MENGHITUNG DIRI, MERAIH KASIH SAYANG ALLAH

Rasulullah, Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda, “Allah mempunyai seratus rahmat (kasih sayang), dan menurunkan satu rahmat (dari seratus rahmat) kepada jin, manusia, binatang, dan hewan melata. Dengan rahmat itu mereka saling berbelas-kasih dan berkasih sayang, dan dengannya pula binatang-binatang buas menyayangi anak-anaknya. Dan (Allah) menangguhkan sembilan puluh sembilan bagian rahmat itu sebagai kasih sayang-Nya pada hari kiamat nanti.” (HR. Muslim)

Dari hadits di atas tertera sangat jelas, bahwa baru satu saja rahmat yang Allah turunkan ke bumi, dampaknya sangat luar biasa bagi seluruh makhluk di bumi.

Lalu, bagaimana jadinya jika semua rahmat itu diturunkan ke bumi? Pertanyaan yang tentu saja jawabannya tidak tuntas di dunia, sebab Allah sudah pasti menyediakan sisa rahmat-Nya bagi kehidupan akhirat hamba-hamba-Nya.

Jika demikian, bagaimana caranya agar rahmat yang tersisa tersebut dapat kita raih kelak di akhirat?

Pertama, dengan cara menghitung diri. Sesering mungkin mengenal asal kita, dari mana kita diciptakan, untuk apa kita diciptakan, dan kita sudah melakukan apa saja untuk mengisi kehidupan dunia kita. Dengan cara demikian, maka kita akan semakin tersadarkan bahwa hidup di dunia yang semakin kompleks ini benar-benar ladang tempat menanam kebaikan.

Lebih teknis, pada akhir ramadan 1441 H (Mei 2020) nanti alangkah baiknya bagi kita untuk terus bercermin. Mulailah dengan menghadapkan tubuh kita ke cermin seraya bertanya: Apakah wajah indah ini akan bercahaya di akhirat kelak, atau justru sebaliknya, wajah ini akan gosong terbakar nyala api neraka karena kita kerap bermuka muram kepada anak-anak yatim dan orang-orang soleh yang dikasihi Allah?

Tataplah hitamnya mata kita, apakah mata ini, mata yang bisa menatap Allah, menatap Rasulullah, menatap para kekasih Allah di surga kelak, atau malah akan terburai karena kemaksiatan yang pernah dilakukannya?

Bibir kita, apakah ia akan bisa tersenyum gembira di surga sana atau malah bibir yang lidahnya akan menjulur tercabik-cabik karena kita sibuk mencaci maki, menggunjing, memfitnah, mengadu domba, dan menjelek-jelekkan orang lain?

Perhatikan pula tubuh tegap kita, apakah ia akan terpendar penuh cahaya di surga sana, sehingga layak berdampingan dengan pemilih tubuh mulia nan wangi, Rasulullah, atau malah akan membara, menjadi bahan bakar bersama hangusnya batu-batu di kerak neraka kelak karena kita kerap membuka (pamer) aurat tanpa rasa malu dan takut akan azab Allah?

Ketika memandang kaki, tanyakanlah apakah ia senantiasa melangkah di jalan Allah sehingga berhak menginjakkannya di surga Allah kelak, atau malah akan dicabik-cabik pisau berduri karena ia kerap kita langkahkan menuju tempat maksiat dan melakukan kejahatan semacam merampas, mencuri (korupsi), merampok, membunuh, dan serupanya?

Bersihnya kulit kita, renungkanlah apakah ia akan menjadi indah bercahaya, ataukah akan hitam legam karena gosong dijilat lidah api jahanam karena kita sering memamerkannya (baca: riya’, angkuh, sombong) di hadapan mereka yang berbeda warna kulit dengan kita dengan maksud merendahkan mereka?

Kedua, menghitung amal ibadah. Sungguh, tujuan kita diciptakan oleh Allah adalah untuk beribadah kepada-Nya. Allah berfirman, "Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (QS. Az-Zaariyaat: 56)

Nah, pada ramadan ini, kita mestinya sesering mungkin bertanya kepada diri kita mengenai ibadah kita selama ini, apakah ibadah kita sudah sesuai tuntunan syariat, sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, atau ibadah sesula hati alias buatan sendiri?

Ramadan adalah satu-satunya kesempatan dimana Allah menghadiahkan satu malam istimewa bagi kita, yaitu lailatul qodar, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Allah menjelaskan:

"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan seizin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (QS. al-Qadr: 1-5)

Lalu, apakah berbagai ibadah yang kita lakukan layak diterima sebagai amal terbaik di sisi Allah? Atau, apakah ibadah yang kita tunaikan dapat menghadirkan kasih sayang Allah berupa lailatul qadar yang sangat istimewa itu?

Pertanyaan semacam ini mestinya menjadi fokus kita, lebih dari sekadar hiruk pikuk duniawi yang kadang menjerumuskan kita sendiri ke jalan yang keliru. Di akhir ramadan biasanya kita sibuk dengan baju baru, bukan dengan merenungi berbagai ibadah yang telah kita tunaikan selama ini. Kita sibuk membeli pakian baru yang belum tentu mampu membawa kita ke dalam surga-Nya; pada saat yang sama kita jarang menghitung kualitas ibadah kita, apakah layak diterima atau tidak.

Padahal, dengan banyak mempertanyakan jenis, jumlah dan kualitas ibadah kita kepada Allah selama ini, maka kita pun merasa menangis jika saja ramadan kali ini benar-benar ramadan terakhir bagi kita selama di dunia tanpa menunaikan amal yang benar-benar menjadi modal kita menuju surga-Nya kelak.

"Sungguh, waktu atau jatah hidup kita di dunia yang benar-benar bermanfaat bagi kita adalah waktu yang kita isi dengan karya atau amal (ibadah dan soleh) terbaik. Itulah yang layk kita akui sebagai umur kita. Sisanya hanyalah kesia-siaan yang mesri kita pertanggungjawabkan kelak di hadapan-Nya." (Anis Matta, 2004)

Ketiga, menghitung amal sosial. Tanyakan kembali pada diri kita masing-masing, sejauh mana kita mengisi hati kita dengan cara berbagi kasih dengan sesama saudara?

Ibadah shaum di bulan ramadan sesungguhnya merupakan ajang bagi kita untuk membangun solidaritas sosial dengan aktivitas nyata.

Perasaan lapar yang melilit dan keharusan bersikap sederhana akan mengikat setiap kita yang menjalankan ibadah shaum untuk dekat dan merasakan kekurangan mereka yang papa. Rasa solidaritas ini akan mengikat kita dalam ikatan kasih sayang dan rasa saling menolong.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengingatkan dalam sabdanya, "Sebaik-baik manusia adalah mereka yang lebih bermanfaat bagi banyak manusia".

Dari situ, semestinya ibadah shaum mampu menumbuhkan dan memantapkan rasa solidaritas sosial kita terhadap sesama. Dalam skala kecil, didikan shaum mendorong kita untuk peduli terhadap sesama saudara di sekeliling kita.

Sungguh, di sekitar kita masih banyak yang masih mengalami kesusahan dan kekurangan dalam berbagai sisi. Ada yang kekurangan makanan, dicekam ketakutan, kehilangan pekerjaan, bisnisnya hancur, terlilit utang-piutang, dilanda konflik, stes dan laon sebagainya. Semua ini adalah gambaran penderitaan yang paling nyata. Betapa indahnya jika kita mampu berbagi kebahagiaan dengan mereka.

Imam al-Ghazali mengisyaratkan bahwa kasih sayang dapat diibaratkan sebuah mata air yang selalu bergejolak keinginannya untuk melepaskan beribu-ribu kubik air bening yang membuncah dari dalamnya tanpa pernah habis. Kepada air yang telah mengalir untuk selanjutnya menderas mengikuti alur sungai menuju lautan luas, mata air sama sekali tidak pernah mengharapkan ia kembali.

Al-Ghazali melanjutkan, sama seperti pancaran sinar cerah matahari di pagi hari, dari dulu sampai sekarang ia terus-menerus memancarkan sinarnya tanpa henti, dan sama pula, matahari tidak mengharap sedikitpun sang cahaya yang telah terpqncar kembali pada dirinya.

Seharusnya seperti itulah sumber kasih sayang di hati kita, ia benar-benar melimpah terus, tidak ada habisnya. Tidak ada salahnya agar muncul kepekaan kuta untuk menyayangi orang lain, kita mengawalinya dengan menyanyangi diri kuta sendiri secara tulus.

"Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang. Dan berhisabkah kalian untuk menghadapi hari penampakan agung.", demikian Umar bin Khatab mengingatkan kita.

Sungguh, dengan "membukukan" sebanyak-banyaknya prestasi kasih sayang di hari ini, selama hidup di dunia ini, baik kasih sayang kepada diri sendiri maupun orang lain, maka di akhirat nanti kita akan memetiknya sebagai kekayaan yang tiada sebanding dengan gemerlapnya dunia.

Jadi, jika saat ini, di dunia ii, kita sudah meraih satu rahmat (kasih sayang) Allah dalam berbagai turunannya, maka dengan beberapa langkah di atas, insyaa Allah, rahmat (kasih sayang) Allah yang tersisa akan kita dapatkan di akhirat kelak.

Semoga dengan demikian, ramadan kali ini benar-benar menjadi ramadan yang berkesan bagi kehidupan kita, bukan saja di dunia tapi juga di akhirat kelak! (*)

Gebang; Rabu 29 April 2020


* Judul tulisan
MENGHITUNG DIRI, MERAIH KASIH SAYANG ALLAH

Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis buku "Agar Ramadan Merindui Kita"

Dimuat di:

https://cirebon.perdananews.com/menghitung-diri-meraih-kasih-sayang-allah-swt/


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok