BILA MENULIS UNTUK HARTA DAN JABATAN, SILAHKAN MINGGIR! 

SAYA termasuk yang mengenal banyak akademisi dan pejabat yang punya gairah yang tinggi pada dunia kepenulisan. Mereka pun kerap menulis beragam tema yang menjadi fokus tulisan. Terutama yang sesuai dengan latar pendidikan dan karir mereka. Rerata tulisannya dalam bentuk artikel lepas. 

Selain itu, ada juga yang menulis buku. Bila akademisi atau Dosen, biasanya menulis buku ajar atau yang terkait dengan mata kuliah yang diampuh di kampus tempatnya mengajar. Bila seorang pejabat di dinas tertentu, biasanya menulis tentang kebijakan publik dan sebagainya. 

Saya juga mengenal beberapa politisi yang kerap bikin buku. Awalnya sih bilangnya sebagai upaya pewarisan, eh malah belakangan sudah tidak menulis lagi. Saya malah kerap bantu jadi penulis bayangan atau sekadar editor naskah buku mereka hingga kelak jadi buku. 

Jadi saya paham betul apa tujuan mereka menulis atau membuat buku. Tujuannya politis. Buktinya, pada saat sudah menjabat atau bila tak jadi menjabat, mereka tidak menulis lagi. Kalau bukan tujuan politis, mestinya tetap menulis walaupun mendapat jabatan tertentu atau tidak maju di pesta politik tertentu. 

Ya berita baiknya, awalnya mereka menulis sebagai upaya pertanggungjawaban akademik dan sosial juga jabatan tertentu. Minimal tanggungjawab moral untuk menulis tentang tema tertentu yang sesuai paket keilmuan yang ditekuni sejak lama, atau yang diampuh di kampus. 

Atau ada juga yang menulis sesuai pengalaman akademik dan pengalaman sosial-politik mereka selama ini. Sehingga sedikit-banyak, konon berpengaruh kepada peningkatan karir dan segala rupa hal yang terkait dengannya. Termasuk jabatan politis yang kini sudah dijabat, atau tak jadi menjabat, misalnya karena karena gagal maju di Pileg dan Pilkada. 

Berita buruknya, setelah mendapatkan perbaikan karir dan apresiasi atas karya tulis yang ditulis, seturut itu pula hilangnya semangat dalam menulis. Sekarang, karena jabatan tertentu atau sudah mendapat jabatan seksi, mereka tak lagi ada semangat untuk menulis sebagaimana dulunya begitu semangat menulis buku. 

Alasannya tentu saja banyak dan terkesan dibuat-buat supaya dianggap masuk akal dan kita dipaksa supaya meng-iya-kan semuanya. Misalnya, sibuk tugas negara, fokus kerja kantor, terjebak rutinitas mengajar, fokus kerja partai dan masih banyak lagi. Intinya, setelah menjabat mereka lalu tak sesemangat seperti dulu lagi dalam menulis. 

Saya bisa menduga bahwa ini bukan soal waktu dan kesempatan. Sebab waktu dan kesempatan itu selalu ada. Waktu untuk bekerja di kantor atau mengajar di kampus tidak full 24 jam, malah kurang dari 12 jam sehari. Artinya masih ada sisa waktu 12 jam yang masih mubazir alias disia-siakan. 

Biang utama dari keengganan untuk menulis biasanya adalah rasa malas alias enggan berbagi. Para akademisi termasuk para pejabat mestinya rajin menulis. Sebab dengan ilmu, wawasan dan pandangan mereka yang tertulis dan terbaca oleh masyarakat luas akan membuat masyarakat memiliki referensi dalam memahami persoalan tertentu. 

Penyakit yang kerap menimpa mereka adalah pelit ilmu atau bakhil pengalaman. Padahal pembaca atau masyarakat luas butuh perspektif para akademisi dan pejabat yang bergelar mentereng alias panjang itu. Mereka rindu sekali ada semacam sumber bacaan dan pandangan yang memperkaya perpspektif mereka tentang persoalan tertentu. 

Tapi lagi-lagi, tak sedikit para akademisi dan pejabat yang konon cerdas dan punya pengalaman itu yang tiba-tiba berubah menjadi patung gegara sudah sukses berkarir dan mendpat jabatan tertentu. Menulis pun tidak menjadi aktivitas yang ditekuni lagi. Menulis hanya karena kebutuhan karir dan jabatan, bukan panggilan jiwa dan pewarisan ilmu pengetahuan juga inspirasi kepada pembaca atau masyarakat luas. 

Dalam kondisi ini saya layak mengingatkan, jangan pernah menulis karena ingin menjadi orang yang kaya harta atau menjadi pejabat tertentu. Sebab sebelum menjadi kaya atau punya jabatan karena karya tulis, Anda bakal tidak pernah punya daya dorong untuk menulis lagi. 

Apalah lagi kalau kelak Anda benar-benar kaya dan punya jabatan tertentu, Anda bakal tidak menulis lagi. Stok semangat Anda untuk menulis bakal mengurang seiring dengan apa yang Anda dapatkan. Mungkin sekali atau beberapa kali Anda menulis, lalu Anda bakal mati kutu alias berhenti menulis. 

Sebab menulis itu kerja sekaligus panggilan jiwa, lebih dari sekadar panggilan syahwat harta atau materi, atau bahkan jabatan tertentu. Ini memang agak berat. Sebab tarikan syahwat materi dan jabatan itu sangat kuat. Hanya sedikit yang bisa bertahan dalam kondisi semacam ini. Sebagian besar malah takluk. 

Bila Anda menulis karena panggilan materi dan jabatan tertentu maka Anda bakal menulis sekali atau beberapa kali lalu berhenti. Tapi bila Anda menulis karena panggilan jiwa atau tanggungjawab moral juga sosial maka Anda bakal menulis sekali lalu terus ketagihan untuk menulis lagi dan lagi. 

Sekarang silahkan benahi niat dan orientasi Anda dalam menulis. Karena dampaknya bukan saja pada karya tulis yang mungkin bisa Anda hadirkan, tapi juga pada jiwa Anda. Karena itu hal ini mesti diperhatikan sejak dini. Bereskan dulu niat dan orientasinya. Kalau sekadar iseng dan terjebak pada syahwat materi dan jabatan, saya layak katakan: Silahkan minggir! 

Saya tidak sedang mengusir Anda, tapi sekadar mengingatkan Anda agar kelak Anda tak menyesal sendiri. Sebab menulis adalah aktivitas yang tidak boleh diintervensi oleh siapapun. Setiap diri, saya dan Anda atau siapapun di luar sana bebas memilih jalan. Menulis atau tidak, itu bebas. 

Anda pun mestinya tidak boleh terjebak oleh pendapat dan cara pandang saya terhadap aktivitas kepenulisan. Hanya saja Anda perlu memahami sejak awal bahwa menulis itu jalan perjuangan yang butuh niat dan oroentasi yang baik, semangat dan kesungguhan, ketelatenan dan kejujuran, serta keberanian dan tanggungjawab.

Sebagai sesama kuli pena alias penulis yang hingga kini masih doyan menulis artikel bahkan buku, saya perlu mengingatkan beberapa sahabat sekaligus inspirator kepenulisan agar tidak terhenti menulis gegara mendapat jabatan tertentu atau karena sudah kaya harta, atau sudah mendapat apresiasi dari sana-sini. 

Khusus untuk beberapa penulis artikel yang dimuat di berbagai surat kabar dan media online yang saya kenal dekat, khususnya yang berasal dari Cirebon, seperti Pak Deny Rochman, Pak Indra Yusuf, Mas Sutan Aji Nugraha, Mas Azis Supriyadi, Mas Rifki Adjis, dan masih banyak lagi, saya ingatkan untuk konsisten di aktivitas tulis-menulis. 

Ingat, jabatan dan harta yang kini atau nanti diperoleh tak boleh melusuhkan semangat menulis atau berkarya. Justru semakin tergoda untuk terus menulis dan kelak menjadi buku yang layak dibaca. Agar saya tak terdorong untuk menyampaikan ini: Kalau menulis untuk harta dan jabatan, silahkan minggir!

Secara khusus, saya juga perlu menagih komitmen CEO Radar Cirebon Group Pak Yanto S Utomo atau Mas Yanto, para penggawa Radar Cirebon Bang Rusdi Polpoke atau Bang Rsd Aja, Bang Khairul Anwar, Kang Yuda Sanjaya, Mas Max Wibi dan mereka yang tak cukup saya cantumkan namanya di tulisan ini. 

Selain berterima kasih banyak atas jasa baiknya hingga tulisan saya kerap nongol di Kolom Wacana Radar, saya juga menanti karya tulisnya. Pokoknya kalau bertemu lagi saya bakal bertanya: mana tulisannya atau mana buku karyanya? Saya tentu tak perlu bilang "silahkan minggir!" Bukan karena takut, tapi sudah bisa paham sendiri. (*)


* Judul tulisan 
BILA MENULIS UNTUK HARTA DAN JABATAN, SILAHKAN MINGGIR! 

Oleh: Syamsudin Kadir 
Penulis buku "Melahirkan Generasi Unggul" 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah