MENULIS ITU BUTUH PEMAKSAAN

HARI INI Rabu 15 Juli 2020, sekitar pukul 13.00 hingga pukul 15.00 WIB saya datang ke komplek Radar Cirebon di Jl. Perjuangan, Kota Cirebon-Jawa Barat. Kali ini saya janjian dengan seorang senior sekaligus penggiat literasi Kota Cirebon, Pak Deny Rochman. 

Pada saat yang sama saya juga bersua dengan Mas Wibi, salah satu jurnalis senior di Kota Cirebon yang sudah malang melintang ke mana-mana. Tak ketinggalan pada pertemuan kali ini saya juga bertemu penggiat pendidikan sekaligus salah satu penggerak literasi Kota Cirebon Pak Indra Yusuf.  

Berita baiknya, tiga orang yang saya sebutkan di atas adalah penulis dan punya karya tulis yang bisa dibaca di mana-mana. Silahkan cari sendiri atau hubungi ketiganya. Padahal profesi mereka masing-masing adalah guru dan jurnalis. Ternyata apapun profesinya bisa menulis bahkan punya buku karya. 

Kali ini kami mengobrol tentang kepenulisan dan opini di media massa. Di samping membangun semangat kolektivisme untuk menggeliatkan tradisi literasi secara lebih serius. Sebab diakui bahwa selama ini menulis, terutama dalam bentuk opini, kerap hanya menjadi milik mereka yang terbiasa menulis untuk kolom opini. 

Berita baiknya, di tengah-tengah obrolan yang semakin hangat, kami kedatangan CEO Radar Cirebon Group, Pak Yanto S Utomo. Obrolan pun makin seru dan tergolong bergizi. Banyak tema yang diobrolin.  Pokoknya seru. Saya sendiri mencukupkan diri sebagai pendengar setia dan penculik ide secara gratis. 

Pada kesempatan yang tergolong spesial dan istimewa ini saya juga memberi hadiah atau kenangan berupa dua buku terbaru saya kepada Pak Yanto. Judulnya "Selamat Datang Di Manggarai Barat" dan "Merawat Mimpi Meraih Sukses". Saya senang sekali bisa melakukan hal semacam ini. Ada kepuasan batin. Itu sudah pasti. 

Di tengah-tengah obrolan santai sembari mencicipi kopi yang agak pahit saya berupaya untuk menulis. Minimal saya memaksa diri saya untuk menulis dalam situasi dan kondisi apapun. Sebab saya punya pemahaman bahwa menulis itu lebih dari teori, ia adalah praktik. Tepatnya butuh praktik langsung. 

Oke itu sekadar provokasi awal. Saya to the point saja. Begini, kita butuh proses dan waktu untuk menghasilkan sebuah karya tulis. Itu sudah patennya. Apalah lagi bila hendak menghasilkan karya tulis yang bermutu, maka proses dan waktu adalah keniscayaan. 

Tapi hal itu tidak cukup. Sebab menulis bukan soal proses dan waktu saja, tapi juga tentang ketelatenan dalam menulis itu sendiri. Ketelatenan hanya bisa dilakoni manakala aktivitas menulis itu sudah dimulai. Ya memulai menulis. 

Memulai menulis inilah yang kerap menjadi tantangan bagi siapapun yang hendak menulis atau menghasilkan karya tulis. Berani memulai itu adalah kuncinya. Bila seseorang masih merasakan tantangan dan hambatan, maka berani memulai perlu diperhatikan. Bila tidak, jangan pernah bermimpi punya karya tulis. 

Kapan Anda berani memulai menulis? Itulah salah satu pertanyaan paling horor yang pernah saya dengar sejak dulu hingga saat ini. Horor karena memang horor. Memulai itu berat. Tak cukup bilang "aku saja". Biasanya, terutama saya sendiri selalu ada alasan untuk tidak menulis. 

Berbagai hambatan dan tantangan ini itu pun kerap dijadikan dalih untuk tidak menulis. Beratnya bukan berasal dari luar. Malah terutama berasal dari diri sendiri. Dari rasa malas yang sudah menjadi paket alias tembok yang sudah tebal-menggunung. 

Saya tidak sedang berbicara tentang orang lain di luar sana. Saya malah sedang menceritakan pengalaman saya sendiri. Kalau rasa malas sudah tiba maka niat yang awalnya sudah oke malah tetiba jadi enggan. Ini musuh paling nyata dalam dunia kepenulisan: rasa malas yang tumbuh dalam dan dari diri sendiri. 

Berita baiknya, saya sendiri belakangan sudah menemukan solusinya. Walaupun kadang ada saja penghambat, saya langsung paksakan dan melawan. Bila rasa malas itu tiba, maka saya pun memaksakan diri saya untuk menulis. Jujur saja, tulisan ini saya bikin saat ini pada saat saya dilanda rasa malas. 

Saya sangat optimis bahwa kalau saya berani memaksa diri saya maka akan mudah bagi saya untuk memulai menulis. Maka memakasa diri inilah yang hingga kini saya jadikan sebagai obat mujarab. Pokoknya mesti bisa melakukannya. Dan lagi-lagi, saya mesti paksa diri saya. Sehingga saya pun berani mengatakan bahwa menulis itu butuh pemaksaan. (*) 


Warung Kopi Radar Cirebon, 
Rabu 15 Juli 2020


* Judul tulisan 
MENULIS ITU BUTUH PEMAKSAAN

Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis buku "Melahirkan Generasi Unggul"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah