Dari Santri Untuk Indonesia


DALAM sejarah perjalanan bangsa dan negara kita Indonesia, santri memiliki peran dan kontribusi besar yang tidak bisa dianggap remeh. Bahkan bisa dikatakan saham terbesar yang berperan dan berkontribusi pada perjalanan bangsa dan negara ini adalah kaum santri. Sehingga bisa dikatakan kaum santri tidak saja paham ayat kursi tapi juga ayat-ayat konstitusi negara. Mereka bukan saja menguasai kitab-kitab gundul atau kitab kuning tapi juga teori-teori kontemporer dari berbagai buku karya para tokoh dan ahli lintas ilmu pengetahuan. 

Pertanyaannya, apa peran dan kontribusi kaum santri pada era penjajahan dan kemerdekaan? Sebetulnya ada begitu banyak peran dan kontribusi kaum santri dalam membangun sumber daya manusia Indonesia, termasuk dalam mengusir penjajah dan menghadirkan kemerdekaan Indonesia. Sejarah begitu jujur menjelaskan itu semua pada kita dan kepada siapapun penghuni bumi ini. Sehingga ada baiknya bagi kita untuk membaca ulang berbagai bacaan yang mengulas lakon mulia tersebut. 

Secara sederhana, peran dan kontribusi tersebut diantaranya adalah sebagai berikut, Pertama, Pengendali dan pelaku utama perubahan. Semua pendiri bangsa adalah tokoh penting termasuk tokoh penting Ormas Islam. Mereka adalah santri autentik pada zamannya. Dari Persatuan Ummat Islam (PUI) ada KH. Ahmad Sanusi, KH. Abdul Halim, dari Muhammadiyah ada KH. Ahmad Dahlan, dari NU ada KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Wahid Hasyim, dari Persatuan Islam (Persis) ada Ustadz Ahmad Hasan, dari Masyumi dan DDII ada Pak Mohammad Natsir dan masih banyak lagi dari Ormas Islam lainnya, termasuk HOS. Cokroaminoto, KH. Agus Salim dan sebagainya. Mereka mendirikan berbagai lembaga pendidikan seperti sekolah dan pesantren, pusat ekonomi, sanggar budaya, penerbitan majalah dan buku, dan masih banyak lagi. 

Kedua, Penjaga moral umat dan bangsa. Tak sedikit diantara kaum santri yang menjadi pemimpin berbagai lembaga pendidikan terutama yang berbasis keagamaan. Sehingga terlahir para santri yang kelak menjadi tokoh penting umat dan bangsa. Dengan pemahaman keagamaan dan spiritualnya yang terjaga santri menjadi penjaga dan peneguh moral. Sehingga mereka tidak tergoda dengan iming-iming penjajah. Dalam konteks bangsa, merekalah pemilik dan pemandu ruh moral, sehingga para pemimpin tak terjerembab pada lubang amoral. 

Ketiga, Pejuang dan penggerak kemerdekaan. Kaum santri adalah mujahid sejati. Merekalah yang berada di garis terdepan dikala mengusir penjajah, sehingga negeri ini merdeka. Tak sedikit dari kaum santri yang telah berkorban untuk memerdekakan Indonesia dari penjajahan dan dari teror PKI. Resolusi Jihad yang dipayungi oleh Fatwa KH. Hasyim Asy'ari dkk. telah menjadi energi sekaligus penumbuh semangat jihad kala itu. Mereka memang bukan pencari jabatan, tapi bila mereka mendapatkan amanah maka bisa dipastikan kontribusinya besar bagi bangsa dan negara. 

Keempat, Pemimpin umat dan bangsa. Selain menguatkan keyakinan dan membina kualitas umat serta membesarkan organisasi massa, kaum santri juga berkontribusi besar dalam berbagai agenda penting kebangsaan. Bahkan mereka turut menyusun konstitusi kita (UUD 1945) dengan melibatkan diri dalam keanggotaan BPUPKI. KH. Ahmad Sanusi adalah pemilik autentik ide republik sehingga menjadi NKRI dengan gagasan beliau, "Zumhuriyah". Mereka pun menjadi pahlawan dan negarawan sejati. 

Kini dan ke depan kaum santri mesti menjadi pengendali dan pelaku utama perubahan sebagaimana yang sudah dilakoni kaum santri era sebelumnya. Kaum santri juga mesti mampu memimpin di sektor-sektor publik dan privat. Kaum santri tidak boleh antipati pada kemajuan terutama dalam upaya penataan birokrasi dan hadirnya kebijakan publik yang adil. Kaum santri mesti jadi politisi, pengusaha, akademisi, dokter, TNI, polisi, jurnalis, seniman, peneliti dan sebagainya. Kaum santri mesti melek pada isu-isu lokal dan nasional juga global. Pengetahuannya mesti konektif dengan kebutuhan ril masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara. 

Atas dasar itu pulalah, kaum santri juga mesti melek pengetahuan dan menempuh pendidikan formal dan pelatihan nonformal-informal lainnya. Sehingga kaum santri menjadi pakar di berbagai bidang keahlian, termasuk menyiapkan diri menjadi pemimpin publik. Sehingga kaum santri layak dijadikan sebagai rujukan dalam menyelesaikan berbagai masalah di sektor-sektor terkait. Dan yang tak kalah pentingnya kaum santri mesti mampu menjadi juru bicara kebaikan Islam dan Indonesia dalam dinamika nasional dan percaturan global. 

Sebagai upaya mematangkan diri sehingga mampu melakoni peran sekaligus kontribusi semacam itu maka santri mesti mampu beradaptasi dengan media dan dunia yang semakin tak punya batas. Kaum Santri perlu membangun jejaring dan kerjasama global, minimal di kawasan Asia Pasifik. Kaum santri mesti melek dengan kemajuan pengetahuan, teknologi dan seni, sehingga tidak ada kesan kaum santri kolot dan anti kemajuan. Kaum santri tidak boleh gagap dalam menghadapi berbagai perkembangan informasi dan komunikasi. Sebaliknya, kaum santri mesti mampu memanfaatkan semua itu untuk perubahan dan kemajuan. 

Hal lain, kaum santri juga perlu memahami hak dan kewajiban asasinya sebagai manusia baik sebagai hamba Allah maupun sebagai pemakmur bumi. Kaum santri mesti tetap menjaga aura habitusnya sebagai santri: sederhana dan moralis. Sudah saatnya kaum santri mendalami pola kerjasama dengan berbagai elemen keumatan dan kebangsaan, serta mesti siap sedia untuk berkompetensi di level nasional dan global. Santri tak boleh menjadi penonton terhadap setiap dinamika dan kompetisi kekinian dan nanti, sebaliknya mesti berperan dan berkontribusi aktif. 

Karena itu pula kaum santri mesti memiliki kompetensi khas dan adapatif dengan kebutuhan zamannya. Kaum santri mesti kreatif dan inovatif. Dengan begitu, kaum santri mesti banyak membaca dan mendalami berbagai hal sehingga tidak gagap dengan berbagai perubahan dan kemajuan. Kaum santri mesti komunikatif, mampu berkomunikasi dengan berbagai elemen umat dan bangsa. Itulah modal penting agar kaum santri bisa hadir di tengah keragaman elemen umat dan bangsa untuk menghadirkan perubahan dan kemajuan secara kolaboratif. 

Lima sila Pancasila yang berbasis pada ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan sosial yang sangat konektif bahkan senyawa dengan prinsip dan nilai-nilai Islam, sejatinya menjadi dasar sekaligus kerangka kaum santri dalam mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara: "Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan turut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial", bersama elemen bangsa lainnya. 

Selain itu, kaum santri mesti mampu bekerjasama dengan siapapun dan apapun latar belakangnya demi kemajuan bangsa dan negara. Kaum santri mesti akrab dengan berbagai elemen bangsa yang beragam latar belakangnya. Kaum santri mesti menjadi peneguh dan penjaga erat persatuan dan kesatuan bangsa. Agar kaum santri tidak terjebak pada sikap dan kerjasama yang merugikan umat dan menghancurkan bangsa maka kaum santri mesti menjaga akhlak baiknya, sebab itulah senyawa yang membuatnya tetap berkarakter mulia. Selanjutnya, kaum santri sejati akan selalu berupaya untuk mencintai merah-putih dan Indonesia dalam pikiran, ucapan dan tindakan nyata sebagai wujud pengabdian dan syukur kepada Allah, Sang Penciptanya! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Wakil Sekretaris Umum DPW PUI Jawa Barat  dan Penekun Kebijakan Publik di Pascasarjana Universitas Majalengka. Judul tulisan "DARI SANTRI UNTUK INDONESIA; Refleksi Hari Santri 22 Oktober 2021". Jumat 22 Oktober 2021. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah