Geliat Islamisasi Di Manggarai Barat NTT



MANGGARAI BARAT (Mabar) merupakan salah satu kabupaten terbaru di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia dihuni oleh berbagai elemen yang beragam latar, baik suku, adat, budaya, ras maupun agama.

Walau dihuni beragam latar masyarakat, Mabar begitu hening dan nyaman dihuni. Betul bahwa dalam konteks tertentu terdapat ‘ketidakadilan’, namun Mabar tetap terlihat aman dan nyaman dihuni berbagai elemen masyarakat—terutama umat Islam.

Selain ramah dan cepat bergaul dengan sesama dan para pendatang, masyarakat Mabar pun terkenal dengan toleransinya yang begitu tinggi. Sehingga tak heran jika ada yang berdecak kagum dan mengatakan “kalau ingin menikmati toleransi dan hidup damai maka datanglah ke Mabar!”. Dan berbagai pernyataan lain sebagai bukti decak kagum para pengunjung.

Lalu, bagaimana dengan umat Islam yang menghuni daerah yang terkenal dengan kekayaan alam dan destinasi wisata—terutama binatang komodonya—itu? Apakah ada fenomena islamisasi (baca: dakwah) dan kebangkitan Islam di tanah ujung barat pulau Flores tersebut? Lalu, apakah fenomena islamisasi tersebut mampu menjadi penopang pembangunan dan kebangkitan Mabar?


Ada banyak pendapat dan jawaban untuk menjelaskan sekaligus menjawab pertanyaan tersebut. Namun yang pasti, Islam sudah menjadi salah satu agama pertama yang dianut oleh masyarakat Mabar sejak dulu kala.

Proses islamisasi pun sudah terjadi sejak lama, bahkan menurut sebagian orang proses islamisasi di Mabar sudah terjadi sebelum datangnya pembawa agama lain.

Hal ini dapat dipahami dari dialek, tradisi dan sebagian adat juga pola hidup masyarakat Mabar yang beririsan dengan Islam bahkan sangat islami seperti acara kekeluargaan, acara syukuran, sikap toleransi, kerjasama, tolong menolong, silaturahim, senyum, salam, sapa, sopan, santun, penghormatan kepada orangtua, kejujuran, dan seterusnya.

Semua itu adalah nilai-nilai luhur Islam yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW., yang tentu saja dipraktikkan secara turun temurun oleh penyebar agama Islam dan nenek moyang orang Mabar (yang muslim) dari sejak dulu kala.

Kalau ditelisik, pada puluhan tahun silam, tepatnya sekitar tahun 1900-an hingga tahun 1950-an, kondisi umat Islam di Mabar—yang ketika itu dalam kendali pemerintahan Sunda Kecil, kemudian NTT—sangat tragis dan memprihatinkan. Jumlah umat Islam masih sedikit, pemahaman keislaman pun masih rendah.

Pada era berikutnya, tepatnya sekitar tahun 1960 hingga tahun 1970-an, kondisi umat Islam di Mabar—yang ketika itu masih menyatu dengan Kabupaten Manggarai—sangat tragis dan memprihatinkan. Sebagaimana pada era sebelumnya, pada era ini, dari segi kuantitas, umat Islam berada pada posisi kedua sebagai agama yang dianut masyarakat Mabar.

Selain itu, dari segi kualitas pemahaman keagamaan, umat Islam Mabar benar-benar jauh dari pengetahuan keislaman. Sehingga berimbas pada jauhnya umat Islam dari pengamalan ajaran Islam, terutama ibadah ritual Islam.

Kondisi ini bertambah tragis oleh kondisi eksternal yang ‘menjajah’, misalnya, adanya kebijakan penguasa yang ‘dirasa kurang adil’ terhadap umat Islam. Contoh sederhana, sulitnya pemberian izin pendirian tempat ibadah (masjid, mushola), madrasah dan pesantren.

Di samping pelarangan mengenakan jilbab (baca: menutup aurat) bagi umat Islam dalam berbagai forum dan institusi formal seperti kantor dan sekolah. Atas kondisi tersebut, umat Islam merasa terpojokkan dan semakin dilemahkan bahkan benar-benar terpinggirkan.

Namun apa yang terjadi pada tahun 1980-an? Walau kondisi ‘tragis’ pada era sebelumnya masih tersisa, pada era ini umat Islam mulai terbagun dari tidur lelapnya. Umat Islam mulai menyadari betapa pentingnya pendidikan Islam dan pembinaan umat Islam dalam skala yang masif.

Walau masih dalam skala kecil, munculnya kesadaran untuk bangkit dari keterbelakangan adalah satu indikasi betapa umat Islam sudah punya firasat keagamaan yang layak diperhitungkan.
Di tengah geliatnya umat lain untuk menyebarkan agamanya (baca: dakwah) ke pelosok-pelosok juga ke instansi pemerintahan, umat Islam merasa perlunya pematangan keyakinan dan pemahaman umat Islam akan agamanya juga untuk mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Dan pada tahap lanjutan akan melakukan proses islamisasi (baca: dakwah) ke pelosok-pelosok, terutama ke kantong atau basis massa umat Islam, juga ikut mewarnai instansi pemerintahan dan instansi publik lainnya.

Era itu berlalu, kini era baru tiba. Pada tahun 1990-an, umat Islam semakin tersadarkan. Kalau pada era sebelumnya masih menggunakan pola ‘ujicoba’ dan tak sistematis, pada era 1990-an umat Islam menempuh pola ‘konsepsional’ dan lebih sistematis. Dalam pengertian, secara kultural umat Islam sudah terlihat menyolidkan barisan dalam menopang dakwah dan kebangkitan Islam.

Adapun upaya yang dilakukan pada era tersebut adalah mengupayakan agar umat Islam (dalam hal ini terutama pengurus masjid seperti imam, khotib, bilal, muazin dan semacamnya) mampu membaca al-Qur’an dan merapatkan barisan umat Islam.

Di samping itu, umat Islam juga fokus membangun tempat ibadah (masjid dan mushola), merantau ke pulau seberang dan menyekolahkan anak-anaknya keluar daerah seperti ke Kupang-NTT, Bima-NTB, Lombok-NTB, Denpasar-Bali, Makassar dan Jawa.

Bagaimana hasilnya? Beberapa anak terbaik umat Islam berhasil mengenyam pendidikan (SMP-SMA), bahkan berhasil meraih gelar sarjana dalam berbagai bidang studi, termasuk lolos menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di beberapa instansi pemerintahan juga sekolah-sekolah negeri. Baik ketika mereka di tanah rantauan maupun setelah kembali ke Mabar—yang ketika itu masih bersatu dengan Manggarai dengan ibukota Ruteng.

Keberhasilan upaya tersebut ternyata mendapat respon positif dari hampir semua umat Islam. Maka pada era 1990-an (tahap lanjutan) hingga era 2000-an, umat Islam terlihat semakin tersadarkan akan pentingnya pendidikan—terutama ilmu berbasis wahyu (al-Qur’an dan Hadits).
Upaya menyekolahkan generasi baru (baca: anak-anak) muslim pun begitu masif dilakukan oleh umat Islam Mabar. Bukan saja untuk mendalami Ilmu Wahyu (Tafsir, Ilmu Tafsir, Hadits, Ilmu Hadits, Bahasa Arab, Siroh/Sejarah Peradaban Islam, Nahwu, Shorof, Mantiq, Balaghoh dan semacamnya) tapi juga Ilmu Empiristis (Kimia, Fisika, Biologi, Matematika, Bahasa, Sejarah, Geografi, Teknologi, Komputer, Ekonomi, Bisnis, Kedokteran, Kesehatan, Pariwisata, Kehutanan, Pertanian, Peternakan, Olahraga, Seni, Budaya, Jurnalistik dan seterusnya).

Tak sedikit anak-anak muslim yang merantau ke NTB (Bima, Dompu, Sumbawa, Mataram, Kediri-Lombok Barat, Pancor, Selong, Praya dan lain-lain), Bali (Denpasar), Jawa (Surabaya, Kediri, Malang, Jember, Lamongan, Yogjakarta, Semarang, Solo, Bandung, Tasikmalaya, Garut, Bekasi, Bogor, Depok, Jakarta dan lain-lain), dan Sulawesi (Makassar, Palopo dan lain-lain) bahkan keluar negeri seperti Malaysia, Mesir, Yordania, Yaman, Saudi Arabia, Emirat Arab dan lain-lain.

Pada era 2010-an, bahkan terjadi lonjakan rantauan yang nyaris tak terbendung. Generasi era ini tak tanggung-tanggung untuk melanjutkan jejak generasi pendahulu mereka untuk merantau dan mengenyam pendidikan, terutama ke jenjang pendidikan tinggi (sarjana, magister dan doktoral).
Tidak saja mendalami Islam (baca: Ilmu Wahyu) tapi juga Ilmu Empiristis (Kimia, Fisika, Biologi, Matematika, Bahasa, Sejarah, Geografi, Teknologi, Komputer, Ekonomi, Bisnis, Kedokteran, Kesehatan, Pariwisata, Kehutanan, Pertanian, Peternakan, Olahraga, Seni, Budaya, Jurnalistik dan seterusnya) sebagaimana yang disebutkan sebelumnya.

Bahkan tak sedikit yang membangun bisnis, mendirikan penerbitan buku, menjadi penulis, editor, politisi, wartawan, guru, dosen, dan seterusnya.

Pada era 2010-an ke sini, Islam sebagai salah satu agama yang dianut warga Mabar pun cukup mendapatkan tempat terhormat dan posisi yang semakin ‘meyakinkan’. Islam bahkan terlihat berkembang pesat.

Hal itu dipahami dari jumlah umat Islam yang meningkat—bahkan hampir sama dengan jumlah non Muslim—dan geliat generasi muda muslim Mabar dalam berbagai forum juga dalam mengamalkan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Walau bukan lulusan studi Islam (baca: Sarjana Agama), umat Islam sudah tak malu-malu lagi untuk mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di ruang publik.

Contoh yang paling sederhana adalah begitu masifnya kaum muslimah Mabar untuk mengenakan jilbab (baca: menutup aurat) dalam kehidupan sehari-hari. Pada era 1960-an hingga 1990-an, berjilbab masih dianggap ‘aneh’ bahkan tak jarang mendapatkan intimidasi secara psikologis.

Namun ‘berkat’ kesadaran generasi mudah Islam yang telah merantau untuk mendalami Ilmu Wahyu (baca: Islam) dan ilmu lainnya—terutama ketika mereka pulang kampung—pada era 2000-an (utamanya sejak tahun 2007-an hingga kini), jilbab menjadi satu hal yang fenomenal tersendiri bagi umat Islam Mabar.

Orang berjilbab bisa ditemukan secara ‘gratis’ di kampung-kampung, bandara, terminal, dermaga, pelabuhan, angkutan umum, mobil pribadi, motor, pasar, toko, hotel, restoran, warung makan, rumah sakit, puskesmas, kantor, sekolah, asrama, sawah, kebun dan seterusnya.

Tidak hanya itu, kini umat Islam Mabar sudah mulai menunaikan shalat 5 waktu. Tak sedikit masjid di beberapa kampung dan kecamatan yang setiap waktu shalat terisi jama’ah yang menunaikan shalat 5 waktu secara rutin. Suara azan yang dulu menjadi sesuatu yang asing pun kini sudah mulai terdengar merdu di kala waktu shalat tiba.

Walau masih dalam tahap proses, fenomena ini layak mendapatkan apresiasi dari aktivis muslim, para ulama dan da’i dari seluruh dunia yang membangun cinta dengan dakwah Islam dan kebangkitan umatnya menuju ke masa depan.

Selain fenomena jilbab dan shalat, salah satu bukti faktual betapa geliatnya umat Islam di Mabar dalam melakukan proses islamisasi (baca: dakwah) adalah adalah semakin banyaknya anak-anak muslim yang mampu membaca bahkan menghafal al-Qur’an juga hadits.

Bahkan tak sedikit yang mampu berbahasa Arab dengan baik sehingga berhasil menjuarai berbagai event perlombaan tingkat lokal (Kabupaten, Provinsi) hingga Nasional. Kalau dulu, hampir tak ditemukan kumpulan pengajian ibu-ibu, pengajian anak-anak dan semacamnya. Beda dulu, beda sekarang. Sekarang sangat mudah dilihat bagaimana ibu-ibu, anak-anak juga para lelaki hadir dalam kajian rutin keislaman baik yang dilaksanakan di masjid maupun di pesantren.
Walau belum begitu masif, geliat ini adalah pertanda betapa umat Islam di Mabar bukan elemen terbelakang lagi. Umat Islam sudah siap menjadi dirinya yang khas, menjadi muslim sejati yang siap berkompetisi secara elegan dan intelektual dengan umat lain.

Walau hidup dalam keragaman dan berdampingan dengan umat lain, umat Islam merasa nyaman mendalami agamanya dan aman dalam menunaikan ajaran agamanya. Betul bahwa dalam beberapa kasus terdapat ‘ketidakadilan’, namun itu tidak menutupi rasa nyaman dan aman umat Islam serta kebangkitan Islam di tanah Mabar.

Tulisan ini bukan hasil survei dan penelitian ilmiah yang layak dijadikan sumber otentik untuk mengetahui secara detail kondisi umat Islam dan bagaimana perkembangan Islam (baca: dakwah) di Mabar. Sebab ini hanyalah serpihan ‘manusia biasa’ yang sedang belajar memberi inspirasi, motivasi juga semangat kepada saudara seiman di bumi Mabar dan umat Islam di seluruh dunia.

Pesannya sederhana, ini era adalah dimana umat Islam Mabar membuktikan ke khalayak bahwa umat Islam adalah bagian tak terpisahkan dari Mabar. Umat Islam siap membangun Mabar dengan menjadikan nilai-nilai universal Islam sebagai pegangan dalam melakoni kehidupan dalam dunia yang beragam latar belakang.

Dengan demikian, jika umat Islam di Mabar begitu masif mengenakan jilbab, mendalami al-Qur’an-hadits, menunaikan shalat 5 waktu, menghadiri kajian rutin keislaman, dan praktik muamalat duniawi dengan sesama umat manusia (baca: umat lain), itu pertanda bahwa umat Islam benar-benar mencintai tanah Mabar bukan satu kepalsuan atau basa-basi.

Harapannya, dengan mendalami dan mengamalkan Islam secara baik dan masif semacam itu, maka Mabar pun akan semakin menemukan takdir sejarah kebangkitannya sebagai salah satu daerah termaju di NTT bahkan di Indonesia. Sebab semua elemen masyarakat diberi ruang berperan membangun dan melakukan yang terbaik untuk Mabar dengan tanpa melupakan (baca: menegasikan) identitas khasnya sebagai umat beragama—dalam hal ini utamanya Islam.

Dengan demikian, jika fenomena kebangkitan Islam di Mabar ini dikebiri bahkan dibatasi oleh berbagai pihak yang tak bertanggung jawab dengan berbagai cara yang tidak wajar dan tidak manusiawi, maka Mabar tidak akan pernah menjadi tanah damai dan bumi toleransi.

Bahkan Mabar tidak akan pernah menjadi tempat berkembangnya ke-bhineka-an sebagai salah satu pilar negara mayoritas muslim terbesar di dunia tersebut. Tentu saja kondisi tersebut tidak pernah kita harapkan terjadi di tanah Mabar, karena kita mengharapkan sebaliknya, Mabar menjadi tanah damai dan bumi toleransi.

Mudah-mudahan tulisan ini menginspirasi umat Islam untuk terus bangkit meraih prestasi terbaik dan melakukan yang terbaik bagi kebangkitan Mabar, terutama kebangkitan Islam di Mabar. Hanya dengan begitulah, Islam semakin mendapatkan respon positif dari umat Islam (yang membutuhkan pencerahan lebih masif) bahkan umat lain yang hidup berdampingan secara damai dengan umat Islam di Mabar.

Semoga geliat ini mendapat barokah dari Allah dan dapat menjadi pemicu kesungguhan umat Islam Mabar dalam membangun Mabar tercinta dan menjadi pemicu semangat umat Islam Mabar dalam menjemput abad 22 masehi yang bertepatan dengan abad 16 hijriah di masa depan! [Oleh: Syamsudin Kadir—Staf Majelis Pustaka dan Informasi PD Muhammadiyah Kabupaten Cirebon-Jawa Barat, Asli Cereng, Golo Sengang, Sano Nggoang, Manggarai Barat-NTT]

* Tulisan lama yang diperbarui kembali di Cirebon-Jawa Barat, Rabu 13 Maret 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah