perlahan,
meski sejak anak masih kecil, orang tua akan mengetahui bagaimana pola pikir
anak, dan apa saja yang dia kerjakan selama berada di dunia maya.
Mengafirmasi Bambang, pada pamaparannya
Netty menjelaskan bahwa ada tiga macam pola asuh yang mesti dipahami oleh
orangtua, pertama, interaksi. Dalam hal ini orangtua mesti menjadi
sahabat yang baik bagi anak. Bergaullah dengan anak dengan pendekatan
persahabatan sehingga anak merasakan orangtua adalah sahabat terbaik baginya.
Dengan begitu, orangtua menjadi teman berbagi terbaik bagi anak dalam segala
hal yang dilalui dan dihadapinya.
Kedua,
stimulasi. Anak tentu memiliki keinginan bermacam-macam sesuai dengan masa
pertumbuhannya. Termasuk di zaman sekarang yang serba digital. Di sini orangtua
memberi stimulus pada anak agar menggunakan media era digital seperti komputer,
laptop dan handphon (HP) secara
wajar, positif dan tak melampaui batas. Di sini anak akan merasakan bimbingan
dan arahan orangtuanya. Anak tidak merasa “serba tak boleh”, tapi menemukan
cara pemanfaatan media yang tersedia secara baik dan positif.
Ketiga,
konsistensi. Dalam mendidik atau dalam memberikan hukuman pada anak, orangtua
mesti konsisten. Kalau misalnya di awal disepakati bahwa setiap melanggar akan
mendapatkan hukuman, maka orangtua mesti konsisten dengan hukuman yang
disepakati. Sehingga anak merasa segan pada orangtuanya, bukan sekadar rasa takut
yang kadang manipulatif. Orangtua tidak boleh “plin-plan”, yang membuat anak
tak percaya.
Pada
pemaparannya Fauzil menyebutkan tiga hal penting dalam mendidik anak. Pertama, kelembutan (rifq). Yaitu sikap ramah, bersahabat,
lembut, santun ketika melakukan muamalah dengan orang lain, termasuk ketika
orangtua berhubungan dengan anak dalam kehidupan sehari-hari. Sikap lembut
diperlukan dalam segala suasana, baik di saat gembira atau menyampaikan nasehat
maupun di saat memberikan hukuman atau konsekwensi kepada anak. Dengan begitu,
anak merasakan bahwa orangtua menyayangi dia, bahkan di saat dihukum.
Hilangnya
kelembutan, meskipun dalam keadaan sedang melakukan keinginan anak, hanya akan
menjadikan anak sulit merasakan cinta orangtua kepadanya. Anak tidak yakin
orangtua peduli kepadanya. Padahal merasa dicintai merupakan awal tumbuhnya
rasa hormat dalam diri anak kepada orangtuanya.
Kedua,
tenang (al-hilm) dan berhati-hati (‘anah). Al-hilm adalah sikap tenang dan lembut berupa kemampuan yang bagus
dalam mengendalikan diri. Orangtua mesti menguasai dirinya di saat sedang
marah, sehingga tidak tergesa-gesa bereaksi. Ketenangan menjadikannya mampu
memilih tindakan yang terbaik dan paling membawa kemaslahatan. Sikap semacam
ini susah dimiliki oleh orangtua yang bersikap reaktif, bahkan implusif, di
saat menghadapi kesalahan anak, sehingga tindakannya cenderung tidak terukur
bahkan terlihat “ngasal”.
Dalam
kondisi apapun, orangtua mesti menjaga sikap hati-hati. Orangtua tidak boleh
tergesa-gesa menentukan sikap kecuali setelah sangat jelas duduk
permasalahannya. Orangtua boleh mengambil keputusan setelah memperoleh
pengetahuan yang cukup memadai. Orangtua mesti mengklarifikasi dan memastikan
maksud dan tujuan dari apa yang dilakukannya.
Ketiga, fokus dan menjaga nada suara. Kalau anak melanggar kesepakatan di rumah, maka
orangtua mesti fokus dengan pelanggarannya. Orangtua tidak boleh menyelesaikan
masalah atau memberikan hukuman dengan melampaui kadar masalahnya. Suaranya
juga mesti terjaga dan terkelola, tidak lebih besar dari suara anak.
Tak ada kata terlambat untuk meningkatkan kualitas diri
kita sebagai orangtua bagi anak-anak kita. Dengan berbenah dan terus belajar,
harapannya kita sebagai orangtua mampu menjadi pendidik sekaligus pengasuh yang
baik cerdas
bagi anak-anak kita; sebab mereka adalah generasi penerus kita dan penentu masa
depan bangsa dan negara tercinta Indonesia. [Oleh: Syamsudin Kadir—Pegiat di Majelis Pustaka dan
Informasi PDM Kabupaten Cirebon-Jawa Barat, dan Penulis buku “Pendidikan
Mencerahkan dan Mencerdaskan Bangsa”. Tulisan ini dimuat pada halaman 10 Kolom
Opini Koran Fajar Cirebon edisi hari Kamis 28 Maret 2019]
Komentar
Posting Komentar