Mari Membaca dan Menulis Buku!
Bukan itu saja, ternyata berita media termasuk yang kita peroleh di media online dan media sosial, membuat kita semakin enggan untuk membaca buku. Jangan kan membaca buku seperti yang menggeliat di kalangan elite dan elemen intelektual era 1900-an, 1940-an hingga era 2000-an, membaca artikel pendek pun kita lebih sering enggan bahkan malas melakukannya. Kita sering beralasan tak ada waktu, artikel atau buku tak bermutu dan informasi digital sudah lebih canggih bahkan lebih kekinian sekaligus lebih informatif.
Pertanyaan mendasarnya adalah "Siapa yang menulis?" Pertanyaan sederhana ini sekadar menggugat kejujuran kita sebagai anak bangsa. Kita sesekali perlu menengok toko buku, silahkan cek siapa saja penulis buku yang bukunya nampang di toko buku. Percayalah, rerata penulisnya adalah nama-nama lama. Generasi baru yang giat dan tekun pada tradisi menulis buku tergolong sedikit bahkan semakin sedikit. Jumlah buku yang diterbitkan dari tahun ke tahun pun semakin menurun. Itupun masih karya generasi lama. Bagaimana dengan generasi dan karya generasi baru?
Kondisi tragis tersebut memang bukan hal baru, tapi sudah menjadi penyakit bawaan sejak revolusi media terjadi sekitar tahun 2000-an hingga saat ini. Bahkan berbagai platform online telah menjadi kompetitor paling "wah" bagi industri media dan karya kreatif yang masih mengandalkan media konvensional seperti kertas atau buku. Namun bila tak ada kesadaran dini tentang pentingnya membaca sekaligus menulis buku, maka bisa kita bayangkan bagaimana tradisi literasi dan karya tulis bangsa ini ke depan. Tak mengapa menulis di media online, tapi siapa yang masih giat menulis? Masih sedikit, bukan?
Tak ada cara lain, pada kondisi yang semakin tak biasa-biasa ini, kita mesti menyadari urgensi sekaligus menjalankan dua hal. Pertama, menguatkan tradisi membaca buku. Selincah apapun kita membaca di media online, membaca buku tetap memiliki kenangan dan kesan tersendiri. Dari sisi kesehatan pun, membaca buku jauh lebih menyehatkan daripada di media online. Dari sisi akses memang memudahkan, tapi dari sisi kenyamanan dan keterikatan dalam membaca buku akan lebih asyik bila langsung membaca bukunya, bukan file bukunya. Tak ada orang yang masuk rumah sakit gegara membaca buku non digital. Sebaliknya, betapa banyak yang berurusan dengan dokter gegara membaca media digital.
Buku yang kita baca sangat mempengaruhi gagasan, diksi dan penyikapan kita terhadap berbagai realitas sekitar kita. Seorang intelektual muda sekaligus penulis muslim yang cukup produktif asal Kota Depok, Nuim Hidayat, MA., pernah mengungkapkan, "Buku memang bisa mengubah pemikiran seseorang. Buku yang bagus akan membuat pemikiran seseorang menjadi bagus. Buku yang buruk bisa mengubah seseorang menjadi buruk. Buku-buku pornografi misalnya bisa mengubah seseorang menjadi malas berfikir dan menjadi ‘generasi loyo’."
Kedua, lebih giat untuk menulis buku. Bila selama ini kita diresahkan oleh rendahnya kualitas buku dan sedikitnya jumlah penulis buku, maka kita sendiri harus berani mengambil sikap. Kita sendiri harus menulis buku, entah tema apapun, itu terserah dan bebas saja sesuai minat dan perspektif kita masing-masing. Bila buku karya orang lain yang kita baca selama ini tidak berkualitas, maka kita sendiri harus menulis buku yang lebih berkualitas dari buku-buku penulis lain. Bila selama ini kita belum menulis buku dengan alasan tak bermutu, maka sekarang juga kita harus segera memulai untuk menulis buku yang lebih bermutu.
Tugas mencerdaskan bangsa sebagaimana yang ditegaskan dalam pembukaan UUD 1945 bukan saja kewajiban lembaga pendidikan (formal, informal dan non formal) tapi juga kewajiban setiap individu warga negara. Salah satunya adalah dengan cara menulis buku berkualitas dan yang layak dibaca. Karena peran ini penting, maka negara perlu memberi perhatian lebih kepada para penulis buku, perkembangan penerbitan buku dan penyebaran buku. Bila tidak, maka peminat untuk menjadi penulis buku semakin sedikit, stok buku terus menurun dan penerbit buku gulung tikar. Kecuali elemen-elemen ini telah dianggap tidak penting lagi, maka tak usah dipedulikan lagi! (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Belasan Buku Biografi Tokoh dan Kepala Daerah
Komentar
Posting Komentar