Langkah Konkret Menghadapi Negara Darurat Korupsi
Praktik korupsi yang menimpa para penegak hukum itu semakin menjadi-jadi ketika orang terdekat mereka turut melakukan hal yang sama bahkan menikmatinya. Tak sedikit hakim yang pasangan hidup, staf dan anaknya terlibat secara kolaboratif pada kasus korupsi. Di samping itu, tentu saja keluarga oknum polisi dan jaksa yang ikut menjadi pelaku korupsi. Mereka turut memperjualbelikan pasal hukum demi mendapatkan sejumlah uang haram untuk memenuhi gaya hidup mewah dan pamer.
Belakangan, oknum akademisi bergelar panjang pun terjebak melakukan korupsi. Mereka bukan saja terlibat korupsi anggaran perguruan tinggi, tapi juga tersangkut kasus ijazah palsu hasil manipulasi. Bahkan karya ilmiah yang seharusnya memberi pencerahan yang orisinil justru dikotori oleh praktik plagiat dan tingkah lacur akademik lainnya dalam bentuk tukar guling jabatan dengan sejumlah uang haram. Perguruan tinggi yang seharusnya memiliki nurani yang suci justru melacurkan diri sehingga tidak punya daya gedor.
Oknum penggiat keagamaan yang akrab dengan kitab suci pun tak kalah angkuh dan serakahnya. Sehari-hari mereka membaca dan turut menyebar ayat suci di tengah masyarakat justru menjadi tersangka hingga mendekam di penjara karena tergoda untuk melakoni jalan jahanam itu. Naifnya, dalam beberapa kasus, oknum pasangan suami-istri berlatar belakang ormas keagamaan tertentu yang menjadi pejabat publik justru terpapar praktik korupsi. Konon sangat aktif mencela kelompok yang berbeda, namun justru lidahnya menipu dirinya sendiri.
Oknum pejabat dari unsur birokrat dan politisi juga tak sedikit yang tersangkut kasus korupsi. Tak terhitung jumlah menteri, dirjen dan staf serta kepala daerah yang sudah mendekam di penjara gegara makan uang haram dari berbagai sumber. Anggaran negara yang seharusnya diperuntukan sekaligus menghadirkan pembangunan justru dilahap demi kepentingan perut dan gaya hidup bahkan untuk simpanan atau selingkuhan serta keluarganya yang dinafkahi dari hasil korupsi uang negara.
Konon Dana Desa yang seharusnya menghadirkan pembangunan, justru menimbulkan keresahan dan kemarahan masyarakat. Desa yang mestinya mengalami kemajuan justru mundur ke belakang dan tak terlihat rona pembangunannya. Di sebagian desa, infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi di tengah masyarakat desa tak ada auranya. Anggaran begitu besar hanya jadi bancakan oknum di desa dan biaya kegiatan manipulatif untuk laporan pertanggung jawaban Dana Desa.
Korupsi adalah musuh bersama. Melawannya berdampak pada upaya memajukan bangsa. Karena itu perlu sejumlah langkah konkret. Pertama, penegak hukum yang tegas. Korupsi bagai lingkaran setan. Bahkan alam banyak kasus, mereka yang tertangkap tangan hanyalah pelaku “sampingan”, sementara pelaku utama masih berkeliaran, bahkan tak terjerat hukum. Praktik korupsi juga memiliki pola “jejaring” seperti jaring mafia. Penegak hukum yang tegas dan berani membongkar kasus korupsi sampai ke akar-akarnya adalah solusinya.
Keberhasilan penegak hukum dalam membongkar kasus korupsi sampai ke akar-akarnya dapat menjadi ujian komitmen dan kesungguhan semua institusi penegak hukum dalam menegakkan hukum dan keadilan. Jika penegak hukum “gagal” menjalankan tugas sejarah tersebut, maka secara otomatis hanya akan melahirkan korupsi baru. Padahal keadilan yang tertunda atau yang dikebiri hanya akan melahirkan kezaliman atau ketidakadilan bahkan malapetaka hukum yang merobek tenunan peradaban bangsa.
Kedua, hukuman lebih tegas. Kita menyaksikan selama ini hukuman bagi mereka yang terlibat korupsi hanya beberapa tahun. Itu pun dikurangi oleh masa tahanan sebelum menjadi terhukum dan berbagai macam remisi. Mestinya tak ada lagi pengurangan masa tahanan. Adanya pengurangan jatah makan. Bagi koruptor yang tidak mengembalikan uang hasil korupsi mesti dihukum berat dan berlipat ganda, bahkan hukumannya lebih dari hukuman penjara seumur hidup. Kita mesti belajar pada Jepang, China dan Korea yang benar-benar tegas dan berani dalam menghukum para koruptor.
Ketiga, pemiskinan koruptor dengan sita aset. Pemiskinan koruptor seumur hidup adalah langkah berani penegak hukum. Hal ini dilakukan dengan cara menyita seluruh aset koruptor. Pemiskinan koruptor dapat menjadi hukuman yang efektif bagi koruptor, karena mereka akan kehilangan kekuasaan dan harta yang mereka peroleh melalui tindakan korup. Hal ini menjadi alarm dan punya pesan moral bagi siapapun bahwa korupsi tidak akan membawa keuntungan bahkan justru merugikan secara jangka panjang.
Keempat, korupsi mesti dijadikan sebagai musuh kolektif elemen bangsa. Dalam beberapa kasus, penegak hukum selalu mendapat perlawanan balik para tersangka (corruptor fight back) dengan berbagai modusnya. Misalnya, menghilangkan barang bukti, melemahkan dasar hukum pemberantasan korupsi, mengkriminalkan penegak hukum atau lembaga pemberantasan korupsi, mengkriminalkan tokoh atau aktivis anti korupsi, hingga serangan fisik kepada penegak hukum atau siapapun yang melawan praktik korupsi. Maka korupsi mesti menjadi musuh bersama.
Kelima, presiden mesti menjadi panglima penegakan hukum dan anti korupsi. Korupsi adalah penyakit yang melingkupi semua negara di zaman budaya modernitas, sehingga korupsi pun menjadi fenomena global yang pasti terus menerus menghantui dan menghambat proses pembangunan sebuah negara termasuk Indonesia. Karena itu, Presiden Prabowo Subianto, baik sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, memastikan bahwa pemberantasan korupsi berjalan dengan baik tanpa pandang bulu atau tebang pilih. Tegasnya, presiden harus menjadi panglima penegakan hukum dan anti korupsi.
Melawan korupsi adalah perang semesta yang sangat panjang. Diperlukan soliditas dan kesungguhan para penegak hukum serta dukungan publik yang kuat, agar proses ini bisa kita menangkan. Pemerintah dibawah Presiden, Kementrian terkait seperti Kementrian Hukum dan penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan pengacara serta KPK sebagai penanggung jawab utama penuntasan korupsi perlu mengencangkan semangat perlawanan. Melawan korupsi mesti menjadi jihad kolektif elemen bangsa dalam menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis artikel di berbagai Media Massa dan Media Online
Komentar
Posting Komentar