MENJADI ORANGTUA SIAGA

KINI kebahagiaan kami sekeluarga semakin bertambah. Minimal dalam keluarga kecil kami. Hal ini karena pada Kamis 9 April 2020 lalu, anak saya yang ke-4 Aisyah Humaira lahir dengan normal. Ia lahir tepatnya di sebuah rumah persalinan seorang Bidan ternama, di Kalitanjung, Kota Cirebon-Jawa Barat. 

Bagi istri saya, ini adalah anak pertama yang terlahir dari rahimnya. Karena istri saya yang sekarang, Eni Suhaeni, baru saya nikahi pada 25 April 2019 setelah setahun sebelumnya (25 Oktober 2018) istri saya Uum Heroyati meninggal dunia karena sakit. Walau begitu, kedua anak saya yang ditinggal meninggal oleh istri saya sangat senang dengan istri saya yang baru. Mereka pun memanggilnya Bunda. 

Istri saya yang meninggal bertepatan pada usia 33 tahun sendiri punya 3 orang anak. Anak pertama dan kedua kini bersama dengan saya dan istri saya yang baru. Sementara anak ketiga  meninggal pada Jumat 26 April 2018, sehari setelah Bundanya meninggal di sebuah Rumah Sakit di Kota Cirebon-Jawa Barat. Keduanya dikubur di tempat pemakaman umum di dekat rumah mertua, di Subang-Jawa Barat.  

Kini setelah mendapat anugerah anak baru, kami pun terpapar sebuah virus menguntungkan dan membahagiakan. Yaitu virus cinta. Bayangkan saja, selama ini kami hanya diramaikan oleh kedua anak kami yang berusia 8 tahun lebih dan 6 tahun lebih. Selain membaca buku di perpustakaan rumah, anak-anak juga menuntaskan bacaan pembelajaran sekolah, dan bermain. Tentu dengan gaya ala anak-anak seusia mereka. 

Kini suasananya bertambah seru juga ramai. Suatu suasana yang susah diungkap semuanya dalam bentuk kata dan ungkapan. Anak kami yang dinamai Aisyah Humaira, benar-benar hadir dengan begitu banyak hal kebaikan yang menyertainya. Ia dengan gaya khasnya kadang menangis, kadang diam dan kadang berbagi senyuman. Semua ia lakukan secara tulus dan seperti tanpa ada beban. 

Mau makan alias ASI tinggal menangis, ASI langsung seketika datang. Mau bersihin kotoran besar dan kencing tinggal menangis, Ayah dan Bunda langsung datang. Bahkan seringkali Neneknya langsung datang menggendong. Di samping itu, Neneknya juga memandikan dan sesekali memijit hingga cucunya tertidur lelap. Terima kasih Nenek!   

Sementara saya dan Bundanya, kadang bergantian menggendongnya. Setelah menggendong si mungil, langsung balapan tidur bersama yang digendong. Berapa menit kemudian bangun lagi, lalu menggendong lagi hingga ia tidur. Begitu seterusnya. Seru dan memang bikin terharu bangga. 

Sehari-hari setelah ia lahir, saya dan istri fokus menemani dia hampir 24 jam. Namanya bayi, pastinya bakal tidur dan bangun sesuai seleranya. Kapan dia mau saja. Sesuka hatinya. Mungkin terlihat membosankan, namun pada suasana semacam inilah kami meraih berbagai hikmah berharga yang tak bisa diperoleh dari sumber lain.  

Sebagai Ayah dan Bundanya kami pun mesti belajar menjadi Ayah dan Bunda yang siaga baginya. Ya, menjadi orangtua siaga. Selalu siap 24 jam menemani dia. Saya dan istri bergantian menggendong dan menemaninya tidur. Tidur lalu bangun, begitu seterusnya. Di samping sesekali melek, suatu kesempatan bagi kami sekeluarga untuk mengajaknya bermain dan berbincang santai ala anak bayi. 

Selain itu aku juga mesti siap-sedia mencuci dan menjemur pakian anak perempuan saya yang ke-3 ini. Berita baiknya, saya tak sedikit pun jijik dengan kotoran besar dan kencing sang bayi, anak kebanggaan saya ini. Sebab saya sudah dikarunia 4 orang anak. Paling tidak pengalaman saya mengurus anak bayi sudah boleh dibilang cukup berpengalaman. 

Saya sangat senang dan semakin bahagia karena anak saya yang pertama Azka Syakira dan anak saya yang kedua Bukhari Bukhari Muhtadin begitu antusias menemani adik mereka. Suasana kebersamaan pun terasa indah dan ingin selalu bersama. Di sela-sela bermain dan mengerjakan tugas belajar dari TK dan SD, kedua anak saya ini masih saja menyempatkan untuk menemani adik mereka yang masih lucu-lucunya. 

Pesannya jelas bahwa saya dan istri saya mesti menjadi Ayah dan Bunda siaga bagi anak kami selama 24 jam. Saya sendiri mesti mampu menjadi teman setia bagi istri saya yang selama 24 jam itu mengurus anak. Lelah, itu sudah pasti. Tapi kesiap-siagaan mesti terus dijaga, agar virus cinta terus tumbuh. Lelah pun tak berarti apa-apa. Toh kalau sudah Lillah, lelah pun jadi berkah! 

Bagi saya sendiri, ini adalah saat berharga untuk istri dan anak-anak saya. Lebih khusus lagi anak saya yang baru lahir dengan berat 2,7 kg dan tinggi atau panjang 47 cm ini. Sungguh, saya merasakan bahwa suasana semacam ini adalah rumah tangga surga sebelum surga sebenarnya, seperti sabda inspiratif Sang Nabi tercinta Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, baiti jannati, rumahku surgaku. Semoga saja begitu, allahumma aamiin! (*)


* Judul tulisan
MENJADI ORANGTUA SIAGA
"Catatan Hati Seorang Ayah" 

Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis buku "Melahirkan Generasi Unggul" dan Pendiri Komunitas Cereng Menulis 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah