MENELISIK MASA DEPAN ANAK
ALAMDULILLAH anak saya yang diberi nama Aisyah Humaira yang lahir pada Kamis 9 April 2020 di Kota Cirebon-Jawa Barat, hari ini Kamis 14 Mei 2020 genap berusia 35 hari. Ia pun benar-benar masih bayi. Bahkan bayinya benar-benar bayi mungil.
Kehadirannya menjelang ramadan 1441 H menambah kebahagiaan saya dalam keluarga. Baik keluarga kecil maupun keluarga besar di berbagai kota di seluruh Indonesia. Termasuk kedua kakaknya Azka Syakira dan Bukhari Muhtadin yang sangat menyayanginya dan akhir-akhir ini makin gila baca buku.
Sebagai orangtua bagi mereka, saya dan istri saya Eni Suhaeni tentu sangat berharap agar mampu menjadi orangtua yang terbaik bagi mereka. Bagaimana pun, menjadi orangtua tak cukup menjadi orangtua secara biologis. Tapi perlu dielaborasi lebih lanjut dalam beragam aspek lainnya, sehingga menjadi orangtua teladan dan membanggakan bagi anak-anak.
Dengan begitu, anak-anak memiliki semangat yang tinggi untuk belajar menjadi generasi terbaik pada zamannya. Kuncinya adalah mereka mesti dididik menjadi pembelajar sejati. Suatu sebutan untuk mereka yang tak kalah oleh keterbatasan dan kelemahan. Apapun kondisinya, mereka tetap belajar dan terus belajar. Menemukan inspirasi dari berbagai peristiwa, realitas dan ilmu pengetahuan.
Belajar, tentu bukan sekadar rajin membaca buku dan menulis berbagai karya tulis. Belajar adalah segala upaya menekuni berbagai ilmu pengetahuan sehingga membuat diri semakin bijaksana dan beradab. Modal awalnya adalah niat, tekad dan rajin membaca buku, di samping giatkan diri dalam menulis karya tulis yang bermanfaat dan terwariskan pada sejarah.
Kelak, anak-anak tak boleh buta aksara, tak boleh buta belajar dan tak boleh buta ilmu pengetahuan. Sebab tantangan ke depan sungguh hebat dan butuh kecerdasan di atas rata-rata. Maka di sini daya baca melebih kebanyakan orang sangat dibutuhkan. Sebab belajar bukan sekadar kemampuan pada aspek baca dan tulis, tapi lebih dari itu, mesti mampu membaca dan menulis masa depan.
Futurolog Alfin Toffler (1970), sebagaimana dikutip oleh Rhenald Kasali dalam bukunya "The Great Shifthing" (2018), halaman 226, pernah mengatakan, "Buta aksara pada abad ke-21 tidak lagi berarti tidak bisa baca-tulis, melainkan tidak bisa belajar, enggan belajar, dan enggan belajar kembali."
Ya, anak-anak boleh saja gila baca dan tulis. Itu tentu sebuah tradisi dan menjadi kebanggaan tersendiri bagi saya dan keluarga besar. Sebab itu juga adalah salah satu kunci sekaligus pintu untuk memahami berbagai ilmu pengetahuan. Namun terus belajar hingga menjadi pembelajar sejati tentu jauh lebih penting. Semua itu adalah peta jalan bagi mereka dalam menatap sekaligus menelisik masa depan.
Karena itu, fokusnya bukan pada jumlah buku yang dibaca. Tapi kualitas konten buku yang dibaca. Karena itu, mesti ada komitmen dalam diri untuk membaca buku-buku yang memang dibutuhkan di masa depan. Buku-buku yang membangun karakter unggul dan daya imajinasi anak-anak sehingga semakin berkualitas.
Selain itu, perlu juga dibaca buku-buku yang menjadi sumber dari berbagai perspektif yang kompleks sehingga menajamkan pikiran dan mampu berpikir kompleks. Sebab masa depan adalah kompetisi atas beragam hal dalam bingkai dan warna yang kompleks pula. Keadaan kompleksitas seperti itu hanya bisa dihadapi oleh mereka yang mampu berpikir kompleks.
Saya sebagai orangtua sangat percaya dan optimis bahwa kelak anak-anak bakal menjadi generasi penerus yang kualitasnya lebih dari kondisi saya saat ini. Karena peluang dan kesempatan untuk sampai pada level itu sangat terbuka lebar. Asal mereka mau dan mampu menemukan jalan menuju ke arah situ.
Karena itu pula, saya berupaya dengan sungguh-sungguh agar tradisi baca dan tulis di rumah benar-benar terbangun dengan baik. Kalau ada uang masuk, diprioritaskan untuk membeli buku yang memang dibutuhkan. Walaupun saat ini baru menampung sekitar 5.000-an lebih eksamplar buku, insyaa Allah suatu saat bakal bertambah. Tentu dengan buku-buku baru yang menjadi bacaan untuk menatap dan menelisik masa depan.
Adalah Mohammad Fauzil Adhim melalui bukunya yang berjudul "Saat Berharga Untuk Anak Kita" (2009) berbagi pandangan bahwa saat anak-anak masih kecil adalah saat berharga bagi kedua orangtua untuk anak-anaknya.
Mengafirmasi Fauzil, saya menegaskan bahwa memang membersamai anak di usia kanak-kanak (0-12 tahun) adalah saat yang istimewa. Sebab mereka dalam berbagai sisinya masih bisa dijangkau. Mereka pun cepat merekam dan mencontoh serta mau mendengar, terutama kepada orangtuanya. Kalau itu yang terjadi maka rumah tangga atau keluarga pun benar-benar bagai surga sebelum surga yang sesungguhnya.
Terima kasih banyak untuk anak-anak hebat yang hadir dengan gaya khasnya. Kalian adalah inspirator dan motivator yang telah Allah kirimkan secara gratis kepada saya sebagai orangtua. Semoga kelak saya dan kalian menjadi generasi yang membanggakan Allah dan bermanfaat banyak bagi diri, keluarga, negara dan kemanusiaan! (*)
Kamis, 14 Mei 2020
* Judul tulisan
MENELISIK MASA DEPAN ANAK
Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis buku "Melahirkan Generasi Unggul"
Komentar
Posting Komentar