IBADAH QURBAN, DARI SPIRITUAL HINGGA SOSIAL 

ISLAM adalah agama yang mencakup urusan jiwa-raga, dunia-akhirat, domestik-publik, spiritual-materi, moral-peradaban, ibadah-muamalah, dan sebagainya. Ia adalah agama yang universal dan sempurna (Qs. Ali ‘Imran ayat 19 dan QS. al-Ma’idah ayat 3). Atau dalam istilah Dr. Yusuf Qordhawi, Islam adalah agama yang hadir untuk kepentingan umat Islam sekaligus kemanusiaan. Bila kita telisik, salah satu ajaran Islam yang menjadi contoh nyata betapa Islam berdimensi universal dan sempurna adalah ibadah qurban, yang dalam fiqih termasuk kategori ibadah sunnah. 

Qurban sendiri merupakan sebuah penegasan, bahwa Tuhan Ibrahim bukanlah Tuhan yang haus darah manusia. Dia adalah Tuhan (Allah) yang ingin menyelamatkan, membebaskan, dan melindungi umat manusia dari berbagai bentuk perilaku jumud manusia. Qurban berarti refleksi historik atas perjalanan kebajikan yang pernah ditorehkan manusia masa lampau (Ibrahim), untuk mengenang perjuangan monoteistik dan humanistik yang diukir Ibrahim. Yang bermakna keteladanan Ibrahim (an-nubuwah) yang mampu mentransformasi pesan keagamaan ke dalam aktualisasi perjuangan hidup kemanusiaan (al-insaniyah). 

Sejarah pelaksanaan qurban oleh manusia sebenarnya setua peradaban manusia itu sendiri. Ibadah ini sesungguhnya sudah dilaksanakan oleh seluruh Nabi dan Rasul Allah (QS. Al-Hajj: 34). Selain sebagai bentuk ketakwaan seorang muslim dan melaksanakan segala perintah Allah (QS. Al-Hajj: 37), berqurban juga merupakan bentuk pendekatan diri kepada Allah dan rasa syukur atas karunia yang diberikan-Nya. Di samping wujud ketaatan atas perintah Allah dalam surah Al-Kautsar ayat 1-2, “Sesungguhnya Kami telah memberikan nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.”

Secara spesifik, ibadah qurban sudah dilakukan pada masa Nabi Adam, yaitu qurban yang dilakukan oleh kedua orang putranya, Habil dan Qabil. Kisah pengurbanan Habil dan Qabil diabadikan dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat: 27, yang artinya: “Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka (qurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima. Dia (Qabil) berkata, “sungguh, aku pasti membunuhnya!” Dia (Habil) berkata, “sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertaqwa.”

Pada zaman nabi Ibrahim juga begitu. Peristiwa itu dimulai dari mimpi Nabi Ibrahim mendapat perintah dari Allah agar menyembelih anaknya. Oleh karena menurut keyakinannya mimpi itu adalah mimpi yang benar, maka ia menawarkan kepada Ismail, “…Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu..?” (QS. Ash Shaaffaat: 102).

Mendengar perintah ayahnya, Ismail pun dengan yakin dan ikhlas menjawab penuh hormat, “…Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash Shaaffaat: 102). Kemudian Nabi Ibrahim membawa Ismail ke suatu tempat yang sunyi di Mina. Sebelum acara penyembelihan dimulai, Ismail mengajukan tiga permohonan, yaitu (1) sebelum ia disembelih hendaknya terlebih dahulu Ibrahim menajamkan pisaunya agar ia cepat mati dan tidak lagi timbul kasihan maupun penyesalan dari ayahnya, (2) ketika menyembelih, muka Ismail harus ditutup agar tidak timbul rasa ragu dalam hati ayahnya, (3) bila penyembelihan telah selesai, agar pakaian Ismail yang berlumuran darah dibawa ke hadapan ibunya, sebagai saksi bahwa kurban telah dilaksanakan. Dengan berserah diri kepada Allah, Ismail pun dibaringkan dan dengan segera Ibrahim menyentakkan pisaunya dan mengarahkan ke leher anaknya. Akan tetapi Allah mengganti Ismail dengan seekor domba yang besar (QS. Ash Shaaffaat: 102).

Peristiwa “ketaatan” dan “menyerah” ini kemudian diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan dijadikan dasar disyariatkannya qurban, yang hingga kini dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu. Para ulama pun menyepakati bahwa syariat qurban dalam Islam dimulai ketika peristiwa qurban yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim terhadap putranya, Ismail.

Dalam perspektif nalar teologis, qurban tak cukup dimaknai sebatas proses ritual agama semata, seperti wujud kepasrahan Ibrahim kepada Sang Pencipta, tetapi juga harus dipandang sebagai peneguhan nilai-nilai kemanusiaan, sebuah pesan rohaniyah Islam sebagai dien yang memberi rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil aalamiin). 

Pada momentum ‘Idhul Adha kita dituntut untuk, apa yang disebut oleh Kuntowijoyo dengan mengaksikan Islam secara dan dalam kehidupan yang lebih praktis. Qurban, walaupun ibadah sunnah, ia sejatinya mengandung pesan dan makna subtantif yaitu agar kita menggiatkan diri menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur. Ada begitu banyak nikmat Allah yang diberikan kepada kita selama ini. Baik sebagai umat Islam maupun sebagai salah satu bangsa besar di dunia. 

Mengorbankan sebagian hewan qurban yang kita miliki, seperti yang Allah dan Rasul-Nya syariatkan, adalah wujud paling sederhana dari rasa syukur atas semua yang kita peroleh dari Allah. Pandai bersyukur bukan saja ciri hamba Allah yang taat tapi juga menjadi pemantik bagi bertambahnya nikmat Allah kepada kita. “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".”(QS. Ibrahim: 7). 

Singkatnya, ritual ibadah qurban bukan cuma bermakna bagaimana kita sebagai manusia mendekatkan diri pada Allah, tetapi juga bagaimana mendekatkan diri dengan sesama manusia. Dengan demikian, ibadah qurban mencerminkan dengan tegas pesan solidaritas dan soliditas sosial Islam, mendekatkan diri pada saudara-saudara kita yang kekurangan, yang miskin, papa dan terpinggirkan. Di sini tak selalu bermakna kita menolong mereka, tapi justru mereka sedang menolong kita agar menjadi hamba Allah yang tahu diri dan pandai bersyukur. Terlebih akhir-akhir ini kemungkaran san ketimpangan sosial masih saja terjadi, maka aksi sosial yang produktif perlu diperkuat dan menjadi agenda kolektif seluruh elemen. 

Mudah-mudahan pada ‘Idhul Adha kali ini bisa kita manfaatkan untuk berqurban dalam maknanya yang luas, yaitu menjalankan ibadah ritual-spiritual sekaligus ibadah sosial-kemasyarakatan. Semoga Allah selalu membimbing dan memberkahi kita, baik sebagai umat maupun sebagai bangsa! (*) 


Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis buku “Melahirkan Generasi Unggul”. Tulisan ini dimuat pada halaman 10 Kolom Opini Koran Fajar Cirebon edisi Selasa 28 Juli 2020]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah