Perantau
Bagi mereka, berbagi keceriaan, senyuman dan kegembiraan adalah lakon yang jauh lebih asyik dan bermanfaat. Bercanda diselingi dengan tawa dan senyum riang kerap menjadi santapan sekaligus mewarnai hari-hari mereka. Baik sebelum menikah maupun kelak ketika mereka sudah menikah. Bagi mereka, setiap detik adalah perjuangan dan pengorbanan. Bila mereka terlihat tertawa dan tersenyum itu hanya selingan agar kehidupan tetap seimbang dan terjaga.
Tapi itu bukan berarti mereka tidak memiliki masalah atau sepi dari hambatan hidup. Malah mereka pasti hari-harinya dilalui dengan berbagai macam masalah dan hambatan hidup. Semuanya datang silih berganti dan begitu seterusnya. Tapi pengalaman semacam ini malah membuat mereka semakin kuat, kokoh dan tahan banting dalam mengarungi kehidupan yang makin sulit sekalipun.
Bila pun mereka menempuh karir dan meraih sukses, biasanya, mereka terlihat biasa saja. Sukses meraih berbagai impian dan meniti karir tak membuat mereka besar kepala atau sombong. Mungkin ada saja yang terkena virus angkuh, tapi saya kesulitan untuk menemukan contohnya. Sebab rerata mereka adalah petarung kehidupan, namun penuh perhitungan. Jadi, tak ada yang berubah. Semuanya biasa saja.
Mengapa? Karena pengalaman mereka dalam mengarungi kehidupan yang "terjal" menjadi cambuk dan tentu saja mengandung hikmah berharga yang tak akan pernah mereka lupakan. Kelak bila ada keluarga dari kampung, mereka tetap terlihat riang dan seakan-akan tak ada masalah atau hambatan ini itu. Di situlah energi paling dahsyat mengapa para perantau rela menjadi orang yang bukan siapa-siapa untuk maqom yang tak terpandang mata biasa.
Hal lain, sepengetahuan saya, para perantau itu terbiasa untuk mengisi setiap waktu dengan berbagai hal yang bermanfaat dan menghasilkan uang. Sebab bila mereka memilih diam dan santai ria, itu bakal membuat mereka besok atau lusa tidak bisa makan apa-apa selain tahan lapar. Maka bagi mereka, setiap waktu adalah perjuangan dan mesti diisi dengan berbagai aktivitas yang bisa menutupi keperluan atau memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Bila mereka pelajar dan mahasiswa, biasanya mereka rela menjadi pembantu orang, menjaga karyawan toko, tukang sapu, tukang semir sepatu, dan tukang cuci pakian para pejabat atau orang-orang kaya di kota tempat mereka merantau. Atau bila mereka sudah menempuh kuliah semester atas atau akhir, mereka berani mengajar di beberapa lembaga pendidikan, tempat pendidikan dan pelatihan, serta pondok pesantren. Ada juga yang bekerja di lembaga sosial, yayasan yatim piyatu dan tukang ojek.
Saya sangat percaya Anda bakal menemukan berbagai pengalaman berharga yang tidak akan pernah Anda lupakan. Bahkan pengalaman semacam itu bakal menjadi laboratorium bagi Anda untuk menemukan berbagai hal yang menarik dan berharga yang tidak Anda temukan di tempat Anda berasal. Lebih jauh lagi, Anda bakal memperoleh pembelajaran atau semacam ilham kehidupan yang membuat Anda semakin energik dalam melakoni kehidupan kini dan nanti. Anda hanya akan memperolehnya dengan cara merantau.
Saya sendiri sangat bersyukur karena bisa mengenal para perantau di beberapa kota, baik di Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi maupun Maluku, Nusa Tenggara dan Papua. Mereka berasal dari berbagai daerah. Tujuan mereka merantau pun berbeda-beda. Ada yang mencari ilmu atau untuk pendidikan, bekerja, usaha atau bisnis, dan masih banyak lagi. Ada yang menetap di tanah rantauan dan ada pula yang kembali ke kampung halaman tempat mereka berasal. Saya banyak belajar pada mereka tentang banyak hal. Bagi saya, mereka adalah inspirator yang berjasa besar bagi diri dan mungkin saja bagi keluarga mereka. Saya layak menyampaikan terima kasih banyak atas lakon mereka yang tak bisa dibalas oleh uang dan materi apapun itu! (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Wakil Sekretaris Umum DPW PUI Jawa Barat dan Penekun Kebijakan Publik di Pascasarjana Universitas Majalengka
Komentar
Posting Komentar