Menjual Jajan dan Koran untuk Biaya Sekolah dan Kuliah


SEKADAR mengenang kembali pengalaman selama di bangku Sekolah Dasar atau SD, saya masih ingat, saya pernah berjualan jajan anak-anak. Kala itu, teman-teman di sekolah selain membayar dengan uang juga dengan kemiri atau biji jambu mete. Untuk beberapa kesempatan jajan yang saya jual diambil dari jualan Ibu saya. Namun untuk beberapa kesempatan lain saya beli sendiri lalu dijual kembali. Benar-benar pengalaman yang selalu saya ingat. 

Pengalaman serupa terjadi juga di tanah rantauan sejak MTs hingga kuliah. Saya sengaja mengenang kembali, agar selalu terngiang dan tak terlupakan. Dulu tahun 1996-an ketika saya nyantri di Pondok Pesantren Nurul Hakim (Pondok NH) di Kediri, Lombok Barat-NTB, saya pernah sekitar 2 tahun lebih berjualan gorengan tahu dan tempe untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bayar SPP dan sebagainya.  

Bahkan pada saat di Pondok NH saya juga berpengalaman makan 2 kali sehari selama setahun. Kemudian, makan sepiring bertiga selama setahun dan makan sepiring berdua selama setahun. Semuanya dengan teman saya yang juga perantau. Kala itu lauknya hanya tempe dan sambal, atau tahu dan sambal, lalu sekali sepekan masing-masing ada lauk ayam atau telur ayam. Biasanya, untuk mengenyangkan perut saya sengaja mengambil air sayur agak lebih. Bahkan untuk beberapa kesempatan, terutama saat liburan tiba, biasanya saya minum air keran di pondok yang bisa saya nikmati secara gratis. 

Ketika merantau ke Kota Bandung, tepatnya melanjutkan kuliah di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dari awal masuk tahun 2003-an hingga selesai saya juga berjualan baju kaos dan pakian pada umumnya serta koran dan buku. Kadang saya keliling di beberapa sudut Kota Bandung untuk berjualan, selain naik-turun mobil damri. Untuk beberapa orang teman saya sangat tahu aktivitas saya semacam ini, namun kebanyakan tidak tahu sama sekali tentang aktivitas ini. 

Selain itu, tentu saja saya juga mesti mengikuti berbagai lomba di kampus dan luar kampus. Sekadar contoh, di UIN Sunan Gunung Djati Bandung saya pernah menjadi salah satu pemain tim jurusan dan terpilih menjadi pemain terbaik untuk liga sepak bola mahasiswa. Selain itu, saya juga pernah menjadi juara dua lomba pidato Bahasa Arab yang diselenggarakan di sebuah perguruan tinggi di Kota Bandung kala itu. Seingat saya kala itu hadiahnya lumayan besar dalam hitungan rupiah. 

Hal lain, saya juga pernah jadi tukang azan di beberapa masjid dan musola selama beberapa tahun. Terutama di daerah Kiara Condong, Kota Bandung, Jatinangor dan Tanjung Sari, Sumedang. Kebetulan waktu itu sempat ngontrak atau nge-kots di beberapa tempat yang berbeda. Selain azan, setelah pulang kuliah saya biasanya membersihkan sampah dan menyiram tanaman di sekitaran masjid dan musola. Termasuk mengajar anak-anak yang mengaji di masjid dan musola yang hampir setiap sore selalu ramai.  

Semua itu saya lakukan untuk memenuhi kebutuhan pembayaran SPP, kotsan dan kebutuhan sehari-hari selama di Kota Kembang. Termasuk untuk membeli ribuan buku yang kelak menjadi bacaan yang menemani saya hingga kini. Kadang saya mengajak teman-teman makan bareng, padahal uang saya kala itu hanya segitu-segitu saja. Hanya saja, bersama-sama itu selalu menjadi panggilan hati saya. Namanya perantau ya mesti berbaik-baikan dengan semua orang. 

Saya sendiri berasal dari keluarga yang berasal dari kampung yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Air PDAM, listrik PLN dan jalan raya beraspal masih jauh dari kampung tempat saya lahir. Namanya Cereng. Ia berada di Desa Golo Sengang, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat-NTT. Hingga kini kondisi kampung sedikit berubah karena orang kampung sudah melek pendidikan dengan melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Namun untuk tiga kebutuhan penting yang saya sampaikan tadi masih menjadi harapan. 

Orangtua saya adalah petani tadah hujan. Begitu juga warga kampung yang lainnya.  Orangtua saya memiliki kebun dan beberapa petak sawah. Walau tak seberapa, namun ini merupakan satu-satunya andalan keluarga bahkan warga kampung dalam menjaga keberlangsungan hidup juga membiayai pendidikan anak. Sebagai petani yang apa adanya, orangtua memenuhi kebutuhan hidup keluarga dengan hasil panen sawah dan perkebunan. 

Hidup di kampung selama 13 tahun (1983-1996) adalah pengalaman yang penuh kenangan. Ada begitu banyak cerita yang hingga kini masih terngiang. Misalnya, mandi bareng kerbau di kali dan sawah, mengikuti berbagai permainan dengan teman-teman, dan menjaga kambing peliharaan sebagai penambah sumber ekonomi keluarga. Selain itu, mengejar rusa, kerbau liar, mencari kemiri di kebun, mencari belut dan serupanya di kali, serta mencari kayu kering di hutan untuk dipakai masak nasi dan sayur. Dan tentu saja renang di kali dengan celana dan baju berlubang yang sudah dipakai beberapa tahun. 

Hal lain yang tidak bakal saya lupakan adalah pendidikan dan keteladanan kedua orangtua saya. Ayah dan Ibu adalah dua sosok manusia yang disiplin dan penuh dedikasi. Keduanya adalah pekerja keras dan tak kenal lelah. Sehari-hari mereka bekerja banting tulang untuk menjaga keberlangsungan keluarga, termasuk dalam hal pendidikan. Bagi saya, keduanya telah melakukan hal besar dalam sejarah kehidupan saya dan keluarga. Sebuah keteladanan berharga yang sulit dilupakan. Semoga keduanya yang kini sudah meninggal mendapat ampunan dari Allah dan kelak mendapat jatah surga terbaik dari-Nya! 

Kelak, pada saat merantau seperti yang saya sampaikan sebelumnya, saya pun sudah memiliki modal terutama mental untuk siap hidup dalam kondisi yang sangat terbatas. Bagi saya, kenangan dan pengalaman semacam itu benar-benar berharga bagi kehidupan saya pada saat di rantauan terutama ketika kelak pada 2010 saya berdomisili di Cirebon-Jawa Barat hingga kini. Bahwa hidup ini mesti dilalui dengan kerja keras dan pengorbanan. Mesti ada upaya dan motivasi dari dalam diri untuk mengasah potensi dan kualitas diri. Tidak boleh berpangku tangan dan hanya mengandalkan warisan atau hadiah dari orangtua juga keluarga. Saya mesti berjiwa mandiri dan bermental maju. (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Salesman Toyota Jadi Walikota", Wakil Sekretaris Umum DPW PUI Jawa Barat,  dan Penekun Kebijakan Publik di Pascasarjana Universitas Majalengka 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok